Syariah

Menarik Tarif Pemakaman dalam Kajian Fiqih Islam

Sel, 24 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Menarik Tarif Pemakaman dalam Kajian Fiqih Islam

Boleh hukumnya menetapkan tarif pemakaman dengan ketentuan tarif tersebut bukan disampaikan oleh pewakaf.

Di sejumlah tempat kita sering mendapati penarikan biaya atau tarif pemakaman jenazah yang diberlakukan di lokasi pemakaman umum atau bahkan pemakaman wakaf. Biaya ini dibebankan kepada keluarga mayit dengan sejumlah catatan, antara lain:


1. Apabila jenazah bukan orang dari desa atau wilayah setempat.


2. Tarif ditetapkan oleh aparat desa atau kelurahan dengan alasan luas area pemakaman terbatas, sehingga harus ada antisipasi kemungkinan sudah tidak muat lagi untuk ditempati pemakaman lagi.


3. Tarif penggunaan tanah pemakaman ditetapkan secara variatif didasarkan pada kondisi ekonomi keluarga jenazah atas pertimbangan aparat desa setempat.

 

Dari fakta ini selanjutnya muncul pertanyaan, apakah menarik tarif pemakaman tersebut hukumnya boleh? Padahal, banyak anggapan masyarakat bahwa lokasi pemakaman merupakan fasilitas umum atau fasum. 


Di lain sisi, ketika tanah pemakaman itu penuh dan tidak ada tempat lagi untuk memakamkan jenazah baru, yang repot mencari tempat lain adalah pemerintah desa, di mana terkadang masyarakat juga ditarik iuran untuk membeli tanah tersebut, meskipun  tidak menutup kemungkinan ada yang dengan sukarela mewakafkan sebidang tanahnya untuk lokasi pemakaman umum yang baru. Lalu Bagaimana fiqih memandangnya? 


Hukum Asal Menarik Pungutan di Tanah Pemakaman
Pada dasarnya, hukum asal menarik pungutan pada fasilitas umum seperti tanah pemakaman memang tidak dibolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan kaidah asal:


الأصل براءة الذمة


“Artinya, asal segala sesuatu adalah bebas dari beban.”


Namun, faktanya ada pemilahan dari para ulama terhadap jenis-jenis tanah makam. Kaidah al-ashlu bara-atudz dzimmah, umumnya berlaku untuk tanah makam yang berstatus musabbalah (pemakaman umum). Berikut ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan.


Pertama, ada maqbarah musabbalah atau pemakaman umum, maqbarah mauqûfah atau pemakaman wakaf, dan ada maqbarah musabbalah mauqûfah atau pemakaman umum yang merupakan wakaf. Jenis tanah terakhir ini, merupakan cabang dari dua jenis pemakaman yang pertama. Alhasil, secara umum, perincian mengenai status tanah merujuk pada definisi dua tanah yang disebutkan di awal. 


Syekh Abdurrahman al-Jaziri (wafat 1360 H), menyampaikan definisi tersebut sebagai berikut:


والمسبلة هي التي اعتاد الناس الدفن فيها، ولم يسبق لأحد ملكها، والموقوفة: هي ما وقفها مالك بصيغة الوقف


Artinya: “Tanah pemakaman musabbalah adalah tanah pemakaman yang biasa dipakai masyarakat untuk mengubur jenazah yang tidak didahului oleh kepemilikan sipapun pun sebelumnya; sementara itu tanah pemakaman mauqûfah adalah tanah pemakaman diwakafkan oleh pemiliknya dengan shighat wakaf.” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘alâl Madzâhibil Arba’ah, juz I, halaman 420).


Kedua, UUD 1945 pasal 33 ayat (3) menyebutkan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.

 

Diksi 'penguasaan' dalam undang-undang menandakan bahwa ada kepemilikan. Alhasil, tidak ada sejengkal tanah pun tanpa memiliki status hak penguasaan dan kepemilikan di Indonesia. Imbasnya, secara fikih tidak ada status tanah yang berlaku sebagai musabbal sebagaimana definisi yang disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jaziri dalam penjelasan di atas. 


Ketiga, setiap kepemilikan tanah di Indonesia meniscayakan timbul dari buah relasi akad pindah milik, baik lewat akad hibah atau wakaf. Di dalam wakaf, boleh bagi pewakif menetapkan syarat pemanfaatan selagi tidak menegasikan dari tujuan utama syariat wakaf, yaitu menjaga pokok harta wakaf dan menjadikan umum atas manfaatnya atau tahbîsul ashli wa tasbîlun naf’i. Bagi pihak yang berada di luar ketentuan yang disyaratkan, maka menggunakan tanah tersebut sama artinya dengan meminjam sehingga butuh izin, atau menyewa dengan mengeluarkan biaya. Ketiadaan izin penggunaan dapat membuat keluarga jenazah sebagai pelaku ghashab atau menggunakan tanah tanpa hak.


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَإِذَا أَعَارَهُ بُقْعَةً لِلدَّفْنِ فَدُفِنَ فِيهَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي إِعارَتِها، ما لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ قَدْ بَلِيَ وصارَ رَمِيمًا. فَإِذَا تَحَقَّقَ ذَلِكَ كانَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهَا. وإنْ دُفِنَ فِي مِلْكِهِ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَمَوْضِعُ الدَّفْنِ غَصْبٌ. قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَأَكْرَهُ أَنْ يَنْقُلَهُ، لِأَنَّهُ نَهْكُ حُرْمَتِهِ، فَإنْ نَقَلَهُ جازَ


Artinya, “Imam asy-Syafi berkata: ‘Ketika tanah seseorang dipinjam untuk menguburkan jenazah dan ia mengijinkannya, maka ia tidak boleh menarik kembali tanah tersebut sebelum bisa dipastikan bahwa jenazah sudah hancur menjadi tanah. Namun, bila sudah bisa dipastikan, maka ia boleh mengelolanya kembali. Bila ada jenzah yang dikuburkan di tempat tersebut tanpa perintah (izin) dari pemiliknya, maka tempat tersebut berstatus ghashab.’ Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Makruh hukumnya memindahkan jenazah tersebut, karena hal itu akan menghilangkan merusak kehormatan jenazah. Akan tetapi, jika terpaksa harus dipindah, maka boleh.” (Al-Mawardi, al-Hâwil Kabîr, juz III, halaman 27).


Keempat, bolehnya menetapkan besaran ongkos sewa atau mutlak berlakunya izin bagi pihak yang berada di luar jangkauan syarat pemanfaatan tanah makam, adalah karena menghargai kehormatan tanah wakaf.


أَنَّ حُرْمَةَ الْأَرْضِ أَوْكَدُ؛ لِأَنَّ الانْتِفَاعَ بِهَا مُؤَيَّدٌ، وَالانْتِفَاعُ بِالثَّوْبِ مُؤَبَّدًا

 

Artinya, “Sungguh kemuliaan bumi adalah lebih kuat, karena mengambil manfaat darinya dikuatkan nash. Demikian halnya mengambil manfaat terhadap pakaian (untuk kafan) adalah bersifat diabadikan.” (Al-Mawardi, al-Hâwi, juz III, halaman 28).


Kelima, tanah pemakaman di lokasi perkotaan sifatnya terbatas, sehingga perlu antisipasi untuk membeli tanah baru untuk lokasi pemakaman baru. Untuk mendapatkan tanah baru diperlukan biaya yang bisa diambil dari ghullatul waqfi atau hasil manfaat pengelolaan dari aset wakaf. Baik menurut kalangan Hanafiyah maupun Syafi’iyah, hal ini dibolehkan dengan alasan lit tahsîn menurut Hanafiyah dan lil mashâlih menurut Syafi’iyah. 

 

وَحَاصِلُهُ: أَنَّ الْمَنْقُولَ عِنْدَنَا أَنَّ الْمَوْقُوفَ عَلَيْهِ إِذَا خَرِبَ يُصْرَفُ وَقْفُهُ إِلَى مُجانِسِهِ، فَتُصْرَفُ أَوْقافُ الْمَسْجِدِ إِلَى مَسْجِدٍ آخَرَ ... فَهُوَ اسْتِدْلَالٌ عَلى قَوْلِهِ: تَلْزَمُ إِدَارَتُهَا، أَيِ الْأَرْضِ الْمُرْصَدَةِ كَمَا كَانَتْ، أَيْ بِأَنْ يَصْرِفَ خَرَاجَهَا


“Kesimpulan. Berdasarkan nukilan dalam mazhab kita Hanafiyah, sungguh obyek wakaf (baca: tanah makam), apabila rusak (baca: penuh atau sudah tidak muat lagi), maka wakafnya disalurkan pada wakaf yang sejenisnya. Karenanya, hendaknya aset-aset wakaf masjid yang hancur (baca: makam penuh) seharusnya disalurkan ke masjid lain (baca: membeli tanah makam yang baru) … Ini merupakan bagian dari cara pengambilan dalil (istidlal) sebagaimana qaul mushannif saat mengatakan wajib memutarnya, maksudnya: memutar hasil pengelolaan obyek wakaf (baca: makam lama), misalnya melalui pembelanjaan hasil pengelolaan (baca: akumulasi ongkos sewa).” (Ibnu Abidin, ad-Durrul Mukhtâr wa Hâsyiyyatubni ‘Abidin, juz II, halaman 431). 


Untuk pendapat Syafi’iyah ibarat senada bisa ditemukan pada kitab Fatâwil Khalîli ‘alal Madzhabisy Syâfi’i karya Syekh Muhammad al-Khalili (wafat 1147 H) juz I halaman 193. Secara umum Syekh Muhammad al-Khalili menyebutkan, pihak pengelola wakaf boleh mengambil ongkos pemakaman bagi pihak yang di luar syarat pewakaf atau asal dari diadakannya tanah pemakaman tersebut. Bahkan dana tersebut boleh juga digunakan untuk menggaji karyawan pengelola makam, dengan syarat gajinya harus musamma (disebutkan sejak awal). 


Sebagai kesimpulan jawaban dari permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, adalah:


1. Boleh hukumnya menetapkan tarif pemakaman dengan ketentuan tarif tersebut bukan disampaikan oleh pewakaf, akan tetapi diputuskan oleh nadhîr atau musyawarah desa, dengan alasan lit tahsîn atau lil mashâlih, yaitu hasil pengumpulannya akan digunakan untuk membeli tanah makam baru. 


3. Tarif atau pungutan terhadap pemakaman jenazah yang berasal dari luar wilayah menempati derajat ongkos sewa. Demikian halnya dengan iuran periodik yang diambil setiap waktu tertentu. 


3. Status bolehnya penarikan tarif ini berangkat dari ketiadaan tanah di Indonesia yang berstatus sebagai mussabbal, yaitu tanah tanpa tuan. Wallâhu a’lam bish shawâb.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim.