Syariah

Hikmah Libur Mengaji di Hari Jumat

Kam, 11 Januari 2018 | 11:00 WIB

Sudah umum terjadi setiap kali hari Jumat aktivitas belajar mengajar di berbagai pesantren di Nusantara diliburkan. Demikian pula di beberapa majlis taklim di kampung-kampung. Tradisi tersebut telah berlaku sekian lama dari satu generasi ke generasi yang lain. Bagaimana fiqih menanggapi tradisi libur mengaji tersebut? Bukankah belajar tidak ada hentinya? Mengapa diliburkan, padahal hari Jumat adalah hari terbaik untuk melakukan amal shaleh, termasuk kegiatan belajar mengajar? Berikut ini penjelasannya.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan ada dua hikmah meliburkan aktivitas belajar mengajar di hari Jumat. Pertama, karena hari Jumat merupakan hari raya umat Islam sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi. Saat hari raya berlangsung, tidak sepantasnya seseorang berpikir keras (sepaneng).

(Baca: Pentingnya Mempertahankan Libur Hari Jumat di Pesantren)
Kedua, karena di hari Jumat umat Islam dianjurkan menyibukan diri dengan anjuran-anjuran khusus di hari Jumat yang diajarkan Nabi seperti bergegas menuju tempat Jumat, mandi hari Jumat, membersihkan badan, mencukur rambut, memotong kuku dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya adalah menyibukan diri untuk berdoa dan berdzikir di sepanjang hari Jumat dengan harapan dapat menemui waktu terkabulnya doa di hari Jumat yang tidak seorangpun mengetahui persisnya.

(Baca juga: 8 Adab Umum Muslim di Hari Jumat)
Berikut ini penjelasan lengkap Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengenai hikmah libur mengaji di hari Jumat:

وَسُئِلَ رضي الله عنه هل لِلْمُعَلِّمِينَ في تَرْكِ التَّعْلِيم يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَثَرٌ فَأَجَابَ أَطَالَ اللهُ في مُدَّتِهِ حِكْمَةُ تَرْكِ التَّعْلِيم وَغَيْرِهِ من الْأَشْغَالِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنَّهُ يَوْمُ عِيدِ الْمُؤْمِنِينَ كما وَرَدَ وَيَوْمُ الْعِيدِ لَا يُنَاسِبُهُ أَنْ يَفْعَلَ فِيْهِ الْأَشْغَالَ وَأَيْضًا فَالنَّاسُ مَأْمُورُونَ فيه بِالتَّبْكِيرِ إلَى الْمَسْجِدِ مع التَّهَيُّؤِ قَبْلَهُ بِالْغُسْلِ وَالتَّنْظِيفِ بِإِزَالَةِ الْأَوْسَاخِ وَجَمِيعِ ما يُزَالُ لِلْفِطْرَةِ كَحَلْقِ الرَّأْسِ لِمَنْ اعْتَادَهُ وَشَقَّ عليه بَقَاءُ الشَّعْرِ فإن الْحَلْقَ حِينَئِذٍ سُنَّةٌ وَكَنَتْفِ الْإِبْطِ وَقَصِّ الشَّارِبِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَالتَّكَحُّلِ وَالتَّطَيُّبِ بِشَيْءٍ من أَنْوَاعِ الطِّيبِ وَأَفْضَلُهُ الْمِسْكُ مع مَاءِ الْوَرْدِ وَلَا أَشُكُّ أَنَّ من خُوطِبَ بِفِعْلِ هذه الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا مع التَّبْكِيرِ بَعْدَهَا لَا يُنَاسِبُهُ شُغْلٌ فَكَانَ ذلك هو حِكْمَةُ تَرْكِ سَائِرِ الْأَشْغَالِ يوم الْجُمُعَةِ 

“Syekh Ibnu Hajar al-Haitami ditanya, apakah meninggalkan kegiatan mengajar bagi para guru di hari Jumat ada dasarnya?. Beliau menjawab, hikmah meninggalkan kegiatan mengajar dan beberapa kesibukan lainnya di hari Jumat adalah bahwa hari Jumat merupakan hari raya bagi kaum Mukmin sebagaimana dijelaskan hadits Nabi. Sedangkan saat hari raya tidak sepantasnya seseorang melakukan kegiatan-kegiatan. Di sisi yang lain, pada hari Jumat umat Islam diperintahkan bergegas berangkat menuju masjid beserta aktivitas persiapan sebelumnya meliputi mandi, membersihkan kotoran-kotoran badan dan perkara-perkara yang dihilangkan sebagai bentuk fitrah manusia seperti memotong rambut bagi yang membiasakannya dan berat untuk tidak memotongnya, maka memotong rambut sunah. Seperti juga mencabut bulu ketiak, mencukur kumis, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, memakai celak dan wewangian, lebih utama dengan menggunakan minyak misik beserta air mawar. Dan saya tidak ragu bahwa orang yang dianjurkan melakukan tuntunan-tuntuan ini beserta anjuran bergegas menuju masjid setelahnya tidak sepantasnya melakukan kesibukan apapun. Maka, yang demikian tersebut merupakan hikmah meninggalkan berbagai macam aktivitas di hari Jumat”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz.1, hal.236, cetakan Dar al-Fikr (Lebanon), cetakan tahun 1983).

Penjelasan Syekh Ibnu Hajar di atas mengarah kepada aktivitas sebelum pelaksanaan Jumat. Lantas bagaimana dengan aktivitas yang dilakukan setelah shalat Jumat?. Guru dari pengarang kitab Fath al-Mu’in yang biasa diajarkan di berbagai pesantren ini melanjutkan penjelasannya sebagai berikut:

هَذَا فِيمَا قبل صَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَأَمَّا بَعْدَهَا فَالنَّاسُ مُخَاطَبُونَ بِدَوَامِ الْجُلُوسِ في الْمَسَاجِدِ إلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ لِمَا وَرَدَ في ذلك من الْفَضْلِ الْعَظِيمِ وَبَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ لم يَبْقَ مَجَالٌ لِلشُّغْلِ على أَنَّ الناس مَأْمُورُونَ بِالِاجْتِهَادِ في الدُّعَاءِ في ذلك الْيَوْمِ إلَى غُرُوبِ شَمْسِهِ لَعَلَّ أَنْ يُصَادِفُوا سَاعَةَ الْإِجَابَةِ فَاتَّضَحَ وَجْهُ تَرْكِ الشُّغْلِ في ذلك الْيَوْمِ جَمِيعِهِ والله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

“Yang demikian ini dalam permasalahan sebelum shalat Jumat. Adapun setelah pelaksanaan Jumat, seorang muslim dituntut untuk melanggengkan duduk di dalam masjid sampai waktu Ashar, karena dalam hal tersebut terdapat keutamaan yang besar sebagaimana dijelaskan hadits Nabi. Dan setelah shalat Ashar, tidak ada lagi waktu tersisa untuk berkegiatan. Di sisi lain, seorang muslim diperintahkan untuk bersungguh-sungguh berdoa pada hari Jumat ini sampai tenggelamnya matahari, dengan harapan dapat menemui waktu terkabulnya doa. Maka telah jelas, pertimbangan meninggalkan kesibukan di sepanjang waktu hari Jumat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala maha mengetahui kebenaran”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz.1, hal.236, cetakan Dar al-Fikr (Lebanon), cetakan tahun 1983).

Tradisi meliburkan aktivitas belajar mengajar di hari Jumat juga dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khatab, bahkan beliau mendoakan buruk kepada siapa pun yang mengubah tradisi tersebut.

Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur menjelaskan:

وَفِي الْإِيْعَابِ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه طاَلَتْ غَيْبَتُهُ مُدَّةً حَتَّى اشْتَاقَ إِلَيْهِ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ فَلَمَّا قَدِمَ خَرَجُوْا لِلِقَائِهِ فَأَوَّلُ مَنْ سَبَقَ إِلَيْهِ الْأَطْفَالُ فَجَعَلَ لَهُمْ تَرْكَ الْقُرْآنِ مِنْ ظُهْرِ يَوْمِ الْخَمِيْسِ إِلَى يَوْمِ السَّبْتِ وَدَعَا عَلَى مَنْ يُغَيِّرُ ذَلِكَ اهـ ش ق.

“Dalam kitab al-I’ab disebutkan bahwa Sayyidina Umar bin Khatab pergi sekian lama meninggalkan penduduk Madinah, sampai mereka merindukan beliau. Saat Sahabat Umar kembali, penduduk Madinah berbondong-bondong menyambut kedatangan Khalifahnya tersebut. Pertama kali yang menyambut beliau adalah anak-anak kecil. Kemudian Khalifah Umar memberi kebijakan kepada mereka untuk meliburkan pengajian al-Qur’an sejak zhuhur hari Kamis sampai hari Sabtu. Dan beliau mendoakan buruk kepada siapa pun yang mengubah tradisi libur tersebut.” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal.83, cetakan al-Haramain-Surabaya, tt).

Demikianlah penjelasn hikmah diliburkannya aktivitas belajar mengajar di hari Jumat. Semoga bermanfaat. (M. Mubasysyarum Bih)


Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua