Menikmati Eksotisme Jeju, World New7Wonder
NU Online · Jumat, 29 November 2013 | 14:02 WIB
Jakarta, NU Online
Jeju memiliki tiga hal yang melimpah, yaitu angin, bebatuan dan wanita. Pulau ini anginnya sangat kencang dan saat ini energinya dimanfaatkan untuk memutar kincir angin. Bebatuan juga tampak dimana-mana karena Jeju merupakan pulau vulkanik. Dalam tradisi Konfusius, wanita lebih banyak tinggal di rumah, tetapi tidak demikian di Jeju, mereka aktif dalam kehidupan publik sehingga muncul dimana-mana, salah satunya menjadi penyelam yang tangguh.
<>
Ada tiga hal yang tidak terdapat di pulau ini, yaitu tidak ada pencuri, tidak ada pengemis dan tidak ada pagar yang membatasi rumah dan jalanan. Di semua lokasi wisata yang kami kunjungi, tidak ada pengemis atau pengasong sehingga para turis bisa menikmati acara wisatanya dengan nikmat.
Pada hari kedua di Jeju, rombongan Muslim Tur Korea yang diprakarsasi oleh Garuda Indonesia dan Korean Tourism Organization mengunjungi beberapa tempat yang mengesankan. Setelah sarapan di hotel, kami berangkat menuju Gua Manjanggul, yang merupakan salah satu goa paling indah di dunia.
Gua ini terbentuk akibat aliran lava yang mengalir menuju ke permukaan dan akhirnya membentuk sebuah gua yang sangat indah. Memiliki panjang 13,442 m, namun yang terbuka untuk umum hanya 1 km (1000 m) saja. Dengan berjalan kaki, dibutuhkan waktu sekitar 40 menit, masing-masing 20 menit pergi-pulang.
Gua ini sudah masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO. Untuk masuk dalam gua ini, tiketnya cukup murah, hanya 2000 won, sekitar 20-22 ribu rupiah, tergantung kurs, untuk individual sementara untuk rombongan per orang dikenakan 1.800 won. Jalanan di dalam gua diberi penerangan yang cukup, tetapi cahayanya tidak sangat terang. Untuk berjalan didalamnya harus sedikit berhati-hati karena di beberapa lokasi ada sedikit genangan air. Meskipun masuk dalam gua sampai dalam, sirkulasi udara berjalan dengan baik sehingga bisa bernafas dengan lega. Dengan langit-langit sekitar 7 meter dan luas 5 meter kami bisa berjalan dengan nyaman, apalagi dengan kebersihan yang sangat terjaga. Terdapat banyak stalaktit yang menggantun di langit-langit gua dan tidak ada kelelawar yang biasanya menjadi penghuni gua. Kami berhenti di sebuah batu berbentuk kura-kura, yang jaraknya sekitar 500 meter dari pintu masuk sebelum kembali lagi.Â
Setelah puas menikmati keindahan alam ini, rombongan bergerak menuju Museum Masyarakat Tradisional Jeju. Disini kita bisa mempelajari bagaimana cara hidup orang Korea zaman dahulu. Konsepnya mirip dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggambarkan kehidupan masyarakat adat. Didalamnya berisi berbagai bentuk rumah tradisional yang terbuat dari batu dan tanah liat dengan atap jerami. Suasana kehidupan pertanian kuno digambarkan dalam bentuk jagung dan padi-padian yang digantung di depan rumah. Juga digambarkan bagaimana kehidupan nelayan pada zaman dahulu. Setiap rumah memiliki pagar yang khas setinggi lutut orang dewasa dengan tiga buah palang pintu. Jika hanya satu palang yang dipasang, maka menunjukkan penghuni sedang di rumah, jika dua, berarti sedang bekerja di luar dan jika tiga palang dipasang, maka sedang pergi jauh, sehingga tetangga tahu dan membantu mengawasi. Pagar pendek ini bukan untuk mencegah pencuri masuk, karena disini tidak ada pencuri, melainkan untuk mencegah hewan masuk dalam rumah.Â
Juga digambarkan bagaimana aktifitas peribadatan masyarakat kuno Jeju. Ada satu patung sedang menunjukkan seorang laki-laki sedang bersujud. Kiai Masdar langsung meminta difoto. “Wah ini penting.”
Dilengkapi dengan jalan setapak yang enak dan dipinggirnya ditanami dengan bunga-bungaan, membuat pemandangan terasa sangat indah, apalagi ditambah dengan adanya air terjun, membuat museum yang berada di kaki gunung Halla ini terasa sempurna. Kantor gubernur zaman dahulu juga berada di lokasi ini. Bagi yang tidak menginginkan pemandu, tersedia audio tur dalam bahasa Inggris dengan sewa 2.000 won.
Untuk tiket masuk individual dikenakan biaya 8.000 won, sedangkan untuk grup, lebih dari 20 orang, dikenakan tiket 5.000 won.
Lokasi ini menjadi tempat shooting drama Korea terkenal Daejanggem, Tamra-the Island, Chuno, dan the Great Merchant.
Selanjutnya kami makan siang dengan daging kambing disembelih secara halal di Wagengi, Korea Traditional Culture Center. Kami disambut dengan bendera merah putih di pintu masuk. Pemiliknya Rose Lee pintar berbahasa Indonesia karena pernah tinggal di Bandung selama tiga tahun.Â
Ditempat ini, disediakan musholla dengan tempat wudhu khusus yang nyaman khas Indonesia, beberapa kran dengan saluran air dibawahnya yang terletak di dekat tempat sholat. Pemiliknya bahkan membuat dua ruangan untuk sholat, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Angin bertiup sangat kencang sehingga udara terasa dingin menggigil.
Setelah makan siang dan sholat, energi kembali pulih, kami bisa terlelap sejenak dalam perjalanan menuju Aqua Planet Jeju, yang merupakan aquarium terbesar di Asia. Terdapat tiga seksi dalam gedung tersebut, yang terdiri dari aquarium, ocean arena (seperti gelanggang samudra dengan pertunjukan lumba-lumba dan singa laut) dan marine science. Lokasi ini cocok untuk hiburan keluarga dan anak-anak yang ingin belajar tentang kehidupan laut. Harga tiketnya lumayan, 38,400 won (hampir 400 ribu rupiah) untuk individual dan 32,600 untuk grup. Disini juga ditampilkan untuk pertama kalinya di Korea, hiu paus, binatang laut paling besar di dunia.Â
Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Seongsan Illchulbong, yang hanya memerlukan waktu sepuluh menit dari lokasi sebelumnya. Sebuah bukit kecil yang muncul dari tengah laut, berbentuk melingkar dan diatasnya berbentuk cekung. Lokasi ini terbentuk lima ribu tahun yang lalu karena erupsi bawah laut dengan tinggi 182 meter.Â
Untuk masuk lokasi ini, hanya perlu tiket 2.000 won untuk individual dan rombongan dikenakan 1.200 won.
Inilah lokasi terindah di Jeju, dengan pemandangan laut dan lampu-lampu di perkotaan ketika kami mendaki di lerengnya menuju puncak. Sayang kami mencapai lokasi ini sudah pukul 04.30 sore, sudah menjelang gelap saat musim dingin. Lokasi ini menjadi favorit untuk melihat matahari terbit, terutama di tahun baru karena posisinya di pantai timur Jeju.Â
Udara yang cerah, tidak ada hujan menjadikan suasana yang romantis. Langit sudah mulai gelap, tetapi saya bertekad untuk naik ke puncak bersama beberapa teman. Belum tentu seumur hidup akan ke sini lagi. Semakin ke atas, pemandangan semakin indah. Bagi yang lelah, disediakan tempat istirahat di lereng. Saya lihat Prof Suwito sedang duduk istirahat di sebuah lereng, tampaknya ingin naik ke atas tetapi terlalu berat. Saya hanya say hello karena buru-buru ke atas agar tidak kegelapan untuk ambil gambar karena jika gelap, cahaya kamera tidak maksimal. Keringat yang mengalir menyebabkan tubuh menjadi lebih hangat sehingga udara dingin menjadi tidak terasa. Akhirnya sampai juga di atas. Susul-menyusul, hanya 8 orang yang sampai di atas, 6 laki-laki dan dua perempuan. Ada kepuasan maksimal dengan melihat dari atas karena bisa melihat pemandangan dari atas secara penuh ke semua lokasi. Keindahannya tak bisa digambarkan, hanya bisa disaksikan dan dirasakan sendiri dan menjadi pengalaman yang takkan terlupakan. (mukafi niam)
Terpopuler
1
Santri Kecil di Tuban Hilang Sejak Kamis Lalu, Hingga Kini Belum Ditemukan
2
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
3
Sound Horeg: Pemujaan Ledakan Audio dan Krisis Estetika
4
Perbedaan Zhihar dan Talak dalam Pernikahan Islam
5
15 Ribu Pengemudi Truk Mogok Nasional Imbas Pemerintah Tak Respons Tuntutan Pengemudi Soal ODOL
6
Operasional Haji 2025 Resmi Ditutup, 3 Jamaah Dilaporkan Hilang dan 447 Meninggal
Terkini
Lihat Semua