Aden, NU Online
Salah satu tradisi yang berkembang di kalangan umat Islam menjelang hari raya Idul Fitri adalah membeli pakaian baru. Sudah menjadi hal yang lazim jika sebagian besar umat Islam pergi ke toko-toko pakaian untuk membeli baju baru buat Idul Fitri dan hadiah untuk sanak famili.
Semua umat Islam bersuka cita menyambut Idul Fitri, terlebih karena bisa mendapatkan pakaian baru dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi, keadaan itu berbeda dengan apa yang terjadi di Yaman. Di sana, harga barang-barang –termasuk pakaian- melambung tinggi. Hal ini disebabkan karena konflik di negara itu yang tak kunjung usai.
Seorang prajurit yang baru direkrut, Haitham Ali, mengaku tidak mampu membelikan baju baru untuk anak-anaknya. Alasannya, gaji bulanan yang diterimanya tidak cukup untuk membeli baju baru.
“Saya menerima gaji 60 ribu rial Yaman (240 dolar AS) dan pakaian dua anak saya berharga sekitar empat 49 ribu rial. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan gaji yang tidak berdaya ini,” kata Ali kepada Xinhua, Rabu (13/6).
Sementara itu, seorang ibu empat orang anak dari kota pelabuhan Aden Yaman Selatan, Um Mothana As-Salahi mengeluh dengan harga pakaian yang terlalu mahal ketika hendak membelikan anak-anaknya pakaian baru guna menyambut lebaran.
Setelah menyusuri toko-toko pakaian di pasar Aden, As-Salahi tidak kunjung membeli pakaian meski sudah menemukan ukuran dan mode baju yang cocok untuk anak-anaknya. Alasan ia tidak kunjung membelinya adalah karena harganya yang tidak terjangkau.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa uang yang ada di dompetnya tidak cukup untuk sekedar membeli kaus dan celana pendek untuk seorang anaknya.
“Saya menghabiskan waktu beberapa jam untuk mencari pakaian murah di pasar, tetapi akhirnya saya menyerah dan tidak mendapat apa-apa untuk anak-anak saya,” kata As-Salahi.
Banyak yang menilai kenaikan harga pakaian yang tidak wajar itu disebabkan banyak hal. Mulai dari tidak ada kontrol harga dari pemerintah, manipulasi harga oleh para pedagang, hingga melemahnya nilai tukar rial terhadap mata uang asing, terutama dolar AS.
Di samping itu, keadaan yang memprihatinkan di Yaman itu juga tidak bisa dilepaskan dari konflik yang terjadi negeri itu. Konflik antara kelompok Houthi yang disokong Iran dengan pemerintah Yaman yang didukung negara-negara Arab pimpinan Saudi telah berlangsung selama tiga tahun.
Dilaporkan, lebih dari 22 juta orang atau tiga perempat dari total penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk 8,4 juta orang yang berjuang untuk mendapatkan makanan mereka selanjutnya. (Red: Muchlishon)