Internasional

Inspirasi dari Indonesia untuk Jerman yang Dilanda Islamofobia

Sab, 28 Oktober 2017 | 15:30 WIB

Karlsruhe, NU Online
Jerman kerepotan. Negeri ini dihadang dua situasi: berkembangnya radikalisme atas nama Islam dan makin maraknya Islamofobia di antara masyarakatnya. Pemerintah Jerman dan segenap institusi terkait sedang melirik sejarah serta praktik toleransi dan koeksistensi antarsuku dan umat beragama di Indonesia untuk dijadikan contoh terbaik bagaimana deradikalisme dan pemberantasan Islamofobia diselenggarakan. Walaupun Indonesia sendiri saat ini sedang menghadapi sedikit polarisasi di tengah masyarakat sebagai akibat perbedaan sikap politik, Indonesia masih dipandang sebagai negara mayoritas Muslim yang terbuka dan toleran.

Untuk pertama kalinya di Karlsruhe, kota di sebelah selatan Jerman, organisasi-organisasi sosial-politik Jerman bekerja sama untuk menghadapi situasi tersebut. Dengan menggandeng Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) dan Zentrum fuer Angewandte Kulturwissenschaften und Studium Generale (ZAK) am KarlsruherInstitut fuer Technologie (KIT) Jerman, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, komunitas kajian Islam di kota Karlsruhe (IKMIK), serta Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Karlsruhe mengadakan sebuah acara kuliah umum.

Kuliah umum ini mengangkat tema "Islam Indonesia: Perspektif dari Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia". Pembicara utamanya ialah Dipl.-Region.-Wiss. Thomas Yoshimura, seorang ahli sosial politik Asia Tenggara dari KAS. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Senin, 23 Oktober 2017, di kampus KIT.Ā 

Acara yang dihadiri lebih dari 100 orang ini dibuka pukul 18:15 CEST dengan sambutan dari Prof. Dr. Caroline Y. Robertson-von-Trotha, direktur ZAK, yang menekankan bahwa toleransi antarumat beragama merupakan faktor penting yang perlu dijaga. Setelah itu, Dr. Stefan Hofmann, komisioner KAS sekaligus kepala Forum Edukasi Politik untuk negara bagian Baden-Wuerttemberg, juga menyampaikan sambutan senada. Sedangkan sambutan dari NU Jerman disampaikan oleh Dr.-Ing. Hendro Wicaksono, Mustayar NU Jerman sekaligus koordinator riset dasar di Institute for Information Management in Engineering di KIT, yang juga mewakili IKMIK dan PPI Karlsruhe, memberikan pandangan singkat mengenai bentuk nyata toleransi yang telah ada sejak lama di Indonesia.

Thomas Yoshimura yang didaulat sebagai pembicara inti menguraikan Islam di Indonesia dari berbagai macam perspektif. Pertama, ia membentang sejarah Indonesia yang awalnya didominasi oleh penganut Hindu dan Buddha kemudian menjadi negara dengan mayoritas Muslim di dunia. Kedua, Thomas menelisik sudut pandang politik sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan bahkan kondisi politik aktual di era Jokowi.

Thomas mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia saat ini ialah penguatan demokrasi, pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan, perubahan iklim, serta penyusunan kekuatan ekonomi dan finansial berbasis ā€œGlobal Maritime Axisā€. Ia juga menekankan mengenai peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui peran keagamaan karena Indonesia memiliki masyarakat yang religius.

Thomas, yang pernah tinggal di Jakarta selama dua tahun, kemudian menyampaikan perspektif ketiga yaitu dasar negara Indonesia, Pancasila. Ia menjelaskan pengertian kelima sila tersebut kepada hadirin yang dipadati sebagian besar oleh warga Jerman, dengan fokus bahwa sila kedua hingga kelima merupakan bentuk pelaksanaan dari sila pertama.Ā 

Lanjutnya, corak dasar negara Indonesia dapat terlihat jika dipengaruhi oleh faktor agama, meskipun Indonesia bukan negara agama. Thomas tak menutupi kekagumannya bahwa mengikat 300 etnis menjadi satu himpunan dibawah kalimat ā€œEinheit in Vielfaltā€, bahasa Jerman untuk ā€œBhinneka Tunggal Ikaā€, merupakan hal yang tidak mudah.

Perspektif keempat memaparkan beberapa kasus terorisme di Indonesia yang ia simpulkan terjadi akibat kesalahan dalam mempelajari atau memahami Islam. Menurutnya, hal ini telah dan sedang terjadi di Indonesia, yang mengakibatkan munculnya beberapa kelompok yang tidak sejalan dengan dasar negara Indonesia. Pada ujungnya, ia lalu menjelaskan secara singkat mengenai dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang memiliki peran sangat besar dalam mewarnai corak perkembangan Islam di tanah air.

Hadirin pun penasaran. Di antara pertanyaan yang muncul pada sesi berikutnya, dua orang warga Jerman masing-masing bertanya mengenai hak ibadah yang dilakukan oleh pemeluknya di rumah sendiri dan pelaksanaan sila pertama ā€œKetuhanan Yang Maha Esaā€ terhadap pemeluk Hindu dan Buddha. Edwin Hartarto, mahasiswa S2 Teknik Mesin di KIT, lalu bertanya mengenai perbedaan mendasar dari Islam Indonesia dengan Islam di negara-negara lainnya. Acara ditutup sekitar pukul 21:15 CEST dengan pentas budaya Tari Saman dari PPI Karlsruhe serta disempurnakan dengan acara ramah tamah dengan kuliner khas Indonesia dari IKMIK.

Acara tersebut mendapat sambutan antusias dari masyarakat Jerman. Prof Dr Caroline Y. Robertson-von-Trotha, misalnya. Direktur Zentrum fuer Angewandte Kulturwissenschaften und Studium Generale (ZAK) di Karlsruhe Institute for Technology, Jerman ini mengatakan, forum tersebut sukses mendobrak prasangka buruk terhadap Islam, khususnya bagi mereka yang menganggap toleransi tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.Ā 

ā€œIndonesia, yang sering dijadikan teladan sebagai negara yang toleran antarberbagai kelompok etnis dan agama, akan bisa menjadi contoh bagi Eropa juga. Terima kasih atas wawasan yang diberikan dan keramahan yang kami rasakan selama acara berlangsung,ā€ katanya. (Muhammad Rodlin Billah/Mahbib)