Internasional

Dakwah Ranting NU Taichung Taiwan: dari Kajian Kitab Kuning hingga Shalawatan di Stasiun

Ahad, 9 April 2023 | 11:30 WIB

Dakwah Ranting NU Taichung Taiwan: dari Kajian Kitab Kuning hingga Shalawatan di Stasiun

Gedung Sekretariat PCINU Taiwan Ranting Taichung. (Foto: Dok. PCINU Taiwan)

Jakarta, NU Online

Menghidupkan nafas Islam Ahlussunnah wal Jamaah di bumi Formosa adalah misi sebuah elemen di bawah jam’iyah Nahdlatul Ulama, yakni Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan.


Setelah pendiriannya pada 5 Oktober 2008 lalu, NU di Taiwan kini telah tersebar di 14 kota, termasuk Taichung. Taichung merupakan sebuah kota besar yang menduduki lokasi sentral di Taiwan.


Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan Ranting Taichung, Munir Hasim menjelaskan bahwa misi dakwah yang menjadi inisiasi Nahdliyin di Taichung telah digagas sejak lama, tepatnya pada 2015. 


“Ranting NU Taichung berdiri di tahun 2015 sudah berumur sekitar 9 tahun,” tutur Munir, sapaan akrabnya, kepada NU Online, Kamis (6/4/2023).


Ranting Taichung yang genap berumur 9 tahun ini terus menebarkan nilai-nilai Islam yang moderat, Islam damai. Ranting Taichung sekaligus menjadi “rumah” bagi setiap Muslim di Taichung yang membutuhkan naungan. 


Sejumlah kegiatan peribadatan dan pengajian yang digagas Ranting Taichung dipusatkan di kantor Sekretariat Ranting Taichung. Lokasinya berada di No 67, Section 1, Taiwan Boulevard, Central District, Taichung City. 


Munir menutur, gedung sewaan 4 lantai itu tak hanya difungsikan untuk kegiatan internal perkumpulan, tetapi juga digunakan untuk kegiatan yang bisa diakses masyarakat umum. Masing-masing lantai memiliki fungsi yang berbeda, seperti lantai dua yang difungsikan sebagai mushala.  


Menghidupkan amaliyah NU di Taiwan

Manaqib dan tahlil selalu menggema di Taiwan. Dua amalan tersebut terus diagendakan rutin oleh NU Taichung, utamanya di Sabtu malam atau malam Ahad di Mushala Nahdlatul Ulama Ranting Taichung atau mushala PMI.


Tak hanya manaqib dan tahlil, Munir menyampaikan bahwa pihaknya juga rutin menggelar kajian kitab kuning khas pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Adapun kitab yang dikaji ialah Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Ihya’ Ulumuddin, dan Nihayatuz Zain. 


“Untuk acara di Taichung sangat aktif sekali entah itu acara shalawat, tahlilan, manaqiban, istigosahan, itu sangat aktif sekali. Apalagi kalau malam Ahad,” jabar pria asal Cilacap Jawa Tengah itu.

 

Dzikir dan pembacaan shalawat PCINU Taiwan Ranting Taichung. (Foto: Dok. PCINU Taiwan)

 

Untungnya, tak ada regulasi spesifik soal penggunaan pengeras suara di Taichung. Di tengah ingar bingar kota tersebut, siapapun bebas menggunakan dan mengatur volume. 


“Mau bising keras, itu tidak jadi masalah di Taichung, karena depan kami itu diskotik, belakang diskotik, dan sebelahnya jalan raya besar. Istilahnya Ranting Taichung mau 24 jam menggunakan sound sistem itu aman-aman saja,” papar dia.


Hal ini berbeda dengan kota lain di Taiwan. Beberapa ranting NU di Taiwan, ujar Gus Munir, kerap terkendala dengan masalah pengeras suara.


“Tidak semua ranting bisa seperti di Taichung, karena suatu daerah itu berbeda aturannya. Ranting lain ada yang jam 8-9 malam (jika berisik) sudah dikomplain,” kata pria alumni Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri itu.


“Kalau di Indonesia dikomplain biasa saja. Kalau di Taiwan, mereka tidak banyak bicara tapi langsung telepon polisi,” imbuhnya.


“Ngamen Santri” di Stasiun Taichung

Strategi dakwah terus dikembangkan Ranting Taichung. Tak hanya berkutat pada kajian kitab-kitab klasik, Munir mengatakan bahwa pihaknya menginisiasi dakwah melalui jalur seni.


Ranting Taichung melalui grup shalawatnya yakni Shoutul Fata rutin melakukan pembacaan shalawat di tempat umum seperti Stasiun Taichung. Kegiatan yang telah dimulai sejak 2021 ini rutin digelar dua kali dalam seminggu.


“Sekarang ada lagi shalawatan di dekat Stasiun Taichung setiap minggu kedua dan ketiga,” tuturnya.


Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, kegiatan yang juga ia sebut “ngamen santri” itu tak hanya mendulang simpati warga setempat. Aksi shalawat di depan umum itu juga mendatangkan pundi-pundi uang yang nantinya digunakan untuk kemaslahatan banyak orang.

 

Kegiatan "Ngamen Santri" di depan Stasiun Taichung. (Foto: Dok. PCINU Taiwan)

 

Mulanya, terang dia, ide ini sempat ditentang oleh sebagian Nadhliyin Taichung lainnya. Mereka khawatir, aksi ini tidak mendapat respons positif masyarakat sekitar. Sebaliknya, masyarakat setempat menerima baik dan bahkan kegiatan ini menjadi inspirasi yang rencananya bakal diterapkan oleh Ranting NU Taiwan lain.


“Banyak pertentangan, nanti gimana kalau diamankan polisi, kalau alatnya disita polisi. Ini suatu hal yang baik ini bisa untuk contoh oleh ranting yang lain. Dan mereka mau meniru yang di Taichung,” ungkapnya. 


“Bismillah, pokoknya ke depan aman-aman saja. Kita shalawatan harus berani,” tambah dia.


Putra-Putri Taiwan generasi penerus NU

Munir berkata bahwa Muslim Indonesia di Taichung didominasi oleh mereka yang merasa berafiliasi dengan NU. Umumnya, mereka hijrah ke Naga Kecil Asia untuk belajar maupun bekerja. 


Tak sedikit dari pekerja Indonesia yang bertahun-tahun mukim di Taiwan lantas memutuskan untuk menikahi pria setempat. 


“Rata-rata yang menikah dengan orang Taiwan itu mereka sangat akrab sekali dengan orang NU. Dengan menikahi orang Indonesia, jumlahnya semakin bertambah,” tuturnya.


Anak hasil perkawinan campuran tersebut kemudian mendapatkan bimbingan  dan pengajaran Islam dari kegiatan yang dijalankan Ranting Taichung.


“Ada pengajian di setiap ranting NU, seperti di Taichung ada jadwal khusus setiap pekannya untuk mengajar ngaji anak Taiwan,” ucap dia. 


Besar ia berharap, para putra-putri tersebut bisa melanjutkan estafet perjuangan KH Hasyim Asy’ari dalam menyebarkan pemahaman Islam yang ramah.


“Mereka bisa menghidupkan NU di Taiwan kelak. Jadi mengaji di sini pelan-pelan kita ajarkan Islam yang ramah, Islam yang sopan santun, Islam yang tidak marah-marah. Anak ini yang nanti akan melanjutkan estafet tongakatnya Mbah Hasyim Asy’ari di bumi Formosa ini,” ujarnya.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Fathoni Ahmad