Syariah

Syahidnya Korban Wabah Menular dan Anjuran Mengisolasi Diri

Sen, 16 Maret 2020 | 13:30 WIB

Syahidnya Korban Wabah Menular dan Anjuran Mengisolasi Diri

Ada sejumlah kesamaan antara orang yang sakit dan jihad di medan perang.

Mengisolasi pasien yang terkena wabah penyakit menular diyakini secara medis merupakan salah satu kunci utama menangani masifnya penyebarannya yang lebih luas. Hal ini umumnya difasilitasi oleh pemerintah melalui, misalnya membangun tempat penampungan sementara yang layak dan manusiawi kepada pasien yang sudah terpapar atau baru diduga terjangkit suatu penyakit yang mewabah.

 

Semua itu dilakukan agar pasien tidak merasa dirinya dikucilkan dari pergaulan masyarakat, yang mengakibatkan psikologi kian tertekan, sehingga justru memperparah kondisinya karena stes dapat menurunkan daya tahan tubuh. Untuk itu, mendukung pasien yang suspek wabah menular, memotivasinya untuk melakukan penyembuhan, dan tidak melarikan diri dari ruang isolasi adalah sebuah perkara yang harus juga senantiasa diutamakan.

 

Di dalam sebuah hadits riwayat Imam al-Bukhari disebutkan keutamaan bagi penderita mukmin yang mau bersabar meski dirinya tertular wabah penyakit berbahaya. Keutamaan itu terdapat pada kesabarannya dalam menghadapi ruang isolasi, tidak melarikan diri dari pengobatan, dan janji pahala dari Allah subhanahu wata’ala.

 

Pertama, perintah agar tetap berada di ruang isolasi dan janji pahala baginya. Tetap dalam ruang isolasi merupakan tindakan yang menyebabkan masyarakat lain tidak turut menghadapi bahaya yang serupa dengannya.

 

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُونِ، فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَهُ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْل أَجْرِ الشَّهِيدِ

 

“Diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang tha’un. Lalu beliau Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tha’un itu adalah azab yang dikirim Allah kepada orang yang dikehendaki. Allah jadikan rahmat bagi orang mukmin. Oleh karena itu, tiada penyakit tha’un menular ke seorang hamba (mukmin), lalu dia memutuskan untuk tetap diam tinggal di negerinya (ruang isolasi) dengan sabar, melainkan Allah pasti tetapkan baginya pahala (yang besar), menyerupai pahalanya orang yang mati syahid.” (Shahih al-Bukhari, juz 10, halaman 192).

 

 

Kedua, orang mukmin yang terkena wabah menular dan meninggal karenanya, dijanjikan oleh Allah SWT pahala akan mendapatkan pahala layaknya orang yang mati syahid. Imam Ahmad di dalam sebuah hadits hasan dan marfu’, telah meriwayatkan:

 

عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدِ السُّلَمِيِّ رَفْعَهُ يَأْتِي الشُّهَدَاءُ وَالْمُتَوَفُّونَ بِالطَّاعُونِ، فَيَقُول أَصْحَابُ الطَّاعُونِ: نَحْنُ الشُّهَدَاءُ، فَيُقَال: انْظُرُوا فَإِنْ كَانَتْ جِرَاحُهُمْ كَجِرَاحِ الشُّهَدَاءِ تَسِيل دَمًا وَرِيحُهَا كَرِيحِ الْمِسْكِ فَهُمْ شُهَدَاءُ، فَيَجِدُونَهُمْ كَذَلِكَ

 

“Dari ‘Utbah ibn Abdi al-Sulmiy, beberapa hamba mukmin yang tertular penyakit tha’un dan sebagian di antaranya telah meninggal, datang menghadap Utbah. Para penyandang wabah tha’un ini berkata: Kami adalah para syuhada’. Pernyataan ini lalu disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau bersabda: Lihatlah kepada mereka. Jika terdapat luka sebagaimana lukanya para syuhada perang, yang mengalir darinya darah dan nanah yang berbau seperti bahunya minyak misik, maka mereka benar mereka adalah para syuhada’.” Lalu diperiksalah mereka, dan benar ditemui hal-hal yang semacam itu di tubuh mereka.” Hadits hasan riwayat Imam Ahmad, dan beliau memarfu’kannya. (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., juz 28, halaman 333).

 

Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalani, di dalam kitab Fath al-Bari, juz 10, halaman 193-194, sebagaimana dikutip dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juga memberikan catatan:

 

فَلَوْ مَكَثَ وَهُوَ قَلِقٌ أَوْ نَادِمٌ عَلَى عَدَمِ الْخُرُوجِ ظَانًّا أَنَّهُ لَوْ خَرَجَ لَمَا وَقَعَ بِهِ أَصْلاً وَرَأْسًا، وَأَنَّهُ بِإِقَامَتِهِ يَقَعُ بِهِ، فَهَذَا لاَ يَحْصُل لَهُ أَجْرُ الشَّهِيدِ وَلَوْ مَاتَ بِالطَّاعُونِ، هَذَا الَّذِي يَقْتَضِيهِ مَفْهُومُ هَذَا الْحَدِيثِ، كَمَا اقْتَضَى مَنْطُوقُهُ أَنَّهُ مَنِ اتَّصَفَ بِالصِّفَاتِ الْمَذْكُورَةِ يَحْصُل لَهُ أَجْرُ الشَّهِيدِ وَإِنْ لَمْ يَمُتْ بِالطَّاعُونِ

 

“Tapi, jika diamnya seseorang yang tertimpa wabah itu disertai dengan kerisauan atau bahkan menyesal (menunaikan) larangan dirinya tidak boleh keluar, bahwa seandainya dia dibolehkan keluar maka menurutnya (secara dhanni) maka dia tidak akan ditimpa penyakit itu, baik parah atau tidak, dan justru sebab dibiarkannya itu justru ia malah tertimpa penyakit, maka hal seperti ini menyebabkannya dirinya tidak beroleh pahala kesyahidan, bahkan meski dia meninggal disebabkan oleh tha’un. Inilah yang dikehendaki dari mafhum dua hadits di atas, sebagaimana hal itu juga bisa dilihat pada lafadh hadits itu secara lahir, bahwasanya: barang yang siapa memiliki ciri-ciri sebagaimana yang telah disebutkan, maka dia beroleh pahala mati syahid. Bahkan, seandainya kematiannya itu bukan karena tha’un.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., juz 28, halaman 333)

 

Selanjutnya, disampaikan, apakah status mukmin yang meninggal karena wabah menular ini termasuk syahid yang tidak perlu dimandikan atau dishalati?

 

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, yang juga dikutip dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah menjelaskan:

 

وَالْمُرَادُ بِشَهَادَةِ الْمَيِّتِ بِالطَّاعُونِ أَنَّهُ يَكُونُ لَهُ فِي الآْخِرَةِ ثَوَابُ الشَّهِيدِ، وَأَمَّا فِي الدُّنْيَا فَيُغَسَّل وَيُصَلَّى عَلَيْهِ

 

“Yang dimaksud dengan kesyahidan mayit korban tha’un ini adalah bahwasanya sesungguhnya syahidnya itu adalah syahid akhirat, dari sisi pahala kesahidannya. Adapun dalam hukum dunia, dia tetap perlu dimandikan dan dishalati.” (Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Kuwait: Shanjah-Thila’, tt., Juz 28, halaman: 333)

 

Lantas apa yang menjadi illat penyamaan penderita wabah penyakit menular ini dengan kesyahidan akhirat lainnya?

 

Imam Al-Qadli Baidlawi menyampaikan:

 

مَنْ مَاتَ بِالطَّاعُونِ، أَوْ بِوَجَعِ الْبَطْنِ مُلْحَقٌ بِمَنْ قُتِل فِي سَبِيل اللَّهِ لِمُشَارَكَتِهِ إِيَّاهُ فِي بَعْضِ مَا يَنَالُهُ مِنَ الْكَرَامَةِ بِسَبَبِ مَا كَابَدَهُ، لاَ فِي جُمْلَةِ الأْحْكَامِ وَالْفَضَائِل

 

“Alasan orang yang meninggal karena wabah tha’un, atau sakit perut, dan disamakan status kesyahidannya dengan orang yang telah berperang di jalan Allah, adalah disebabkan karena keserupaannya dalam sebagian yang ia derita, di antaranya penghormatan sebab susah payahnya, dan bukan secara keseluruhan dalam hukum dan keutamaan” (Syekh Ali Bin Sulthan Muhammad al-Qari, Mirqatu al-Mafatih Syarah Misykatu al-Mashabih, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001, juz 7, halaman 345).

 

Walhasil, ada pahala dan keutamaan yang besar bagi penderita mukmin yang menjadi korban tertular wabah penyakit, sehingga pada puncaknya meski bisa menyebabkan kematian. Jadi, bagi para penderita, hendaknya ia bersabar, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kesabaran dapat melahirkan pikiran tidak stres. Ketiadaan stres dapat meningkatkan kekebalan tubuh dari serangan penyakit. Ini hanyalah merupakan sebuah tips dalam syariat. Tidakkah kita meyakini, bahwa Allah subhanahu wata’ala sudah memerintahkan agar senantiasa berdzikir.

 

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 

“Orang-orang yang beriman dan senantiasa menentramkan hatinya dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, dengan dzikir kepada Allah, maka hati akan timbul tenangnya hati.” (Q.S. Al-Ra’d [13] ayat 252).

 

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur