Khutbah

Khutbah Jumat: Maksud Larangan Jujur dalam Kemaksiatan

Sel, 17 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Khutbah Jumat: Maksud Larangan Jujur dalam Kemaksiatan

Tidak jujur dalam kemaksiatan bukan berarti berbohong.

Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيِّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الّذِيْ كَانَ خُلُقَهُ الْقُرْآنُ 


أَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ، وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ، وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (النور: 21)


إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ، وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ (يس: 12)

 


Ma’syirâl muslimîn rahimakumullâh
Mengawali khutbah kali ini, khatib berwasiat kepada jamaah sekalian pada umumnya, dan kepada diri khatib sendiri khususnya, agar kita senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena, peningkatan iman dan takwa sejatinya dapat diperoleh dengan dua cara tersebut, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam hal ini Imam Abu Hatim berkata:


أَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ


Artinya, “Iman itu sifatnya dinamis, dapat bertambah dan berkurang. Bertambah karena ketaatan kepada Allah atau menjalankan perintahnya, dan berkurang karena melakukan kemaksiatan.” (Abu Hatim Muhammad bin Hibban, Shâhîhubnu Hibbân, [Beirut, Muassasatur Risâlah, 1414 H/1993 M], juz XI, halaman 196).


Hadirin rahimakumullâh.
Kita semua pasti sepakat bahwa terus terang, berkata benar, dan jujur merupakan sikap terpuji dan layak diteladani. Namun, adakalanya sikap-sikap itu justru dilarang karena membawa bahaya. Contohnya, dalam hal jujur dalam kemaksiatan. Rasulullah saw bersabda:


كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَى إِلاَّ المُجَاهِرِينَ


Artinya, “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujâhirîn atau orang-orang yang berterus terang dalam berbuat dosa.” 

 
وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا


Artinya, “Sungguh termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat dosa pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya padahal Allah telah menutupinya. Lalu ia berkata: ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat dosa begini dan begitu’.”


وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ. (متفق عليه)

 

Artinya, “Sebenarnya di malam hari Tuhannya telah menutupi perbuatan dosanya itu, tetapi di pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah.” (Muttafaqun ‘Alaih).


Sekilas hadits di atas terasa aneh. Mengapa ketika berbuat dosa dan tidak jujur justru diampuni Allah, sedangkan orang yang jujur tidak mendapat ampunan? 


Ketidakjujuran dalam kemaksiatan bukan berarti berbohong. Karena ketidakjujuran dalam hadits di atas adalah ketidakjujuran dalam arti tidak menceritakan kesalahan dan dosa. Setidaknya ada satu alasan penting tentang hal itu. Orang yang berbuat dosa, kemudian jujur dan menceritakan kepada orang lain akan membuka kemungkinan dilakukannya dosa serupa dalam lingkup yang lebih luas. Ketika suatu kemungkaran diumbar begitu saja dan dianggap biasa, maka akan melahirkan gerakan masif untuk melakukan kemungkaran itu. Seperti korupsi, riba, menggunjing, dan kemaksiatan lainnya yang mungkin terasa biasa di sekitar kita.


Misalnya, seorang guru yang jujur berkata: 


“Saya dulu pernah melakukan berbagai maksiat, mabuk-mabukan, mencuri, dan berzina, kemudian saya bertaubat dan memperbaiki diri hingga akhirnya menjadi guru seperti sekarang”. 


Bayangkan jika perkataannya didengar oleh murid, tentu bisa menimbulkan kemungkinan munculnya pemikiran bahwa mabuk-mabukan dan kemaksiatan lainnya adalah hal biasa di benak muridnya. Karena gurunya pernah melakukannya. Pun ketika anaknya jatuh melalukan dosa, mereka memiliki alasan: 


“Tidak apa-apa berbuat dosa seperti itu, dulu guruku juga melakukannya. Dia sendiri pernah bilang begitu.” 


Padahal, mungkin tindakan guru menceritakan dosanya karena landasan kejujuran. Tetapi, apa artinya kejujuran jika pada akhirnya justru mencetak pelaku-pelaku baru dalam kemaksiatan? Sementar dalam hadits lain ditegaskan, ketika seorang berbuat dosa kemudian orang lain mengikutinya karena terinspirasi oleh pelaku pertama, maka pahala dosa orang yang mengikuti mengalir juga kepada pelaku pertama, atau bisa disebut juga dosa jariyah. Rasulullah saw bersabda:


مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورهمْ شَيءٌ


Artinya, “Orang yang melakukan perbuatan baik dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”


وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهمْ شَيءٌ. (رواه مسلم)


Artinya, “Orang yang melakukan suatu perbuatan buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukan sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim).


Artinya, ketika seseorang melakukan kemungkaran dan memutuskan bertaubat, lalu tidak menceritakan perbuatan dosanya, maka secara tidak langsung dia telah membuka sunnatan hasanatan dan menutup kemungkinan terbukanya sunnatan sayyiatan. 


Karenanya, jika di antara kita sudah terlanjur melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, lebih baik segera menyesali diri, memohon ampunan dan bertaubat, daripada menceritakan kepada orang lain yang tidak ada kaitannya dengan perilaku kita.


وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ، وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ (هود: 3)

 

Artinya, “Hendaklah kalian memohon ampunan kepada Tuhan kalian lalu bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan; Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik; dan jika kalian berpaling maka sungguh Aku khawatir kalian akan ditimpa azab pada hari yang besar (Kiamat).” (Surat Hud ayat 3).


أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرُّحِيْمُ


*


Khutbah II


اَلْحَمْدُ لِلهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

 

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ


اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 


رَبّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا، أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 

Ustadz M. Amiruddin Dardiri, Pengajar di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.