Singapura, NU Online
KH Ma’ruf Amin mengatakan, salah satu cara untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah penguatan ekonomi yang berkeadilan, selain dengan menjaga komitmen kebangsaan dengan bingkai Islam Wasathiyah.
“Ketimpangan ekonomi harus terus dikurangi menuju keadilan sosial,” kata Ketua Umum MUI Pusat ini saat menyampaikan kuliah umum yang diselenggarakan RSiS-Universitas Teknologi Nanyang di Singapura, Rabu (17/10).
Kiai Ma’ruf menjelaskan, maksud dari ekonomi berkeadilan adalah memperkuat yang lemah. Dalam konteks Indonesia, umat Islam adalah masyarakat yang sebagian besar ekonominya lemah.
“Kalau ekonomi umat lemah, negara Indonesia bisa lemah. Kalau ekonomi umat kuat, negara Indonesia akan kuat. Itu keyakinan saya. Maka itu, ekonomi umat harus dikuatkan,” tutur Mustasyar PBNU ini.
Lalu bagaimana praktik atau caranya melaksanakan ekonomi berkeadilan?
Kiai Ma’ruf menerangkan, ekonomi berkeadilan bukan berarti melemahkan yang kuat, namun menguatkan masyarakat yang ekonominya lemah. Ekonomi model ini tidak membenturkan antara yang kuat dan yang lemah. Namun keduanya didorong dan difasilitasi untuk bermitra, saling kolaborasi, saling menguatkan, dan saling menjaga, sehingga terjadi kehidupan yang harmonis.
“Itulah ekonomi berkeadilan. Kalangan ekonomi kuat, dengan demikian, tidak perlu khawatir dengan agenda ini. Mereka tidak akan diperlemah, tapi diajak bermitra untuk turut memperkuat kalangan ekonomi lemah,” jelasnya.
Menurut Kiai Ma’ruf, untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan maka harus melibatkan tiga kekuatan. Ketiganya juga harus saling bersinergi. Pertama, pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro dan mendorong terwujudnya ekonomi berkeadilan.
Kedua, masyarakat. Masyarakat harus menyambutnya dengan kerja sama dan bekerja keras dalam bentuk semangat enterpreunership. Ketiga, ekonom yang kuat. Mereka yang memiliki ekonomi kuat harus bersedia bermitra dengan para pelaku ekonomi lemah dalam rangka memperkuat yang lemah.
“Itulah gerakan yang kami sebut Arus Baru Ekonomi Indonesia,” terangnya.
Ia menyebut, kebijakan Presiden Joko Widodo untuk melakukan redistribusi aset dan mendorong kemitraan antara pelaku konglomerasi usaha dengan masyarakat kecil, termasuk dunia pesantren dan berbagai ormas Islam, sudah sejalan dengan arah dan semangat ekonomi berkeadilan.
“Disebut Arus Baru, karena Arus Lama lebih menekankan penguatan ekonomi kalangan atas, dengan harapan akan menetes ke bawah, sesuai teori Trickle Down Effect. Kenyataannya tidak efektif menetes,” paparnya. (Red: Muchlishon)