Ilmu Tauhid

Pengabulan Doa dalam Kajian Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Rab, 30 September 2020 | 11:00 WIB

Pengabulan Doa dalam Kajian Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Manusia yang lemah harus terus menengadahkan tangan karena Allah memiliki karunia, kemurahan, dan rahmat yang luas dan tidak terbatas. (Syekh Ali Baras, 2018 M: 134).

Allah memerintahkan manusia untuk mengajukan permohonan kepada-Nya. Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk memohon dan ia akan mengabulkan permintaan mereka. Berikut ini anjuran doa dalam Surat Al-Baqarah ayat 186:


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ


Artinya, “Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka (jawablah), ‘Aku dekat. Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku.’” (Surat Al-Baqarah ayat 186).


Adapun berikut ini kami kutip anjuran doa dalam Surat Ghafir ayat 60:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ


Artinya, “Tuhanmu berkata, ‘Memohonlah kepada-Ku, niscaya Kukabulkan permohonanmu.’” (Surat Ghafir ayat 60).


Namun demikian, pengabulan doa (ijabatud du’a) dalam kajian tauhid Ahlussunnah wal Jamaah masuk dalam kategori perbuatan Allah yang jaiz, sesuatu yang mungkin (mungkin iya dan mungkin juga tidak). Artinya, ijabah doa bergantung pada kehendak Allah itu sendiri.


أن الإجابة مقيدة بالمشيئة


Artinya, “Pengabulan doa manusia (ijabatud du‘a) bergantung pada kehendak Allah,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 92).


Pandangan ini didasarkan pada Surat Al-An’am ayat 41 yang mengaitkan pengabulan doa manusia dengan kehendak mutlak Allah SWT.


بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ


Artinya, “(Tidak), tetapi hanya Dia (Allah) yang kamu seru, lalu Dia mengangkat mudharat yang kamu mohonkan perlindungan kepada-Nya, jika Dia menghendaki,” (Surat Al-An’am ayat 41).


Syekh Ibrahim Al-Baijuri kemudian menerangkan bahwa Surat Al-An’am ayat 41 mengqayidkan kemutlakan (taqyidul mutlaq) dua ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 186 dan Surat Ghafir ayat 60. Dengan demikian, kedua ayat tersebut bermakna sebagai berikut:


فالمعنى ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنْ شِئْتُ وأُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِنْ شِئْتُ


Artinya, “Maknanya adalah, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kupenuhi jika Aku menghendaki’ dan ‘Aku akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika Aku menghendaki.’” (Syekh Ibrahim Al-Baijuri: 92).


Kajian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah ini hendak mendudukkan persoalan bahwa pengabulan doa manusia oleh Allah merupakan perbuatan jaiz bagi-Nya. Tidak ada keharusan bagi-Nya untuk mengabulkan doa manusia. Pengabulan doa manusia bergantung penuh pada kehendak-Nya yang absolut.


Adapun manusia yang dhaif tidak boleh berputus dari rahmat-Nya karena putus asa adalah sifat orang kafir dan orang yang ingkar. Justru karena tidak mengetahui kehendak Allah yang ghaib, manusia harus terus berdoa dan berharap kepada-Nya.

 

Manusia yang lemah harus terus menengadahkan tangan karena Allah memiliki karunia, kemurahan, dan rahmat yang luas dan tidak terbatas. (Syekh Ali Baras, Syifa'us Saqam fi Ma'anil Hikam, 2018 M: 134). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)