Syariah

Apakah Ujaran Kebencian Batalkan Keabsahan Khutbah Jumat?

Sel, 4 Desember 2018 | 10:45 WIB

Apakah Ujaran Kebencian Batalkan Keabsahan Khutbah Jumat?

(Foto: @wikipedia)

Khutbah Jumat dimaksudkan untuk memberi mauizhah, pesan menyejukkan dan mendamaikan. Namun, esensi khutbah ini mulai tercerabut dari akarnya. Di beberapa tempat banyak dijumpai pesan khutbah yang disampaikan justru mengarah pada caci maki dan ujaran kebencian. Padahal keabsahan Jumat bergantung pada keabsahan khutbahnya.

Pertanyaannya adalah apakah caci maki, ujaran kebencian dan yang sejenis dapat membatalkan keabsahan Jumat?

Ujaran kebencian, menggunjing, dan mencaci maki bukan ajaran Nabi. Meski kaumnya menyimpang dan biadab, Nabi tetap sabar. Nabi tidak mengeluarkan caci maki atau kata-kata kotor. Khutbah yang disampaikan Nabi tetap tenang menyejukan penuh kasih sayang. 

Hal ini tergambar jelas dalam sebuah hadits:

إني لم أبعث لعانا وانما بعثت رحمة

Artinya, “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai pelaknat. Aku diutus sebagai rahmat,” (HR Muslim).

Nabi berpesan agar di antara Muslim jangan saling mendengki, membenci dan berpaling muka. Khatib yang gemar mencaci maki, mengujarkan kebencian dan menggunjing sesungguhnya bertolak belakang dengan pesan Nabi ini.

Caci maki, ujaran kebencian dan menggunjing hukumnya haram, termasuk saat disampaikan di dalam khutbah Jumat.

Dalam kajian ushul fiqih, ibadah yang terdapat unsur keharaman, tidak selamanya dinyatakan batal. Salah satu kasusnya, orang shalat memakai pakain hasil curian atau di tempat ghasaban. Shalatnya tetap sah, namun haram dari sisi memakai harta atau tempat orang lain tanpa seizin pemiliknya. Pun demikian dalam kasus ini.

Secara hukum taklifi (hukum berdasarkan pertimbangan halal-haram), khutbah berisikan ujaran kebencian dan caci maki adalah haram, sebab agama melarang keras akan hal tersebut. Banyak dalil yang menjelaskan mengenai keharamannya.

Fokus pembahasan di tulisan ini adalah mengenai status keabsahan khutbahnya. Dalam kajian ushul fiqih disebut dengan hukum wadh’i (hukum berdasarkan pertimbangan sah dan batal).

Untuk mengukur pertimbangan sah dan tidaknya sebuah ibadah prinsipnya adalah kembali pada syarat dan rukun ibadah itu sendiri. Bila semua terpenuhi, maka ibadahnya sah. Bila tidak terpenuhi, maka ibadahnya batal.

Salah satu syarat yang harus terpenuhi dalam khutbah adalah berkesinambungan, sambung menyambung tanpa ada pemisah di antara rukun-rukunnya. Tidak boleh ada jeda atau pemisah yang lama berupa pembicaraan lain yang menyimpang dari isi khutbah.

Tidak termasuk pemisah yang memutus kesinambungan khutbah, materi yang masih berkaitan dengan khutbah, meski panjang dan lama, karena hal tersebut tergolong kemaslahatan khutbah. Yang dimaksud materi yang berkaitan dengan khubah adalah materi yang memuat mau’izhah.

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi mengatakan:

قال المؤلف (وولا) بينهما وبين أركانهما وبينهما وبين الصلاة (قوله وبين أركانهما) ولا يقطعها الوعظ وإن طال لأنه من مصالح الخطبة فالخطبة الطويلة صحيحة كما قرره شيخنا

Artinya, “Dan disyaratkan terus menerus di antara dua khutbah, di antara rukun-rukunnya dan di antara dua khutbah dan shalat Jumat. Ucapan di antara rukun-rukunnya, maksudnya tidak dapat memutus syarat berkesinambungan, mauizhah khutbah meski panjang karena termasuk kemaslahatan khutbah, maka khutbah yang panjang hukumnya sah sebagaimana ditegaskan oleh guru kami,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairami ‘ala Fathil Wahhab, juz IV, halaman 94).

Termasuk perkara yang tidak dapat memutus kesinambungan di antara rukun-rukun khutbah adalah bacaan ayat suci Al-Qur’an, namun disyaratkan harus memuat mau’izhah. Syekh Abu Bakr bin Syatha menegaskan:

فإن فصل بما له تعلق بها لم يضر، فلا يقطع الموالاة الوعظ وإن طال، وكذا قراءة وإن طالت حيث تضمنت وعظا

Artinya, “Bila dipisah dengan perkara yang berhubungan dengan khutbah, maka tidak bermasalah, maka tidak dapat memutus kesinambungan yaitu mau’izhah meski panjang, demikian pula Al-Qur’an meski panjang bila memuat mau’izhah,” (Lihat Syekh Abu Bakr Bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 83).

Dari referensi di atas dapat dipahami bahwa ujaran kebencian dan caci maki bukan termasuk hal-hal yang berkaitan dengan khutbah sehingga keberadaannya bukan termasuk kemasalahatan khutbah. Bila demikian adanya, hal tersebut dapat memutus kesinambungan khutbah bila disampaikan lama dan panjang. 

Batasan pemisah yang lama adalah sekira cukup untuk dibuat melaksanakan shalat dua rakaat yang ringan, tidak terlalu dipanjangkan pelaksanaannya. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi mengatakan:

قال المؤلف (وولاء) بين الخطبتين وبين أركانهما وبعضها وبينهما وبين الصلاة وضابط الموالاة أن لا يتخلل ما يسع ركعتين بأخف ممكن

Artinya, “Disyaratkan berkesinambungan di antara dua khutbah, di antara rukun-rukunnya, sebagiannya, di antara khutbah dan shalat Jumat. Batasan berkesinambungan adalah tidak disela oleh waktu yang cukup melaksanakan shalat dua rakaat dengan durasi yang paling ringan dan memungkinkan,” (Lihat Syekh Nawawi bin Umar Al-Jawi, Nihayatuz Zain, halaman 138).

Simpulannya, materi caci maki dan ujaran kebencian dapat membatalkan keabsahan khutbah bila disampaikan dalam durasi yang lama, sekiranya cukup dibuat melakukan shalat dua rakaat dengan durasi yang paling ringan dan memungkinkan.

Dalam titik ini, khutbah harus diulang, karena tidak memenuhi persyaratan khutbah, yaitu sambung menyambung di antara rukun-rukun khutbah. Bila tidak memenuhi perincian ini, khutbahnya tetap sah, namun tetap haram, sebab materi yang disampaikan mengarah kepada keharaman.

Meski khutbahnya sah, namun bagaimana pun khatib adalah pemimpin jamaah. Sakralitas mimbar hendaknya ia jaga dengan baik dengan memberikan pesan yang menyejukkan, bukan justru menjadi ajang merundung (mem-bully) pihak lain yang dapat membatalkan pahala ibadah. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. (M Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua