Internasional JURNAL DAI RAMADHAN

Menyulut Semangat Literasi dari Macau

Jum, 23 Juni 2017 | 21:01 WIB

Macau, NU Online 
Akhir-akhir ini hujan jadi teman ketiga setelah Ustad Muhandis saat menjelajah kota. Misalnya pada Rabu (21/6) saat kami naik bus 28c hingga turun di Fraca Ferrreira Amaral. 

Untuk melakukan perjalanan, penumpang cukup menempelkan matadong yaitu kartu yang berisi uang elektronik pada alat detektor di samping supir. Ongkosnya rata-rata cukup 3,2 MOP atau sekitar 5 ribuan rupiah. Lalu perjalanan disambung dengan naik bus bernomor 71 tujuan Universidade De Macau. 

Setibanya di kompleks kampus, sambil berteduh, saya menghubungi Mbak Susan. Ia asal Yogyakarta dan seorang asisten Dr Brian Hall asal Amerika yang tengah meneliti tentang kesehatan buruh migran. 

"Nanti turun setelah E12, ya," Mbak Susan memberi arah. Rupanya kampus ini dibuat menjadi empat bagian menyesuaikan empat arah mata angin. E berarti East, demikian juga W itu west, N itu north dan S itu south. 

Area Universidade De Macau luas sekali. Letaknya berada di perbatasan. Dari sana terlihat jelas beberapa apartemen yang sudah masuk wilayah Tiongkok.

Begitu masuk sudah terpampang denah gedung lengkap dengan ruang dan fungsinya. Semua ruangan dilengkapi cctv. Yang menarik ialah pihak kampus memberikan ruangan yang luas dan nyaman.  Juga ada nama setiap dosen yang terpampang di pintu ruangan itu. Banyak juga lab-lab dan kelas standar internasional. 

Semuanya bersih dan rapih. Setiap staf punya kartu khusus untuk mendapatkan keistimewaan seperti bisa menggunakan lift dan pintu di saat sudah lewat tengah malam. Tak jarang dari mereka yang menginap di kampus.

Walaupun hanya memasuki dua fakultas yaitu Faculty of Art and Humanity dan Faculty of Social Science dari tujuh fakultas yang ada, saya sempatkan juga mengunjungi UM Wu Ye Sun Library. Tepatnya lebih mirip mall ketimbang perpustakaan.

"Wah, bisa betah ini di sini," lontar saya. Tempatnya memang luas. Banyak kursi dan sofa warna-warni. Ruang multimedianya lengkap. Keadaan saat itu hening. Hanya ada beberapa mahasiswa  yang berada di perpustakaan kali itu, karena memang sedang libur musim panas.

Perpustakaan ini terdiri dari lima lantai. Ada eskalator, buku dengan berbagai kategori, majalah, serta rak-rak penuh buku yang bisa bergeser ke kanan dan ke kiri dengan sekali klik. Hemat tempat dan canggih, pikir saya.

Ada beberapa private room dengan pintu kaca yang bisa di pesan sebelumnya. Juga ada ruang-ruang diskusi. Hal yang unik, banyak sekali film baik dokumenter, film China maupun film box office dari berbagai genre, baik lama maupun baru di bagian multimedia. 

Hal yang saya temukan di sana juga saya dapati ketika saya mengunjungi Macao Public Libraries, sebuah perpustakaan publik yang ramai dikunjungi mulai dari anak kecil hingga orang tua. Tempatnya asyik, di atas ada ruang baca yang kaya kafe. Majalahnya juga lengkap tapi tetap diberi peringatan untuk kategori dewasa. 

Sebagai perbandingan, di sini walau banyak pengunjung, tapi tetap hening. Banyak sekali para lansia yang sedang baca Koran. Koran-koran tersedia mulai berbahasa Kantonis, Inggris ataupun Portugis. Ada juga anak-anak sekolahan yang sedang kerjakan tugas bersama. Kalau haus kita tidak perlu ke luar karena sudah tersedia air minum di dispenser.

Saya senang mengunjungi perpustakaan. Melihat buku menjadi hiburan tersendiri. Di sana saya sekaligus melihat seberapa besar gairah masyarakat terhadap ilmu. Membaca adalah perbuatan yang terpuji, tak melulu membaca buku, membaca hamparan langit dan bumi juga bagian ranahnya.

Perintah membaca perlu disertai kesadaran akan Allah SWT sebagai Maha Pencipta. Membaca adalah proses menambah hidayah, ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, menambah keyakinan. Ia nutrisi buat akal, serta bisa menerangi kalbu.

Dengan membaca kita menyelami dan menjejaki masa lalu, melihat situasi masa kini, serta menatap masa depan melalui tinta para penulis. Ilmu dalam buku sudah tak terhingga banyaknya. Semakin kecil bila kita melihat ilmu Allah. Ilmu-Nya tanpa didahului oleh kebodohan, tak memerlukan 'research' dan penelitian. Ke-Maha Tahuan-Nya melampaui segala sesuatu. Dialah Al-'Aliim. 

Karena jerih payah Imam Al-Ghazali, saat ini kita bisa asyik menyelami Al-Ihya-nya. Pantas Al-Hasan Al-Basri berkata, "Tintanya ulama lebih baik daripada darahnya syuhada." Sebab manfaat dari ilmu bisa terus mengalir deras walau penulisnya sudah tak lagi bernafas.

Kanjeng Nabi Muhammad SAW bahkan pernah menukar kebebasan tawanan dengan imbalan pengajaran baca dan tulis pada sahabatnya. Beliau juga mentradisikan dunia literasi tatkala Al-Quran diterimanya. Nabi bahkan memiliki sekretaris yang pandai baca dan menulis, Zaid bin Tsabit. Ada surat dalam Al-Qur’an yang bernama Al Qalam. Ini semua sebagai isyarat bahwa Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, termasuk literasi.

Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, beramal ilmiyah, berilmu amaliah. Ajaran-ajarannya mengundang banyaknya penelitian. Sebab sepanjang penelusuran, masih langka buku-buku keislaman di sini,  apalagi bila mencari penulis asal Indonesia. Saya berharap pemikiran Islam Nusantara bisa memenuhi rak perpustakaan berbagai universitas di dunia.

"Kalau sudah jadi, saya boleh lihat hasil penelitiannya ya Mba Susan," pinta saya. (Saepuloh, anggota Tim Inti Dai Internasional dan Media (TIDIM) LDNU yang ditugaskan ke Macau. Kegiatan ini bekerjasama dengan LAZISNU).