Internasional

Respons Mahfud MD soal Muslim Uighur: Indonesia Tidak Boleh Diam

NU Online  ·  Jumat, 21 Desember 2018 | 06:45 WIB

Jakarta, NU Online
Mahfud MD mengatakan, Indonesia harus menggunakan jalu diplomatik untuk menghentikan dugaan penindasan Muslim Uighur di Xinjiang China. Hal ini sesuai dengan dengan Alinea I Pembukaan UUD 1945 dimana bangsa Indonesia merebut kemerdekaan untuk menjaga derajat kemanusiaan dari segala bentuk penjajahan.

“Menurut Alinea I Pembukaan UUD 1945 kita merebut kemerdekaan utk menjaga derajat kemanusiaan dari penistaan manusia lain (panjajahan). Indonesia hrs menggunakan jalur diplomatik utk menghentikan penindasan thd muslimin di Uighur sesuai dgn tujuan negara yg keempat. Tdk boleh diam,” tulis Mahfud MD di akun Twitternya, Rabu (19/12).

Ia mengatakan, pemerintah Indonesia tidak cukup hanya mengatakan prihatin atas apa yang terjadi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. Menurutnya, pemerintah harus melakukan lebih dari pada itu, yaitu mengutus tim khusus untuk berbicara dengan pemerintah China. 

“Rasanya penting sekali Pemerintah Indonesia bkn hanya mengatakan prihatin tapi mengutus Tim utk berbicara scr resmi dgn Pemerintah China,” lanjutnya.

Dia menilai, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI telah melakukan hal dan memainkan peran yang baik ketika menangani kasus Rohingya. Bagi Mahfud, Kemlu juga seharusnya bisa memainkan peran yang sama ketika berhadapan dengan kasus Muslim Uighur. 

“Waktu kasus Rohingya Kemenlu RI melakukan peran itu dgn cukup baik. Sekarang bisa juga, kan?” katanya.

“Muslim Uighur perlu bantuan perlindungan,” imbuhnya.

Pada Agustus lalu, Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis data kalau sekitar satu juta Muslim di Xinjiang –mayoritas Muslim Uighur- ‘ditahan’ di sebuah kamp interniran di Xinjiang. 

Hal itu senada dengan data yang dikeluarkan Human Right Watch. Lembaga hak asasi manusia yang bermarkas di New York itu menyebutkan Muslim Uighur dan lainnya dilarang mengucapkan salam selama berada di kamp rahasia itu. Mereka harus mempelajari bahasa Mandarin dan menyanyikan lagu-lagu propaganda. Jika menolak, mereka akan dihukum. Tidak mendapat jatah makanan, berdiri selama 24 jam, atau ditempatkan di ruang isolasi.

Tidak hanya sampai di situ, diberitakan Muslim Uighur juga dilarang mengenakan jilbab, memelihara jenggot, dan melakukan ritual-ritual keagamaan di depan umum. Bahkan, rumah-rumah mereka di wilayah Xinjiang dipasangi kode QR sebagai upaya untuk mengontrol populasi dan aktivitas Muslim Uighur.

Awalnya China menolak keberadaan kamp-kamp tersebut, lalu kemudian mengakuinya. Namun China berdalih bahwa kamp-kamp itu difungsikan sebagai pusat ‘pendidikan ulang’ dan pusat pelatihan vokasi profesional untuk meningkatkan keterampilan masyarakat setempat. Selain itu, kamp itu dimaksudkan untuk tempat deradikalisasi kelompok Muslim yang terpapar paham radikalisme dan ekstremisme. (Muchlishon)