Tanamkan Tauhid pada Anak dengan Surat Al-Ikhlas
NU Online · Selasa, 15 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Muhammad Tantowi
Kolomnis
Anak sebagai salah satu amanat yang dianugerahkan oleh Allah Swt, memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tua. Di antara hak-hak tersebut adalah memberikan pendidikan agama yang baik, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, serta membesarkan mereka dengan penuh kasih sayang.
Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw pernah ditanya oleh Abu Rif'ah: “Apakah anak memiliki hak atas kami sebagaimana kami memilki hak atas mereka?” Kemudian Nabi menjawab:
نَعَمْ، حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ، وَأَنْ يُؤَدِّبَهُ طَيِّبًا
Artinya: "Ya. Hak anak atas orang tua adalah mengajarkannya kitab (Al-Qur'an), berenang, memanah serta mengajarkannya etika yang baik." (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Syu'abul Iman, [Beirut: Dar al-Kotob al-ilmiyah, 2000], Jilid VI, hal. 401).
Hadits ini jelas berbicara tentang pengajaran dan pendidikan anak yang menjadi kewajiban orang tuanya. Pola pendidikan zaman dahulu sungguh sangat sederhana, anak cukup diajarkan Al-Qur'an sebagai dasar menjalankan agama, diajarkan renang dan memanah sebagai bekal agar mampu bertahan hidup serta diajarkan etika sebagai bekal bergaul di masyarakat.
Perihal mengajar dan mendidik anak, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari dalam kitab Adabul Alim wal Muta'allim (Jombang, Maktabah At-Turats al-Islami, 1415 H: 43) menjelaskan, ada tuntunan tersendiri dalam memprioritaskan bidang pengetahuan bagi anak, yaitu ilmu tauhid atau pengetahuan tentang ketuhanan.
Dalam mengajarkan tauhid kepada anak, surat Al-Ikhlas bisa menjadi bahan ajar sederhana namun memiliki makna mendalam. Selain karena terdiri dari empat ayat pendek yang mudah dihafal oleh anak, surat ini juga dapat dijadikan sebagai kaidah dasar dalam mensucikan Allah dari segala sifat makhluk serta menjadi argumen sifat kesempurnaan. Allah berfirman dalam Surat Al-Ikhlash ayat 1-4:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ، َللّٰهُ الصَّمَدُۚ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ، وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”
Tanamkan Tauhid dengan Al-Ikhlash
Ketika anak mulai berkembang secara jasmani, maka pola pikirnya juga ikut berkembang. Tentu bukan hal yang aneh jika anak mulai bertanya tentang Allah, misalnya ketika anak mengajukan pertanyaan: "Siapa Allah itu?"
Ketika mendapat pertanyaan tersebut, seorang ayah bisa menjawab dengan penjelasan berikut:
"Dialah Allah Yang Maha Esa. Seperti dalam surat al-Ikhlas 'qul huwallâhu aḫad'. Esa itu artinya tunggal dan bukan benda. Sehingga tidak terdiri dari bagian yang menyusunnya. Kalau manusia itu kan benda yang terdiri dari kulit, rambut, tulang, darah, otot dan lain sebagainya, maka tidak mungkin jadi tuhan."
"Ketahuilah anakku! Bahwa hal ini dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti HP yang kamu punya, HP itu kan dibuat oleh manusia tentu ada perbedaan antara pihak yang membuat dan yang dibuat . Elemen pada HP sangat berbeda dengan anggota tubuh manusia. Jika HP terdiri dari LED, baterai, aluminium, dan plastik, maka tubuh manusia terdiri dari kulit, tulang, otot dan saraf. Itulah contoh perbedaan antara pembuat dan yang dibuat."
Penjelasan sederhana pada anak seperti ini merujuk pada pendapat Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab Ta'sisut Taqdis, [Lebanon, Nursabah, 2011: 60). Ia menjelaskan, setiap benda minimal terdiri dari dua elemen yang menyusunnya. Ketika dua elemen itu tersusun, maka dapat dipastikan adanya dua hal berdampingan. Bisa jadi yang satu ada di sebelah kiri dan satu lagi di sebelah kanan atau depan-belakang, dan atas-bawah. Hal ini tidak mungkin terjadi pada pada aḫad. Imam Ar-Razi kemudian menyimpulkan:
قَالُوْا فَثَبَتَ أَنَّ كُلَّ مُتَحَيِّزٍ فَهُوَ مُنْقَسَمٌ وَثَبَتَ أَنَّ كُلَّ مُنْقَسَمٍ فَهُوَ لَيْسَ بِأَحَدٍ فَلَمَّا كَانَ اللهُ تَعَالَى مَوْصُوْفاً بِأَنَّهُ أَحَدٌ وَجَبَ أَلَّا يَكُوْنَ مُتَحَيِّزاً أَصْلاً وَذَلِكَ يُنْفِيْ كَوْنَهُ جَوْهَراً
Artinya : "Para ulama berkata: Maka telah menjadi sebuah ketetapan, bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang memiliki ruang, maka ia terbagi-bagi. Sudah menjadi ketetapan juga bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang terbagi-bagi bukanlah hal yang tunggal. Sehinggga ketika Allah Swt bersifat Esa, maka pasti Dia tidak memiliki ruang sama sekali. Dengan demikian, pada akhirnya meniadakan elemen."
Ketika seorang anak kemudian menyampaikan pertanyaan lanjutan, misalnya dengan mengatakan "Lalu bagaimana Dia?"
Seorang ayah bisa menjawabnya dengan uraian berikut:
"Oleh karena Allah itu Maha Esa dan bukan benda, maka Dia tidak bertempat, Dia tidak berada di sebelah kanan-kiri, depan-belakang atau atas-bawah dari sebuah benda. Dengan demikian, segala benda yang wujud butuh kepada-Nya, 'Allâhush-shamad' yang artinya : 'Allah tujuan meminta segala sesuatu."
Jawaban ini sebagaimana pendapat Imam Ar-Razi dalam Ta'sisut Taqdis (hal. 61) yang menyatakan bahwa setiap benda pasti terdiri dari beberapa elemen yang membentuknya dan satu sama lain saling membutuhkan, sebagaimana anggota tubuh membutuhkan anggota tubuh lainnya, bahkan membutuhkan juga pada fungsinya. Misalnya mata butuh penglihatan agar dapat melihat sesuatu. Jika kondisinya seperti ini, maka mustahil bagi benda untuk menjadi shamad sacara mutlak.
Berikutnya, ketika anak menanyakan: “Aku kan anak ayah, lalu Allah anak siapa?”
Seorang ayah bisa memberikan penjelasannya sebagaimana berikut:
"Benar nak, kamu itu anak ayah. Karena kamu manusia yang memiliki bentuk fisik, maka butuh manusia lain yang melahirkan, sedangkan wujud Allah tidak berbentuk fisik seperti manusia. Dia sudah ada sejak dulu dan tidak ada yang mendahului-Nya. Sebagaimana Allah berfirman: ‘lam yalid wa lam yûlad’ yang artinya : 'Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan'."
Penjelasan di atas merujuk pada pendapat Ar-Razi berikut ini:
نَفْيُ كَوْنِهِ تَعَالَى وَالِدًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ تَعَالَى لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلَا مُتَبَعِّضٍ وَلَا مُنْقَسِمٍ وَنَفْيُ كَوْنِهِ تَعَالَى مَوْلُوْدًا مُسْتَفَادٌ مِنَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ تَعَالَى قَدِيْمٌ
Artinya: "Peniadaan wujud-Nya sebagai pihak yang melahirkan adalah kesimpulan dari pengetahuan bahwa Dia bukanlah benda, tidak terbagi-bagi, dan tidak terpisah-pisah. Peniadaan wujud-Nya sebagai pihak yang dilahirkan adalah kesimpulan dari pengetahuan bahwa Dia adalah dzat yang maha terdahulu." (Muhammad Ar-Razi bin Umar, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Daar al-Fikr: 1981], Juz XXXII, hal. 183-184).
"Kalau begitu Allah juga tidak punya saudara?". Jika mendapat pertanyaan ini, ayah bisa menjawabnya dengan penjelasan sebagaimana berikut:
"Begini anakku, Allah itu bukan sekadar tidak memiliki saudara, tetapi tidak ada satu pun pihak yang setara dengan-Nya. Sebagaimana firman-Nya: 'wa lam yakul lahû kufuwan aḫad', ‘serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya’. Sehingga, jangankan setara, mirip dengan-Nya pun tidak akan pernah ada."
"Anakku, HP yang kamu pegang ini hanya ada satu dan satu-satunya di rumah tetapi banyak ditemukan HP yang serupa, bahkan merek dan speknya pun sama persis. Hal ini tentu tidak berlaku bagi Allah Swt sebagai Tuhan, Dia adalah Zat satu-satunya dan tidak akan ditemukan yang setara dengan-Nya kapan pun dan di mana pun."
"Intinya anakku, Allah Swt adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makhluk-Nya. Jika terbersit gambaran tentang-Nya, maka pastikan itu adalah kebohongan tentang-Nya."
Penjelasan tersebut merujuk pada penjelasan Ar-Razi yang fokus pada lafaz kufuwan. Menurutnya, ketiadaan hal yang setara dengan-Nya adalah argumen untuk melawan segala ungkapan kontroversial tentang-Nya dan segala hal yang menganggap-Nya sama dengan lain. Hal ini sebagaimana ia tegaskan:
الْفَائِدَةُ الثَّانِيَةُ نَفَى اللهُ تَعَالَى عَنْ ذَاتِهِ أَنْوَاعَ الْكَثْرَةِ بِقَوْلِهِ أَحَدٍ وَنَفَى النَّقْصَ وَالْمَغْلُوْبِيَّةَ بِلَفْظِ الصَّمَدِ وَنَفَى الْمَعْلُوْلِيَّةَ وَالْعُلِّيَّةَ بِلَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَنَفَى الْأَضْدَادَ وَالْأَنْدَادَ بِقَوْلِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ
Artinya : "Faidah Kedua: Allah meniadakan dari Zat-Nya segala sesuatu yang menunjukkan banyak dengan lafaz 'aḫad'. Dia meniadakan segala kekurangan dan kekalahan dengan lafaz 'as-shamad'. Dia meniadakan generasi bawah dan atas dengan lafaz 'lam yalid wa lam yulad'. Dia juga meniadakan segala yang berlawanan dengan-Nya dan segala yang menyamai-Nya dengan firman-Nya 'wa lam yakun lahu kufuwan ahad'." (Mafatihul Ghaib, hal. 185).
Demikian salah satu cara mengenalkan dan menanamkan tauhid kepada anak, yaitu melalui surat Al-Ikhlash. Dengan mengenalkan ajaran tauhid sejak dini, diharapkan anak-anak akan tumbuh dengan pondasi dan kesadaran bahwa hanya kepada Allah-lah mereka menggantungkan segala harapan dan berserah diri. Wallahu A'lam.
Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember.
Terpopuler
1
Laksanakan Puasa Tarwiyah Lusa, Berikut Dalil, Niat, dan Faedahnya
2
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Kronologi 3 WNI Tertangkap di Gurun Pasir Hendak Masuk Makkah, 1 Orang Meninggal
6
Alasan Tanggal 11-13 Dzulhijjah Disebut Hari Tasyrik dan Haram Berpuasa
Terkini
Lihat Semua