Syariah

Bersaksi Baik pada Jenazah yang Memiliki Kebiasaan Buruk?

Jum, 7 Februari 2020 | 00:30 WIB

Bersaksi Baik pada Jenazah yang Memiliki Kebiasaan Buruk?

Kesaksian positif dari orang-orang sekitar yang masih hidup sangat berpengaruh pada nasib orang meninggal dunia.

Salah satu ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita dalam menyikapi orang yang telah meninggal (mayit) adalah menyebutkan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan oleh mayit semasa hidupnya. Hal ini seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam salah satu haditsnya:

 

اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِمْ

 

“Sebutkan kebaikan orang-orang yang telah meninggal dan hindarilah menyebut keburukan mereka” (HR. al-Baihaqi).

 

Salah satu wujud menceritakan kebaikan mayit adalah memberikan kesaksian bahwa mayit adalah orang yang baik. Hal demikian sudah menjadi suatu tradisi yang melekat di kalangan mayoritas Muslim di Indonesia. Setiap terdapat orang yang meninggal, setelah melaksanakan shalat janazah, salah satu jamaah yang biasanya merupakan tokoh masyarakat setempat meminta kesaksian para hadirin dengan mengatakan, “Apakah mayit ini orang baik?”, atau pertanyaan yang sejenis. Para hadirin pun mengamini pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa mayit adalah orang yang baik.

 

Tradisi demikian bukanlah asal-asalan dan tidak berdasar pada dalil, sebab memang terdapat dalil yang secara jelas menegaskan atas kebenaran tradisi tersebut. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah:

 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَشْهَدُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَهْلِ أَبْيَاتٍ مِنْ جِيرَانِهِ الْأَدْنَيْنَ بِخَيْرٍ إِلَّا قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ قَبِلْتُ شَهَادَةَ عِبَادِي عَلَى مَا عَلِمُوا وَغَفَرْتُ لَهُ مَا أَعْلَمُ

 

“Tidak ada orang muslim yang meninggal lalu tiga orang tetangga terdekatnya menyaksikan kebaikan padanya kecuali Allah berfirman “Sungguh Aku telah menerima persaksian hamba-hambaku atas apa yang mereka tahu dan Aku telah ampuni pada mayit apa yang Aku ketahui” (HR. Ahmad).

 

 

Ironisnya banyak masyarakat yang mengeneralisasi kesaksian baik ini kepada seluruh mayit yang baru meninggal, baik itu mayit yang memang memiliki rekam jejak ketaatan ataupun mayit yang semasa hidupnya sarat perbuatan buruk. Lantas sebenarnya sikap apa yang tepat dalam menyikapi persaksian pada mayit yang memiliki kebiasaan buruk? Tetap bersaksi baik kepadanya, atau berkata jujur dengan bersaksi bahwa mayit tersebut adalah orang yang berperilaku buruk?

 

Persoalan di atas telah terjawab dalam kitab Fath al-‘allam bi Syarhi Mursyid al-Anam yang mengutip penjelasan Syekh Abdul Karim dalam kitab Hasyiyah ‘ala Syarhi as-Sittin. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hendaknya seseorang tidak bersaksi kebaikan pada mayit yang semasa hidupnya secara terang-terangan menampakkan perbuatan maksiat, atau mayit yang tidak sampai menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja ia tahu bahwa mayit meninggal dalam keadaan masih melakukan kebiasaan maksiat yang tidak ia tampakkan. Bahkan, jika menyebutkan keburukan mayit terdapat suatu kemaslahatan tersendiri maka diperbolehkan bagi para hadirin untuk menyebutkannya, seperti untuk memperingatkan kepada orang lain agar tidak berperilaku seperti si mayit, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya, berikut penjelasan mengenai persoalan ini secara terperinci:

 

ما يقع كثيرا أن شخصا من الحاضرين للصلاة على الميت يستشهدهم عليه بعد السلام منها فيقولون "أهل خير"، له أصل في السنة إلا أن العوام طردوه في كل ميت ولو كان متجاهرا بالمعاصي وليس بلائق، وإنما اللائق أنه إن كان متجاهرا أو مات على ذلك أو لم يكن متجاهرا لكنهم علموا أنه مات وهو مصر، أن لا يذكروه بخير بل لو كانت المصلحة في ذكر مساويه للتحذير من بدعته وسوء طويته جاز لهم أن يذكروه بالشر كما نقله العلقمي عن شيخ شيوخه.

 

Hal yang sering terjadi di masyarakat berupa tradisi adanya seseorang dari kelompok orang-orang yang menghadiri shalat mayit meminta persaksian tentang mayit kepada para hadirin setelah salam dengan mengatakan: “Mayit ini adalah orang baik”. Tradisi demikian terdapat dasar dalam hadits. Hanya saja orang-orang awam memberlakukan hal ini pada setiap orang yang meninggal (mayit), meskipun mayit adalah orang yang menampakkan perbuatan maksiatnya, hal ini sebenarnya tidak patut dilakukan.

 

Mestinya yang patut dilakukan adalah jika mayit adalah orang yang menampakkan perbuatan maksiatnya atau meninggal dalam keadaan melakukan maksiat atau ia tidak menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja banyak orang tahu kalau ia meninggal dalam keadaan masih terus menerus melakukan maksiat, agar para hadirin tidak menyebutkan kebaikan pada mayit, bahkan jika yang maslahat adalah dengan menyebutkan keburukannya dengan tujuan memperingatkan perbuatan bid’ahnya dan keburukan niatnya, maka boleh bagi para hadirin menyebutkan mayit dengan keburukan, seperti halnya keterangan yag dinukil dari al-‘Alqami dari para gurunya.”

 

ولا يرد على ذلك أنهم كيف يمكنون من ذكر الموتى بالشر مع ما ورد في البخاري وغيره من النهي عن سب الأموات كقوله عليه الصلاة والسلام "لا تذكروا هلكاكم إلا بخير" وقوله "اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم" لأن النهي عن ذلك كما قاله النووي في شرح مسلم ومثله العز بن عبد السلام إنما هو في غير الكفار والمنافقين وفي غير المتظاهرين بفسق أو بدعة. فأما هؤلاء فلا يحرم ذكرهم بالشر للتحذير من طريقتهم والاقتداء بآثارهم والتخلق بأخلاقهم، ذكر ذلك العلامة الشيخ عبد الكريم في حاشيته على شرح الستين.

 

“Hal di atas tidak dimusykilkan tentang bagaimana mungkin menyebutkan keburukan mayit, padahal dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan imam lainnya menjelaskan larangan mengumpat pada orang-orang yang sudah meninggal. Seperti sabda Rasulullah: “jangan sebut orang meninggal di sekitar kalian kecuali dengan kebaikan” dan sabda Rasulullah: “Sebutkanlah kebaikan orang-orang meninggal di sekitar kalian dan hindarilah menyebut keburukan mereka” sebab larangan tersebut (seperti yang disampaikan Imam an-Nawawi di Syarah Muslim dan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam) berlaku pada selain orang-orang non-Muslim, orang munafik dan pada selain orang yang menampakkan perbuatan fasik dan bid’ah. Adapun terkait golongan di atas, maka boleh menyebutkan mereka dengan hal-hal buruk (yang mereka lakukan) dengan tujuan memperingatkan keburukan perbuatan mereka dan memperingatkan agar tidak meniru kebiasaan mereka dan tidak berperilaku seperti perilaku mereka. Keterangan di atas dijelaskan oleh syekh ‘Abdul Karim dalam hasyiyahnya atas kitab Syarah as-Sittin” (Sayyid Muhammad ‘Abdullah al-Jirdani, Fath al-‘Allam bi Syarhi Mursyid al-Anam, Juz 3, Hal. 241)

 

Walhasil, memberi persaksian kepada mayit hendaknya dilakukan secara selektif. Berilah kesaksian baik hanya kepada mayit yang semasa hidupnya benar-benar diketahui terbiasa melakukan kebaikan dan ketaatan. Sedangkan kepada mayit yang semasa hidupnya terang-terangan sering melakukan maksiat tanpa diketahui masa tobatnya, atau kepada mayit yang kita ketahui meninggal dalam keadaan masih melakukan dosa, hendaknya kita diam atau tidak ikut bersaksi baik kepada mayit tersebut. Namun jika menyebutkan kesalahan-kesalahan si mayit dipandang sebagai hal yang maslahat, maka hal demikian bukanlah perbuatan yang terlarang dan tidak termasuk cakupan larangan yang terdapat dalam Hadits Nabi di atas.

 

Adapun memberikan persaksian kepada mayit yang masih tidak diketahui dan tidak dikenal sebagai orang yang terbiasa melakukan perbuatan maksiat, hendaknya kita tetap memberikan kesaksian baik pada mayit tersebut dengan jalan husnudzan (berprasangka baik). Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember