Ilmu Hadits

Mengenal Generasi Tabi’in dan Urgensinya dalam Kajian Hadits

Sab, 21 April 2018 | 12:00 WIB

Setelah masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pengajaran Islam dilanjutkan kalangan sahabat. Para sahabat ini berdiaspora ke berbagai daerah, baik untuk berdakwah maupun tugas kekhalifahan. Mereka berjumpa dengan generasi selanjutnya yang tidak berjumpa Nabi semasa hidupmelanjutkan dakwah dan ajaran Islam.

Baca: Siapakah yang Disebut ‘Sahabat Nabi’ Itu?
Generasi setelah sahabat ini disebut tabi’in. Menurut ulama hadits, semisal seperti dicatat oleh Imam as Suyuthi dalam Tadribur Rowi, definisi tabi’in yang masyhur adalah: orang-orang yang berjumpa dengan sahabat dalam keadaan Muslim, serta wafat juga dalam keadaan Muslim.

Disebabkan sanad adalah salah satu elemen penting sebuah hadits, maka mengenal generasi tabi’in dan cara penyandaran hadits mereka kepada Nabi maupun generasi sahabat menjadi patut dicermati. Nabi Muhammad dan generasi sahabat yang notabene menjumpai beliau, dan mengamalkan Islam sebagaimana mereka ketahui sendiri dari Nabi, adalah rujukan berislam generasi setelahnya.

Ajaran-ajaran Nabi yang tercatat dalam hadits mesti dilakukan penelusuran riwayat, demi mengetahui keabsahannya. Ulama hadits dan sejarah menilai pentingnya membagi kelompok generasi sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi setelahnya, salah satunya sebagai cara menilai kesahihan suatu hadits baik segi ketersambungan sanad atau pribadi perawinya.

Masa para tabi’in ini merentang dari pasca wafatnya Nabi, sampai sekitar 150 H. Pakar rijalul hadits atau biografi perawi membuat klasifikasi tentang tabi’in ini. Secara garis besar, pembagian tabiin ini dibagi menjadi generasi tabi’in tua (akbarut tabi’in) dan generasi tabi’in yang lebih muda (shigharut tabi’in) salah satunya berdasarkan kedekatan dengan masa Nabi.

Baca juga: Mengenal Kredibilitas Perawi Hadits lewat Jarh dan Ta’dil
Sosok tabi’in yang masyhur dari kalangan tua semisal Said bin Musayyib, Hasan Al Basri, dan Uwais al Qarni, yang di daerahnya masing-masing dinilai sebagai tabi’in paling istimewa.Kemudian dari golongan tabi’in muda yang lebih jauh dari masa Nabi, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas.

Tokoh yang membuat klasifikasi tabi’in antara lain Imam Muslim, Imam Ibnu Sa’ad, dan Imam al Hakim. Nama yang disebut terakhir membuat sampai 15 tingkatan tabi’in, dan di urutan pertama adalah tabi’in yang berjumpa sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga (al-‘asyarah mubasysyarun bil jannah).

Mengenali posisi generasi seorang perawi itu penting karena berkaitan erat dengan kesahihan hadits. Jika seorang pengkaji hadits belum mengidentifikasi tokoh perawi dalam sanad, maka penilaian atas hadits tersebut bisa kurang tepat.

Mengapa sedemikian urgen mengenal generasi ini? Terkait posisi tabi’in, dikenal istilah hadits mursal dan hadits maqthu’. Patut diketahui bahwa berdasarkan penyandarannya dalam sanad dan matan, hadits dibagi menjadi tiga: marfu’, yaitu hadits-hadits yang disandarkan pada Nabi; kemudian hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan kepada sahabat; dan kemudian hadits maqthu’, yang riwayatnya disandarkan pada perilaku tabi’in.Jika riwayat yang disandarkan kepada tabi’in ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan Nabi atau generasi sahabat, maka mayoritas ulama tidak menjadikannya hujjah suatu hukum.

Meskipun generasi tabi’in hanya berselisih satu generasi dengan Nabi, namun karena masih terpaut kalangan sahabat, perkataan tabi’in yang disandarkan langsung kepada Nabi secara umum dinilai terputus sanadnya. Oleh para ulama hadits keadaan ini disebut hadits mursal, yaitu hadits yang perawi dari kalangan sahabat tidak disebutkan, dam kebanyakan ulama menilainya sebagai hadits dla’if. Demikian dari sudut pandang ilmu hadits, mengenal tabi’in itu penting. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)