Syariah

Shalat Jenazah di Kuburan

Ahad, 6 Januari 2019 | 22:30 WIB

Tidak semua orang dapat menshalati mayat sebelum dimakamkan. Karena kendala tertentu, seperti jarak yang terlampau jauh, mengakibatkan sebagian orang tidak menjumpai jenazah sebelum dikebumikan.

Karena kedekatan dengan sang mayat, sebagian orang menyempatkan diri melaksanakan shalat jenazah di kuburan sang mayat. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum shalat jenazah di kuburan dan bagaimana ketentuannya?

Shalat jenazah di kuburan hukumnya diperbolehkan, baik mayat dimakamkan sebelum dishalati atau sesudahnya. Kebolehan ini berlandaskan kepada hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah di atas kubur perempuan atau laki-laki yang rajin membersihkan masjid. Demikian pula hadits riwayat An-Nasa’i dengan sanad yang shahih, bahwa Nabi Muhammad SAW menshalati jenazah Ummu Mahjan di kuburannya, yang telah dikebumikan di malam hari.

Namun kebolehan menshalati jenazah di kuburan disyaratkan bukan jenazahnya para nabi. Maka menjadi tidak sah menshalati jenazah para nabi setelah kewafatan mereka. Ada dua alasan mengapa tidak sah. Pertama, berdasarkan hadits nabi yang melarang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid (tempat shalat). Kedua, karena saat kewafatan para nabi, kita bukan tergolong orang yang diwajibkan untuk menshalati.

Keterangan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakariyya Al-Anshari berikut ini:

و  تجوز  على قبر غير النبي صلى الله عليه وسلم بعد الدفن سواء أدفن قبلها أم بعدها

Artinya, “Boleh menshalati kuburnya selain nabi setelah dikebumikan baik mayat dimakamkan sebelum dishalati maupun sesudahnya.”

لأنه صلى الله عليه وسلم صلى على قبر امرأة أو رجل كان يقم المسجد وعلى قبر مسكينة يقال لها أم محجن دفنت ليلا روى الأول الشيخان والثاني النسائي بإسناد صحيح

Artinya, “Karena Nabi Muhammad Saw menshalati kuburnya perempuan atau laki-laki yang rajin menyapu masjid. Dan Nabi menshalati kuburnya perempuan miskin yang disebut-sebut bernama Ummu Mahjan, ia sudah dimakamkan di malam hari. Hadits pertama diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim. Hadits kedua diriwayatkan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih.”

أما الصلاة على قبور الأنبياء صلى الله عليهم وسلم فلا تجوز واحتج له بخبر الصحيحين لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد  وبأنا لم نكن أهلا للفرض وقت موتهم

Artinya, “Adapun menshalati kubur para nabi, maka tidak boleh. Argumennya adalah haditsnya Al-Bukhari dan Muslim bahwa Allah melaknat Kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Argumen lain, kita bukan termasuk orang yang diwajibkan menshalati saat kewafatan mereka,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 322).

Dalam pelaksanaan shalat jenazah di kuburan, disyaratkan posisi orang yang menshalati tidak berada di depan kubur. Syarat ini juga berlaku dalam persoalan menshalati jenazah yang hadir. Pensyaratan ini berdasarkan sebuah prinsip bahwa mayat dianggap seperti imam, orang yang menshalati sebagai makmum. Sehingga posisi orang yang shalat tidak boleh berada di depan mayat.

Syarat ini tidak berlaku untuk shalat ghaib sehingga hukumnya sah menshalati ghaib meski posisi orang yang shalat berada di depan mayat, sebab ada hajat (kebutuhan).

Syekh Zakariyya Al-Anshari menjelaskan:

فإن تقدم المصلي على الجنازة الحاضرة أو القبر لم تصح صلاته كما في تقدم المأموم على إمامه أما المتقدم على الغائبة فصلاته صحيحة للحاجة

Artinya, “Bila mushalli maju melampaui posisi jenazah yang hadir atau mayat yang di kubur, maka tidak sah shalatnya sebagaimana dalam persoalan majunya posisi makmum melampaui imamnya. Sedangkan mushalli yang posisinya lebih maju dalam shalat ghaib, maka shalatnya sah karena kebutuhan,” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 317).

Keabsahan shalat jenazah di kuburan juga disyaratkan harus dilakukan oleh orang yang terkena tuntutan kewajiban menshalati jenazah saat kematian mayat, dengan sekira saat kematian mayat, seseorang dalam keadaan Muslim, mukallaf, dan suci dari haidh dan nifas. Maka mengecualikan non-Muslim, anak kecil, orang gila dan perempuan haidh. Orang-orang yang saat kewafatan mayat dalam kondisi tersebut, tidak sah melaksanakan shalat jenazah di kuburan.

Syekh Zainuddin Al-Malibari menegaskan:

ـ (و) تصح على حاضر ( مدفون ) ولو بعد بلائه (غير نبي) فلا تصح على قبر نبي لخبر الشيخين) من أهل فرضها وقت موته) فلا تصح من كافر وحائض يومئذ كمن بلغ أو أفاق بعد الموت ولو قبل الغسل كما اقتضاه كلام الشيخين

Artinya, “Sah menshalati mayat hadir yang dimakamkan, meski setelah hancur. Selain mayat nabi, maka tidak menshalati kubur nabi karena hadits Al-Bukhari dan Muslim. Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat. Maka tidak sah dari non-Muslim dan perempuan haidh saat kematian mayat, sebagaimana tidak sah dilakukan orang yang baligh atau sembuh dari gila setelah kematian mayat, meski balighnya atau sembuhnya sebelum mayat dimandikan sebagaimana yang ditunjukkan oleh statemen Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, juz II, halaman 133).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

قوله (من أهل فرضها وقت موته) أي تصح الصلاة على الميت الغائب وعلى الحاضر المدفون إن كان من يريد الصلاة من أهل أداء فرضها وقت الموت بأن يكون حينئذ مسلما مكلفا طاهرا لأنه يؤدي فرضا خوطب به  اه  تحفة

Artinya, “Ucapan Syekh Zainuddin, "Dari orang yang diwajibkan menshalati saat kematian mayat", maksudnya adalah sah menshalati mayat ghaib dan mayat hadir yang telah dimakamkan, bila orang yang hendak menshalati adalah orang yang diwajibkan menshalati pada waktu kematian mayat. Dengan sekira saat kematian mayat, ia dalam keadaan Muslim, mukallaf dan suci (dari haidh dan nifas), karena ia telah menjalankan kewajiban yang dituntut kepadanya,” (Lihat Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 133).

Demikian mengenai hukum dan ketentuan menshalati mayat di kuburan. Semoga bermanfaat. Wallahu a‘lam.


(Ustadz M Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua