Khutbah

Khutbah Idul Adha: Mencetak Generasi Anak Shalih

Rab, 23 September 2015 | 03:22 WIB

Khutbah Idul Adha: Mencetak Generasi Anak Shalih

Anak shalih merupakan

Khutbah I
 
اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَاَبْدَرَ اللهُ اَكْبَرْ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَاَفْطَرْ اللهُ اَكْبَرْ كُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَاَمْطَرْ وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَاَزْهَرْ وَكُلَّمَا اَطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَرْ.. اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلاَكْبَرْ وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ نَبِيَّ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ، 
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Marilah kita panjatkan puji syukur kita ke Hadirat Allah subhanahu wata'ala karena pada pagi hari ini kita masih diberikan karunia untuk melakukan shalat iedul ‘Adha secara berjama’ah. Idul Adha ini adalah momentum indikator ketakwaan kita pada Allah sebagai bekal kita meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat nanti. Semoga kita semua selalu berusaha menjadi orang bertakwa dan termasuk golongan orang-orang yang bertakwa. Amin ya rabbal alamin.  
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Baru saja kita rebahkan diri kita, bersimpuh di depan pintu kebesaran Allah yang Maha Pengasih lagi  Maha Penyayang. Baru saja kita mengakhiri salat kita dengan menyebarkan salam sejahtera kepada semua makhluk di sekitar kita. Sejak tadi malam sampai pagi ini, kita memenuhi langit dengan suara takbir kita. “Allahu akbar allahu akbar allahu akbar la ilahaillahu allahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu “.
 
Di belahan dunia lain, di Mekah al-Mukkaramah, di hari-hari ini, jutaan umat Islam dari segenap penjuru dunia berdatangan dan berkumpul di tanah suci melakukan ibadah haji. Gemuruh dan gema kaum muslimin dan muslimat yang sedang menunaikan ibadah haji menyambut panggilan ilahi dengan mengucapkan talbiyah. Labbaikallahuma labbaik. Labbaika la syarika laa labbaik. Innal hamda wan nikmata la wal mulk la syarika laka.  
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Idul Ahda yang khas dengan ibadah kurban merupakan bentuk rasa syukur kita pada Allah. Demikian ini karena banyaknya Allah telah melimpahkan anugerah pada kita semua. Kita telah diberi banyak hal oleh Allah subhanahu wata'ala . Anggota tubuh yang kita miliki: kepala, telinga, tangan, kaki, hidung, dan lain-lain. Semuanya adalah nikmat yang tidak mungkin terbeli. Jika dihitung berapa nominal harganya, pastilah tidak bisa dinominalkan. Pastilah bermiliar-miliar. Demikian juga, udara yang kita hirup, biji-bijian yang kita makan, udara yang kita hirup, kendaraan yang kita tumpangi, semuanya disediakan oleh Allah subhanahu wata'ala yang Maha-Pengasih dan Maha-Penyayang untuk manusia. Wallahu khalaqa lakum ma fil ardli jami’a. Allah subhanahu wata'ala telah menciptakan yang ada di dunia untuk kalian semua. Semua kalau dihitung dengan nominal angka manusia, pasti tiada terhingga.  
 
Tentang syukur ini, Allah subhanahu wata'ala  berfirman:
 
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 
Artinya:
 
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. al-Hajj : 36).
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Hari Raya Idul Adha selalu saja menjadi rekontruksi sejarah masa lampau. Sejarah kehidupan figur-figur agung para kekasih Allah subhanahu wata'ala: yaitu figur Nabiyullah Ibrahim 'alaihis salam, figur sang anak hebat Nabi Ismail subhanahu wata'ala, dan figur sang ibu luar biasa Siti Hajar. Prosesi yang mengharu biru sejarah umat manusia adalah penyembelihan Nabiyullah Ibrahim AS pada putra tercintanya Nabi Ismail yang akhirnya diganti kambing oleh Allah. 
 
Selain sebagai bentuk kepatuhan pada titah Allah Swt, ibadah kurban adalah merupakan bentuk solidaritas atas sesama yang tercecer dari mobilitas sosial. Untuk mereka: Orang-orang fakir dan orang miskin. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian yang lesu di Negara Indonesia, dengan nilai tukar rupiah yang anjlok di atas Rp. 14.000,- dan menyebabkan makin sulitnya kehidupan saudara-saudara kita, adalah kewajiban bagi kita semua untuk membantu mereka. Nabi Saw. Sangat mengecam keras orang yang enggan berkurban, karena dalam Islam ibadah kurban bukan hanya ritus persembahan untuk meningkatkan spritualitas seseorang atau juga bukan tontonan kesalehan orang-orang kaya semata. Namun, lebih dari itu, ibadah kurban adalah dalam rangka memperkuat kepekaan sosial, menyantuni fakir miskin dan membuat gembira orang yang sengsara. Kurban mencerminkan pesan Islam bahwa seseorang hanya dapat taqarrub pada Allah. bila ia sebelumnya telah dekat dengan saudara-saudaranya yang kekurangan.
 
Selain itu, ada beberapa hal yang dapat kita petik dalam sirah dan kehidupan agung Nabi Ibrahim AS dan keluarganya.
 
Pelajaran pertama adalah pertanyaan Allah subhanahu wata'ala pada Nabi Ibrahim, faiana tadzhabun. Ketika Nabi Ibrahim yang dikenal kara raya dengan seribu ekor domba, tiga ratus ekor lembu, dan seratus ekor unta, beliau ditanya, “Hendak kemana ia pergi”. Maka beliau menjawab, “Inni dzahibun ila rabbi sayahdin” (QS. At-Takwir: 26). Artinya: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan dia memberi petunjukan padaku”. Bagi Ibrahim, tujuan akhir hidup manusia bukan kekayaan, bukan pangkat, bukan jabatan dan sebagainya, tetapi tujuan hidup kita adalah Allah subhanahu wata'ala.
 
Seperti dimaklumi sebagai sunnatullah, manusia selalu bergerak sesuai naluri bawaan, ingin memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Untuk memfasilitasi manusia ini, maka diciptakanlah berbagai sarana kehidupan mulai dari sandal, sepatu, jalan, kendaraan hingga peralatan yang lain agar manusia bisa hidup dengan nyaman. Manusia juga membangun jembatan, menggunakan jalur lautan dan juga udara. Manusia juga mengkapling-kapling lautan dan udara sedemikian rupa sehingga mengurangi kemacetan di daratan.
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Dalam perjalanan dan pengembaraan manusia secara fisik untuk mengetahui luasnya dunia, pada akhirnya terhambat secara teknis. Kemacetan tetap terjadi didaratan, lautan maupun udara. Oleh karena itu, manusia menciptakan internet dan teknologi fotografi serta televisi. Di masa sekarang, manusia hanya dengan duduk di komputer atau televisi, mereka sudah dapat menjangkau dunia yang lebih luas dan warna-warni, meskipun disajikan dalam bentuk potongan gambar, rekaman video atau foto. Mereka menyebutnya sebagai sebuah keniscayaan di era visual age.
 
Islam –seperti diperlihatkan Nabi Ibrahim—mentrandensikan jalan menuju Tuhan sebagai jalan kebahagiaan dan jalan menuju akhirat. Islam memberikan dimensi moral spritual agar aktivitas manusia memiliki tujuan yang lebih bermakna, bukan hanya sekedar mobilitas fisik tanpa tujuan yang bersifat ilahi. Pertanyaan Allah pada Nabi Ibrahim adalah pertanyaan moral yang penuh makna: Hendak dibawa kemana harta kita? Hendak dibawa mobil kita? Hendak dibawa kemana jabatan kita? Hendak dibawa kemana pangkat kita? Hendak dibawa kemana ilmu kita? Hendak dibawa kemana tubuh kita?
 
Di tengah hiruk pikuk manusia dengan berbagai aktivitasnya, maka menjadi penting untuk menanyakan kembali pertanyaan Ibrahim AS. Karena bisa jadi, yang primer bagi manusia secara faktual dewasa ini adalah avoiding the pain, menghindari apapun yang menyakitkan. Lalu juga looking for the pleasure, mengejar apapun yang dirasakan menyenangkan. Sehingga yang muncul hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof Komarudin Hidayat, bahwa salah satu dimensi dan misi manusia sebagai moral being adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupannya di manapun berada. Moral being ini harus diwujudkan dalam ruang-ruang kantor, di kamar rumah, di masjid, di restoran, di warung kopi dan sebagainya. Tujuan hidup kita, lagi-lagi seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada Allah. Tuhan semesta alam. Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin. Sesungguhnya sholatku, matiku, hidupku adalah untuk Allah. Setiap sholat, kita sudah seringkali mengikrarkan dalam lisan kita.
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari Nabi Ibrahim 'alaihis salam adalah bahwa tujuan tertinggi manusia adalah seperti doa Nabi Ibrahim. Rabbi hab li minasshalihin. Ya Allah berilah kami anak-anak yang soleh. Nabi Ibrahim meminta anak yang soleh. Bukan anak yang pintar. Bukan anak yang kaya raya. Bukan anak yang punya jabatan luar biasa. Bukan anak yang punya pangkat setinggi langit. Karena apalah arti anak kaya, anak berpangkat dan jabatan, anak yang pintar tapi mereka tidak soleh. Karena itu, kata kuncinya adalah “anak soleh”.
 
Untuk mewujudkan anak yang soleh, tentu bukan hal yang mudah. Pertama: keluarga adalah hal utama dan pertama dalam mewujudkan anak soleh. Jangan remehkan peran keluarga. Anak yang soleh dan solehah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar. Keduanya berjibaku membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam mendidik anak-anak muslim: “Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca al-Qur’an”. (HR. Tabrani).  
 
Dan Nabi juga bersabda:
 
علموا اولادكم فانهم مخلوقون في زمان غير زمانكم
 
“Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu.”
 
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita. Bagaimanapun, keteladanan merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak-anak kita. Dengan keteladanan yang ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan mempengaruhi anak-anak kita. Keluarga yang mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya. Sebaliknya, keluarga yang mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru. Karena itu, Abdullah Nasih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad, mengutip penyair yang melontarkan kecaman bagi pengajar atau orang tua yang tindak tanduknya bertentangan dengan ucapannya
 
يا ايها الرجل المعلم غيره       
                       هلا لنفسك كان ذا التعليم
تصف الدواء لذي السقام و ذي الضني
                       كما يصح به و انت سقيم
ابدأ بنفسك فانهها عن غيها
                      فاذا انتهت هىه فأنت حكيم
فهناك يقبل م وعظت و يقتدي
                     بالعلم منك و ينفع التعليم
 
Wahai orang
Yang mengajar orang lain
Kenapa engkau tidak juga menyadri
Dirimu sendiri.
Engkau terangkan bermacam obat
Bagi segala penyakit
Agar semua yang sakit sembuh,
Sedang engkau sendiri ditimpa sakit.
Obatilah dirimu dahulu.
Lalu cegahlah agar tidak menular pada orang lain.
Dengan demikian,
Engkau adalah seorang yang bijak
Apa yang engkau nasehatkan
Akan mereka terima dan ikuti,
Ilmu yang engkau ajarkan
Akan bermanfaat bagi mereka.    
 
Ketiga, kumpulkan anak-anak kita dengan teman-teman yang baik atau teman yang soleh atau solehah. Teori habitus yang disampaikan oleh Pierre Bordieu menunjukkan bahwa habitus, tempat di mana kita berada, sangat berpengaruh pada manusia, pada anak-anak dan juga pada adik-adik kita. Bordie menyebut habitus sebagai “struktur yang terstruktur”. Habitus adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”. Almarhum KH Abdul Muchith Muzadi, selalu memberi nasihat pada orang-orang: “Lebih baik sekolah yang berakhalkul karimah meskipun 'tidak bermutu' daripada 'bermutu' tapi tidak berakalakul karimah”. Untuk memilih pendidikan yang karena itu, carilah habitus yang baik-baik. Jangan terjerumus pada habitus yang kurang baik sehingga menyebabkan kita masuk dalam habitus tersebut.        
        
Ma’asyiral Muslimin as’adakumullah,
 
Demikianlah khutbah yang saya sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
 
بسم الله الرحمن الرحيم قد افلح من تزكي و ذكر اسم ربه فصلي بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّه هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
 
Khutbah II 
 
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر.
الحمد لله أفاض نعمه علينا وأعظم. وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له. أسبغ نعمه علينا ظاهرها وباطنها وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. رسول اصطفاه على جميع البريات. ملكهاوإنسها وجنّها. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه أهل الكمال فى بقاع الأرض بدوها وقراها, بلدانها وهدنها.
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أل سيدنا محمد. كما صليت على إبراهيم وعلى أل إبراهيم, وبارك على محمد وعلى أل محمد, كماباركت على إبراهيم وعلى أل إبراهيم فى العالمين إنك حميد مجيد.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات. إنك سميع قريب مجيب الدعوات وقاضى الحاجات. اللهم وفقنا لعمل صالح يبقى نفعه على ممر الدهور. وجنبنا من النواهى وأعمال هى تبور. اللهم أصلح ولاة أمورنا. وبارك لنا فى علومنا وأعمالنا. اللهم ألف بين قلوبنا وأصلح ذات بيننا. اللهم اجعلنا نعظم شكرك. ونتبع ذكرك ووصيتك. ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار.سبحانك رب العزة عما يصفون. و سلام علي المرسلين. والحمد لله رب العالمين
عباد الله ! إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر. يعذكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله يذكركم واشكروا على نعمه يزدكم .ولذكر الله أكبر
 

 
Dr. M.N. Harisudin, M. Fil. I Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember dan Pasca Sarjana IAI Ibrahimy Situbondo, Katib Syuriyah PCNU Jember dan Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur. Khutbah disampaikan pada shalat Idul Adha 1436 H di Masjid Al-Hikmah Universitas Jember.
 
(Red. Ulil Hadrawi)