Internasional JURNAL DAI RAMADHAN

Anak Bule Italia Senang Main Congklak

Rab, 28 Juni 2017 | 08:58 WIB

Congklak adalah permainan dengan media kayu yang dilubangi sebanyak tujuh lubang dengan satu lubang berukuran lebih besar di ujungnya. Cara bermain congklak, setiap lubang diisi dengan tujuh biji congklak dan dipindahkan satu persatu ke lubang berikutnya.

Walaupun terlihat sederhana, jangan anggap remeh permainan itu. Karena kenyataannya permainan congklak sangat disukai oleh anak-anak Italia. Itulah pemandangan yang saya lihat saat bertugas sebagai Dai Ambasador Ramadhan kemarin.

Jika dihayati, permainan congklak mengajarkan kekompakan dan keserasian. Barangkali itulah yang membuat para orang tua di Italia menganjurkan anak-anak mereka bermain congklak.

Ini berbanding terbalik keadannya dengan masyarakat Indonesia sendiri, lebih-lebih yang tinggal di tanah air. Karena kebanyakan anak-anak di Indonesia justru lebih asyik bermain gawai (gadget). Sungguh pemandangan yang sangat memprihatinkan.

Indonesia adalah gudangnya mainan kreatif. Setiap daerah di Indonesia selalu punya gaya permainan yang unik. Mainan bergaya khas kampung terkadang harus kena kotor karena bermain dengan lumpur. Banyak pakar mengatakan bermain dengan lumpur menjadi sebagai hal yang baik untuk merangsang perkembangan otak anak.

Banyak orangtua mengeluh anaknya kecanduan permainan online, sehingga sulit disuruh belajar. Alasannya masih tanggung, sedikit lagi menang, baru juga main, dan alasan seterusnya. Bukan hanya tidak mau belajar, tetapi sudah berani melawan orangtua gara-gara keasyikannya bermain game diganggu.

Banyak sudah cerita orangtua tentang anaknya jadi sulit diatur, keras kepala, dan tidak mau perduli dengan sekitarnya karena permainan yang monoton di depan layar android saja.

Kelihatannya mainan berlandaskan gadget seakan keren, sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi dampak buruk yang diakibatkannya ternyata lebih besar dari kecanggihannya.

Sudah waktunya kita kembali menghargai karya dan tradisi anak negeri. Tidak gengsi untuk bermain petak umpet yang membuat anak-anak ceria dan mengenali lingkungannya. Tidak malu bermain gundu, disentil untuk membuyarkan kumpulan gundu dari lingkaranaya, ini berguna untuk mengukur ketepatan dan kecepatan berfikir.

Perempuan-perempuan bermain yeye, melompati karet agar tidak terinjak atau tersentuh badan, kalau tersentuh maka harus jaga. Bermain galasin yang juga melatih konsentrsi untuk memukul tepat kayu yang dilemparkan. Semua permainan tradisional ini mampu membangkitkan kreativitas.

Tradisi Indonesia yang juga coba dilestarikan di Italia adalah kesenian angklung. Angklung adalah alat musik dari bambu yang berasal dari Jawa Barat. Bambu yang disusun bertingkat dengan ukuran berbeda dan menghasilkan suara seperti tangga nada do re mi fa so la si do.

Digagas di KBRI oleh ibu-ibu Dharma Wanita, setiap diadakan acara, angklung menjadi primadona untuk ditampilkan. Menariknya lagi, hadirin yang menonton pun, bisa langsung belajar memegang angklung dan membunyikannya sesuai tangga nada.

Aba-aba itu dipimpin oleh seorang dirigen atau konduktor. Banyak lagu-lagu yang dikuasai oleh angklung DWP KBRI Roma, di antaranya “Bungo Cempa”, “Tanah Minang”, “Gambang Suling”.

Semoga dengan melestarikan permainan-permainan tradisional, anak-anak kita akan terhindar dari dampak buruk internet dan gadget. Dan dengan melestarikan kesenian Indonesia, semakin bertambah kecintaan kita kepada tanah air.


H Khumaini Rosadi, anggota Tim Inti Dai Internasional dan Media (TIDIM) LDNU, dan Dai Ambassador Cordofa 2017 dengan penugasan ke Italia.