Syariah

Aturan Fiqih atas Janin yang Meninggal dalam Kandungan

Rab, 27 Februari 2019 | 01:30 WIB

Aturan Fiqih atas Janin yang Meninggal dalam Kandungan

Ilustrasi via interris.it)

Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, sebuah peristiwa berpisahnya ruh dengan jasad. Kedatangannya begitu mengejutkan serta tak memandang sosok dan usia. Kapan pun ajal mereka datang, tak ada yang bisa mengundurnya sedetik pun. Begitu pun tatkala ajal mereka belum saatnya, tak ada yang bisa memajukannya walau sesaat.           
 
Sebagaimana diketahui bersama, ada empat kewajiban utama orang hidup terhadap orang yang telah meninggal: memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Pertanyaannya, bagaimana jika yang meninggal adalah janin, baik meninggalnya sebelum lahir, setelah lahir, atau sesaat setelah lahir? Apa saja kewajiban orang hidup terhadapnya? 
 
Lantas bagaimana pula jika yang meninggal dunia adalah ibu sang janin. Apakah janinnya boleh dikeluarkan? Apakah jenazah ibunya bisa langsung dikebumikan atau menunggu sang janin turut meninggal? Bolehkan ada tindakan yang mempercepat kematian sang janin?   
 
Sesungguhnya, masalah ini telah menjadi sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah. Salah satunya adalah Syekh Zainuddil al-Malaibari. Dalam kitabnya, Fath al-Mu‘in (Terbitan Dar Ihya al-Kutub al-‘Araiyyah, hal. 46), ia mengungkapkan:  
 
ووري أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا. 
 
Artinya, “Dan harus dibungkus—maksudnya ditutup—dengan kain serta wajib dikubur mayat janin yang lahir keguguran. Sama halnya dengan mayat anak kecil kafir yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun, mayat janin keguguran dan anak kecil kafir itu tidak wajib dimandikan, hanya saja boleh jika mau dimandikan. Dikecualikan dari janin yang keguguran adalah gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Maka keduanya sunnah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila janin yang keguguran itu telah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan. Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).”  
 
Dalam kitab yang sama, Fath al-Mu‘in (Terbitan Daru Ihya al-Kutu al-‘Araiyyah, hal. 46), Syekh Zainuddin al-Malaibari menjelaskan perihal wanita yang meninggal dalam keadaan mengandung.  
 
ولا تدفن امرأة ماتت في بطنها جنين حتى يتحقق موته أي الجنين ويجب شق جوفها والنبش له إن رجي حياته بقول القوابل لبلوغه ستة أشهر فأكثر فإن لم يرج حياته حرم الشق لكن يؤخر الدفن حتى يموت.
 
Artinya, “Tidaklah dikebumikan jenazah wanita yang di dalam perutnya masih ada janin, sampai janin itu benar-benar meninggal. Bahkan, wajib membedah perutnya dan menggali kuburannya (jika telah dikuburkan) tatkala sang janin dalam perutnya diharapkan bisa hidup menurut pendapat para dukun bayi/bidan ahli karena telah berusia enam bulan atau lebih. Namun, jika sang janin tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya, sehingga tunggulah proses penguburannya sampai si janin benar-benar meninggal.”   
 
Dari petikan tentang janin keguguran dan wanita hamil yang meninggal di atas, dapat ditarik sejumlah kesimpulan: 
 
1. Janin yang keguguran dan masih berupa gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus, tidak wajib dimandikan, tidak wajib dishalatkan.     
 
2. Jika sang janin yang keguguran sebelumnya tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dishalatkan. Namun, sunnah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan.
 
3. Jika sang janin yang keguguran tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib dishalatkan. 
 
4. Jika janin yang keguguran sebelumnya terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis, bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, layaknya orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain (Terbitan Dar al-Fikr, Beirut, Cet. Pertama, hal. 156). 
 
5. Wajib hukumnya membedah perut jenazah wanita yang di dalamnya ada janin, dengan catatan sang janin diharapkan bisa hidup berdasarkan hasil pemeriksaan dukun bayi, bidan, dokter, atau petugas medis lain, terlebih usia kehamilan telah mencapai enam bulan atau lebih.  
 
6. Jika janin yang ada dalam rahim sang ibu tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya. Tunggulah sampai ia benar-benar meninggal, sementara penguburan jenazah ibunya ditangguhkan.
 
7. Walau sang janin tidak dikeluarkan dari perut ibunya karena tidak memungkinkan untuk hidup, tetapi kematiannya tidak boleh dipercepat, seperti perut ibunya dibebani benda tertentu dan sebagainya. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” dan  Pembina Organisasi Kepemudaan “KEPRIS”, Desa Jayagiri, Kec. Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat. 
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua