Internasional

Puasa di Amerika Serikat, Lama Tapi Tak Terasa

NU Online  ·  Senin, 13 Mei 2019 | 02:00 WIB

Jakarta, NU Online
Musim dingin telah berlalu. Musim panas pun belum tiba. Tepat sekali, Amerika Serikat tengah mengalami musim semi di bulan Ramadhan 1440 H ini. Karenanya, cuaca tak terasa panas. Dingin juga tidak. Biasa-biasa saja.

Namun, kian hari, puasa semakin panjang waktunya mengingat matahari terus menjauh. Setidaknya, jarak terbit fajar sampai matahari terbenam di sana 16 jam dan akan terus bergerak hingga lebih dari 17 jam.

Any Rufaedah mulanya ragu, bakal kuat atau tidak menjalani puasa perdananya di Negeri Paman Sam itu. Pasalnya, ia mengira tidak akan berbeda jauh lama waktu puasa di sana. Tetapi nyatanya, dua sampai tiga kali 60 menit lebih lama dari di Indonesia bukan waktu yang sebentar.

“Awalnya ragu-ragu, kuat gak ya? Tapi tanya-tanya ke teman katanya setelah lima hari biasanya tubuh kita sudah akan menyesuaikan,” ujar perempuan yang tengah mengikuti pelatihan metodologi penelitian sosial di Lembaga Penelitian Ilmu Sosial, Maryland, Amerika Serikat itu, kepada NU Online, pada Senin (13/5) dinihari waktu Indonesia.

Tentu suasana demikian membuat Ramadhan terasa sangat berbeda dari biasanya yang ia alami di Indonesia. Hal tersebut ditambah dengan aktivitas yang tidak berubah, berangkat dan pulang ke tempat penelitian seperti biasanya, pukul 09.00 sampai 18.00.

Meskipun puasa yang ia jalani cukup panjang, baginya tidak begitu terasa, mengingat kondusivitas kerja di sana. “Alhamdulillah justru tidak terlalu terasa laper banget karena kesibukan. Di sini, kultur kerja orang kan sangat efektif ya. Jam kantor ya semua kerja dengan konsentrasi ful karena tuntutannya demikian. Jadi malah membantu kita, lupa kalau sedang puasa,” kata dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.

Bahkan, lanjutnya, saat waktu makan siang tiba, rekan sekantornya berpindah ke ruang lain hanya untuk menikmati makannya demi menghormati Any yang ia tahu tengah berpuasa. Meskipun Any sendiri mencegah mereka agar tetap di ruangannya seperti biasa.

“Gak mengganggu. Mereka sangat menghormati. Pas waktu makan siang, mereka pindah ke ruang lain karena tahu saya sedang puasa,” cerita peneliti di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) itu.

Lamanya puasa di sana membuat ia bersiasat agar tetap kuat, meskipun suasana di sana sudah sangat mendukung untuk menjalankan puasanya. Ia mengikuti anjuran Rasulullah saw. untuk mengakhirkan puasa, ta’khir sahur.

“Sahurnya diakhirkan, biar gak cepat lapar,” ujar perempuan yang pernah aktif di Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) itu.

Hal yang paling berbeda dalam Ramadhan yang kali ini Any jalani tentu saja tak ada suara azan dan tadarus yang bersahutan. Apalagi peringatan sahur dan imsak dari pengeras suara masjid. Tentu saja di sana tidak ada.

Meskipun demikian, ia berupaya untuk merasakan hidmatnya bulan suci itu. Hal tersebut ia lakukan dengan bertarawih di Masjid Al-Ihsan, sebuah masjid terdekat dari rumahnya yang berjarak 10 menit jalan kaki.

“Saya seringnya tarawih di masjid terdekat biar dekat juga dengan orang-orang sini dan hawa Ramadhannya terasa,” katanya.

Di masjid tersebut, ia melaksanakan tarawih delapan rakaat karena mengikuti imam disana. Any menuturkan bahwa imam di masjid tersebut bergantian, dari orang Afrika, Amerika, Turki, bahkan Indonesia.

Di masjid tersebut juga digelar tadarus bersama. Hanya saja, waktunya berbeda dengan di Indonesia. Di sana, katanya, tadarus digelar di antara Maghrib dan Isya. “Karena kalau menunggu selesai tarawih, itu 10.30 PM (22.30), baru selesai,” ungkapnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)