Ilmu Hadits

Telaah Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku jelang Kurban

Kam, 30 Juli 2020 | 11:00 WIB

Telaah Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku jelang Kurban

Tak setiap redaksi larangan selalu bermakna haram. Di sinilah para ulama biasanya berbeda pendapat.

Terdapat hadits dalam Sahih Muslim tentang larangan memotong rambut dan kuku ketika memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Larangan ini diperuntukkan bagi orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah kurban. Bagaimana penjelasannya? Adakah kalimat larangan itu bermakna haram, makruh, atau apa? Berikut ini akan dibahas hadits tersebut dari beberapa aspeknya.

 

Redaksi Hadits:

 

حدثنا ابن أبي عمر المكي، حدثنا سفيان، عن عبد الرحمن ابن حميد ابن عبد الرحمن ابن عوف، سمع ابن المسيب يحدث، عَن أم سلمة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وأراد أحدكم أن يضحي، فلا يمس من شعره وبشره شيأ. (رواه مسلم)

Artinya:

Meriwayatkan hadits kepada kami Ibnu Abi Umar Al-Makky, bercerita kepada kami Sufyan, dari Abdurrahman bin Humaid bin Abdirrahman bin Auf. Ia mendengar Ibn Al-Musayyab menceritakan dari Ummi Salamah bahwasanya Nabi Muhammad bersabda: Jika hari kesepuluh telah tiba, dan salah satu di antara kalian ingin menyembelih Kurban, maka jangan menyentuh (memotong) apa pun dari rambut pada kulit kalian. (HR Muslim, nomor 1977)

 

Penjelasan Dirayah (Sanad Hadits)

Hadits ini menjelaskan tentang larangan mencukur rambut dan memotong kuku ketika telah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah bagi orang yang hendak atau memiliki niat menyembelih kurban. Demikian pula terdapat hadits yang menjelaskan bahwa larangan ini adalah ketika memasuki hilal Dzulhijjah.

 

Hadits dari Ummi Salamah di atas termuat di dalam Sahih Muslim (nomor 1977), Ibnu Majah (nomor 3149), dan At-Thahwi dalam Syarh Musykil Al-Atsar (no: 5511). Terdapat beberapa perbedaan lafadz hadits mengenai mencukur rambut ketika hendak menyembelih ini. Adapun hadits yang dikutip di atas adalah dari Sahih Muslim.

 

Hadits paralel yang lain dari Sahih Muslim adalah:

  1. Hadits dari Ishaq bin Ibrahim, dari Sufyan, dari Abdurrahman bin Humaid nom Abdirrahman bin ‘Auf, dari Sa’id bin Musayyab dari Ummi Salamah;
  2. Hadits dari Hajjaj bin As-Sya’ir, dari Yahya bin Katsir Al-Anbary, dari Syu’bah dari Malik bin Nas dari Umar bin Muslim dari Sa’id bin Al-Musayyab. Dari Ummi Salamah;
  3. Hadits dari Ahmad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Hasyimi, dari Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Malik bin Anas, dari Umar (atau ‘Amr) bin Ja’far, ((atau)) dari Syu’bah, dari  Malik bin Anas, dari Umar (atau) ‘Amr bin Muslim;
  4. Hadits dari Abdullah bin Mu’adz Al-Anbary, dari Ayahnya, dari Muhammad bin ‘Amr Al-Laitsy, dari Umar bin Muslim bin Ammar bin Akya’ah Al-Laitsy;
  5. Hadits dari Hasan bin Ali Al-Halwani, dari Abu Usamah, dari Muhammad bin ‘Amr, dari ‘Amr bin Muslim bin Ammar Al-Laitsy;
  6. Hadits dari Harmalah bin Yahya dan Ahmad bin Abdurrahman; dari Abdullah bin Wahab dari Haywah, dari Khalid bin Yazid, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Umar bin Muslim Al-Junda’i, dari Ibni Al-Musayyab. (Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Sahih Muslim bin Hajjaj, hal. 1257-1258).

 

Hikmah

Dijelaskan bahwa hikmah dari larangan ini adalah bahwa semua anggota tubuh kita sekecil apa pun akan diselamatkan dari api neraka. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa larangan tersebut untuk menyerupai (tasybih) larangan bagi orang yang sedang ihram untuk menyembelih dan berburu hewan apa pun. Akan tetapi kalangan Syafiiyyah mengatakan bahwa pendapat terakhir ini adalah salah. Karena alasan seperti: pada saat ihram kita diperintahkan untuk tidak memakai wewangian, namun dalam berkurban tidak demikian. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257).

 

Implikasi Hukum Fiqih dari Hadits ini

Hukum fiqih didasarkan kepada adanya perintah (amr) atau larangan (nahy) di dalam suatu nash baik Al-Qur’an maupun hadits. Dari adanya redaksi perintah atau larangan tersebut lalu kita akan meneliti lebih lanjut tentang apakah perintah tersebut menyatakan kewajiban, anjuran, atau kebolehan. Dari redaksi larangan, kita akan dapat meneliti lebih lanjut apakah larangan itu masuk ke dalam pernyataan haram, atau makruh. Tentunya kesemuanya itu berdasarkan dalil petunjuk (qarinah) yang ada setelah memperbandingkan dengan nash-nash (ayat atau hadits yang lain).

 

Di dalam kasus teks hadits di atas sebagaimana dikutip dari Sahih Muslim di atas, terdapat larangan yang menyatakan:
 

ـ.... فلا يمس من شعره وبشره شيأ

Artinya:

".... maka jangan menyentuh (memotong) sesuatu apa pun dari rambut dan kulitnya."

 

Apa konsekuensi hukum dari larangan memotong rambut (dan semua rambut di tubuh) ini? Adakah ia menghendaki haram ataukah makruh?

 

Dari sini terdapat perbedaan pendapat para ulama:

  1. Abu Hanifah berpendapat tidak makruh.
  2. Imam Malik berpendapat tidak makruh dalam suatu riwayat, dan menyatakan makruh dalam riwayat yang lain.
  3. Imam Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa hal tersebut adalah makruh (makruh tanzih) dan bukanlah haram.
  4.  Imam Ahmad, Ishaq bin Rawaih, Abi Dawud, dan sebagian dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram. Keharamannya ini sampai selesai ia disembelihnya hewan kurban. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257)

 

Pendapat yang menyatakan haram didasarkan kepada beberapa hadits (An-Nawawi: 1257). Pendapat ini juga mengambil hukum asal dari larangan, yaitu haram. Dan dengan demikian membatalkan qiyas. Di samping itu para ulama yang mengatakan makruh adalah dengan jalan memperbandingkan hadits Aisyah yang sifatnya umum. Adapun hadits dalam masalah ini adalah hadits khusus yang harus didahulukan. Al-Atsyubi di dalam Syarah Sunan Nasai mengatakan:

 

ومقتضى النهي التحريم وهذا يرد القياس ويبطله، وحديثهم عما وهذا خاص يجب تقديمه بتنزيل العام على ما عدا تناوله الحديث الخاص.

 

Artinya: “Tuntutan dari larangan itu (pada dasarnya) adalah haram. Dan ini membatalkan qiyas. Sedang hadits mereka (yang menyatakan makruh) adalah hadits yang umum. Sedang hadits (tentang larangan mencukur rambut) ini adalah hadits khusus yang harus didahulukan. Dengan menghilangkan keumuman atas yang selain apa yang dikhususkan oleh hadits khusus. (Al-Atsyubi (33), hlm277)

 

Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan tidak makruh memiliki alasan tersendiri. Hal ini menyatakan konsekuensi logisnya bahwa mengikuti anjuran hadits tersebut di atas adalah juga tidak mustahab (sunnah). Alasannya, bagi Imam Abu Hanifah, kemakruhan dan keharaman sesuatu itu hanya bisa diputuskan dengan dalil khusus yang menyatakan hal itu (As-Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, 1: 52). Dengan demikian, Imam Abu Hanifah menyamakan implikasi hukum dari hadits di atas adalah sebagaimana perintah makan dan minum dalam ayat yang berimplikasi pada hukum mubah.

 

Sedangkan Imam Syafi’i yang menyatakan makruh tanzih didasarkan kepada hadits lain dalam Sahih al-Bukhari:

 

عن عائشة رضي الله عنها قالت: (كنت أفتل قلائد هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحل الله حتى ينحر هديه) رواه البخارى ومسلم

 

Artinya: Dari Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Saya memintal tali kekang unta Rasulullah . Kemudian Rasulullah mengalungkan tali itu dan mengirimkannya. Serta Nabi tidak mengharamkan sesuatu apa pun yang dihalalkan oleh Allah hingga untanya disembelih” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Berdasarkan hadits di atas, secara qiyas aulawiyyah Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengirimkan unta itu lebih kuat dari sekadar menginginkan berkurban (unta). Sedangkan mengirimkan saja Nabi tidak mengharamkan memotong rambut dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hadits larangan memotong rambut dan kuku sebagaimana disebutkan di atas tidak menunjukkan keharaman.

 

Oleh karenanya maka makna larangan dalam hadits di awal wacana ini dibawa kepada makna makruh tanzih. (An-Nawawi, hlm: 1258). Demikian pula konsekuensi logisnya bahwa tidak memotong rambut dan kuku adalah mustahab menurut Imam Syafi’i. Karena ittiba’terhadap nash ada dua pilihan, bisa wajib atau mustahab. Dan menentang apa yang ada di dalam nash bisa pula dua kemungkinan yaitu: haram atau makruh. Sedangkan dalam masalah hadits di atas, telah dibuktikan kemakruhan dari makna larangan tersebut. Sehingga mengikuti larangan itu hukum sebaliknya adalah mustahab (disukai). (As-Sya’rani, (1) hlm:52).

 

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa:

  1. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa memotong rambut dan kuku ketika masuk tanggal 10 Dzulhijjah bagi yang hendak kurban, adalah boleh, tidak makruh dan tidak haram.
  2. Imam Malik dalam sebagian riwayat mengatakan makruh. Akan tetapi dalam riwayat lain beliau mengatakan tidak makruh.
  3. Imam Syafi’i mengatakan makruh berdasarkah hadits dari Aisyah di dalam Shahih Bukhari.
  4. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan haram berdasarkah dzahir hadits larangan tersebut.

 

Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an; Pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang dan Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang

 


Baca juga artikel seputar kurban lainnya di Kumpulan Artikel tentang Ibadah Kurban