Syariah

Kuburan, Rumah Idaman dan Penjara yang Menyiksa?

Sel, 19 Februari 2019 | 14:15 WIB

Kuburan, Rumah Idaman dan Penjara yang Menyiksa?

Ilustrasi (via saudigazette.com.sa)

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân menuliskan sebuah penjelasan tentang kematian:

قَالَ الْعُلَمَاءُ: الْمَوْتُ لَيْسَ بِعَدَمٍ مَحْضٍ وَلَا فَنَاءٍ صِرْفٍ، وَإِنَّمَا هُوَ انْقِطَاعُ تَعَلُّقِ الرُّوحِ بِالْبَدَنِ وَمُفَارَقَتُهُ، وَحَيْلُولَةٌ بَيْنَهُمَا، وَتَبَدُّلُ حَالٍ وَانْتِقَالٌ مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ

Artinya: “Para ulama berkata, kematian bukanlah ketiadaan belaka dan bukan pula kerusakan semata. Kematian hanyalah terputus dan terpisahnya hubungan ruh dengan badan, perubahan kondisi di antara keduanya, pergantian keadaan, dan perpindahan dari satu kampung ke kampung yang lain.” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn, [Kairo: Darul Hadis, 2010], Juz IX, Hal. 428)

Apa yang disampaikan oleh Al-Qurthubi di atas setidaknya memberikan pemahaman kepada kita bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian seseorang tidak berarti perjalanan kehidupannya telah selesai sama sekali dan kemudian tidak akan ada lagi fase berikutnya. Kematian sesungguhnya adalah akhir satu fase dari beberapa fase kehidupan manusia yang pasti akan dilaluinya. Kematian mengantarkan seorang manusia menjalani kehidupan pada sebuah fase berikutnya yang tidak sama dengan fase kehidupan sebelumnya.

Yang cukup menarik dari apa yang dijelaskan Al-Qurthubi dan akan dibahas pada tulisan ini adalah kalimat intiqâlun min dârin ilâ dârin, bahwa kematian merupakan perpindahan dari satu kampung ke kampung yang lain.

Dapat digambarkan perihal orang yang berpindah tempat dari satu kampung ke kampung yang lain, di kampung barunya ia dapat beraktivitas sebagaimana ia beraktivitas di kampung lamanya. Ia dapat mengunjungi tetangga rumahnya sesama penduduk kampung, pun ia masih bisa mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya di kampung lama, hingga ia mengetahui bagaimana kabar mereka.

Demikian pula dengan orang yang meninggal dunia. Di alam kuburnya—alam barzakh—ia bukan makhluk mati yang sama sekali tak mampu beraktivitas. Di sana ia hidup dan beraktivitas dalam sebuah kehidupan yang tentunya tak sama dengan kehidupan dunia. 

Mereka yang telah memasuki alam barzakh dapat saling mengunjungi satu sama lain, berbincang berbagai hal tentang apa-apa yang dulu pernah mereka alami saat bersama hidup di alam dunia. Pun mereka juga mengetahui apa-apa yang sedang terjadi pada keluarga mereka, para tetangga, dan sanak keluarga yang masih hidup di dunia. Hanya saja mereka yang masih hidup di dunia tak mengetahui apa yang terjadi di alam kubur sana.

Alam kubur atau alam barzakh tak ubahnya seperti sebuah ruangan berkaca riben. Orang yang ada di dalamnya mampu melihat orang yang di luar, namun orang yang di luar tak bisa melihat yang ada di dalam.

Namun demikian, kehidupan di alam barzakh yang seperti itu hanya dinikmati oleh mereka yang semasa hidup di dunianya melakukan ketaatan kepada Allah dan berperilaku baik terhadap sesama makhluk-Nya. Sedangkan mereka yang saat di dunia berperilaku menyimpang dari ajaran Islam, tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, serta tidak memperlakukan sesama sebagaimana mestinya, maka alam kubur baginya laksana penjara. Ia tak bisa meninggalkan tempatnya, melakukan aktivitas secara bebas, saling mengunjungi dan berbicara dengan lainnya, juga tak tahu bagaimana kabar keluarga yang ditinggalkannya.

Hal ini dapat dipahami dari penuturan Imam Ibnu Qayim Al-Jauzi di dalam kitabnya Ar-Rûh:

أَن الْأَرْوَاح قِسْمَانِ أَرْوَاح معذبة وأرواح منعمة فالمعذبة فِي شغل بِمَا هى فِيهِ من الْعَذَاب عَن التزاور والتلاقي والأرواح المنعمة الْمُرْسلَة غير المحبوسة تتلاقي وتتزاور وتتذاكر مَا كَانَ مِنْهَا فِي الدُّنْيَا وَمَا يكون من أهل الدُّنْيَا

Artinya: “Sesungguhnya arwah ada dua macam; arwah yang disiksa dan arwah yang diberi nikmat. Arwah yang disiksa sibuk menjalani siksaan yang menjadikan mereka tidak bisa saling berkunjung dan berjumpa dengan lainnya. Sedangkan arwah yang diberi nikmat bebas tidak tertahan, mereka dapat saling bertemu, mengunjungi dan mengingat apa-apa yang dulu terjadi di dunia dan apa-apa yang sedang terjadi pada penduduk dunia.” (Ibnu Qayim Al-Jauzi, Ar-Rȗh, [Beirut: Darul Fikr, 2005], hal. 27)

Dari sini maka alam kubur bagi penghuninya bisa merupakan rumah yang aman dan nyaman bagi yang menjalani ketaatan kepada Allah, dan sebaliknya alam kubur juga bisa menjadi penjara bagi siapa saja yang menyimpang dari aturan-aturan-Nya.

Maka apa pun amalan yang dilakukan oleh seorang manusia pada saat hidup di dunia sesungguhnya ia sedang membangun kuburnya sebagai rumah atau sebagai penjara. Bila ketaatan yang ia lakukan maka kelak ketika meninggal dunia ia hanya berpindah dari rumah dunia ke rumah barzakh yang bisa jadi jauh lebih menyenangkan baginya. Namun bila sebaliknya maka bisa jadi ketika ia mati ia berpindah dari rumah dunia yang nyaman baginya ke dalam penjara yang begitu menyiksa. Wallȃhu a’lam


Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal.


Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua