Ilmu Hadits

Benarkah Nabi Melarang para Sahabat Menulis Hadits?

Ahad, 14 Maret 2021 | 14:00 WIB

Benarkah Nabi Melarang para Sahabat Menulis Hadits?

Pada dasarnya penulisan hadits Nabi telah dimulai sejak zaman para sahabat. Hal ini ditunjukkan dengan catatan hadits yang ditulis oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Ash. (Ilustrasi: Twitter @daralhadarah)

Sejarah mencatat, sebagian orientalis Barat, seperti Ignác Goldziher dan sesamanya, meragukan keaslian hadits Nabi. Mereka menuduh bahwa hadits Nabi baru dibukukan sejak abad kedua Hijriah atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Menurut mereka, di abad pertama Hijriah belum ada penulisan hadits Nabi. Sehingga, mereka dengan mudahnya meragukan kemurnian hadits Nabi seraya menuduh bahwa hadits Nabi yang dibukukan adalah hasil buatan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz untuk melanggengkan kekuasaannya.

 

Para orientalis ini berdalih penulisan hadits Nabi baru dimulai sejak Imam Malik bin Anas (w. 179 H) selesai menyusun kitab al-Muwattha yang berisi kumpulan hadits Nabi. Selain itu, mereka juga berdalih bahwa sebelumnya di masa sahabat Nabi tidak ada penulisan hadits dengan dalil

 

عن أبي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه

 

Diceritakan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda “Jangan kalian menulis (selain Al-Qur’an) dariku. Barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an hendaknya ia menghapusnya” (HR Muslim).

 

Padahal, di sisi yang lain ada hadits yang menjelaskan anjuran menulis hadits Nabi:

 

عن عبد الله بن عمرو قال كنت أكتب كل شيء أسمعه من رسول الله صلى الله عليه وسلم أريد حفظه فنهتني قريش وقالو أتكتب كل شيء تسمعه ورسول الله صلى الله عليه وسلم بشر يتكلم في الغضب والرضى، فأمسكت عن الكتاب، فذكرت ذالك لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فأومأ بأصبعه إلى فيه فقال اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إلا حق.

 

Diceritakan dari Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata “Dahulu aku menulis seluruh yang aku dengar dari Rasulullah, aku ingin menghafalkannya, maka kaum Quraisy mencegahku. Mereka (kaum Quraisy) mengatakan “Apakah engkau menulis seluruh hadits yang engkau dengar (dari Rasulullah), padahal Rasulullah adalah manusia yang terkadang bersabda dalam keadaan marah terkadang dalam keadaan senang?” Maka aku menahan diri dari menulis (hadits Nabi). Kemudian, aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka Rasulullah memberikan isyarat dengan jarinya kepada mulutnya, Rasulullah bersabda “Tulislah (hadits), demi Allah dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya tidaklah keluar darinya (mulutku) kecuali kebenaran” (HR Abu Dawud).

 

Lantas bagaimana para ulama menanggapi akan hal ini?

 

Di sini kita akan melihat ada empat argumentasi ulama dalam mengompromikan dua hadits yang bertentangan, yaitu:

 

Pertama, menurut sebagian ulama pada mulanya ditetapkan larangan menulis hadits. Hal ini dikarenakan khawatir tercampurnya penulisan Al-Qur’an dan hadits. Hingga ketika jumlah umat Islam bertambah banyak serta umat islam telah mengetahui perbedaan di antara Al-Qur’an dan hadits, larangan menulis hadits pun digugurkan dan dihapuskan.

 

Dr. Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Melihat adanya pertentangan hukum menulis hadits, dapat disimpulkan bahwa larangan menulis hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri adalah digugurkan (mansukh). Hal ini dikarenakan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin Ash yang menunjukkan kebolehan menulis hadits yang datang setelahnya. Maka telah jelaslah bahwa kebolehan menulis hadits datang lebih akhir, dan menggantikan hukum larangan menulis hadits yang datang sebelumnya” (Dr. Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-hadits, Kairo: Dar Ibnu Jauzi, 2015, hal. 285).

 

Kedua, menurut sebagian ulama larangan menulis hadits dalam riwayat Abu Sa’id al-Khudri adalah larangan menulis hadits dalam satu halaman yang sama dengan penulisan Al-Qur’an.

 

Al-Hafidz as-Sakhawi mengatakan, “Larangan menulis hadits maksudnya adalah larangan menulis hadits bersama Al-Qur’an dalam halaman yang sama. Hal ini dikarenakan para sahabat mendengarkan takwil mengenai ayat yang diturunkan dan terkadang mereka menuliskan takwil tersebut bersamaan dengan penulisan ayat Al-Qur’an. Maka Rasulullah melarang para sahabat melakukan hal tersebut karena khawatir tercampur diantara penulisan Al-Qur’an dan hadits” (al-Hafidz as-Sakhawi, Fath al-Mughits bi Syarh Alfiyyah al-hadits, Kairo: Maktabah as-Sunnah, 2003, vol.3, hal 39).

 

Ketiga, menurut Ibnu Hajar al-Asqalani riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang menjelaskan larangan menulis hadits berderajat mauqufalaih (disandarkan kepada sahabat). Oleh karena itu, riwayat Abu Sa’id al-Khudri ini tidak dapat digunakan sebagai dalil larangan menulis hadits. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari vol.1, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990, hal. 208).

 

Keempat, sebagian ulama mengatakan larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang-orang yang memiliki daya hafal yang kuat. Sedangkan izin kebolehan menulis hadits ditunjukkan kepada orang-orang yang lemah daya hafalnya. Pendapat ini berdasarkan dalil hadits

 

عن أبي هريرة قال كان رجل من الأنصار يجلس إلى النبي صلى الله عليه و سلم فيسمع من النبي صلى الله عليه و سلم الحديث فيعجبه ولا يحفظه فشكا ذلك إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إني أسمع منك الحديث فيعجبني ولا أحفظه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم استعن بيمينك وأومأ بيده للخط

 

Diceritakan dari Abu Hurairah, beliau berkata “Ada seseorang dari golongan Anshar yang duduk bersama Nabi, kemudian ia mendengarkan hadits dari Nabi maka ia merasa takjub, akan tetapi ia tidak dapat menghafalkannya. Maka, ia pun mengadukan hal tersebut kepada Nabi seraya berkata “Duhai Rasulullah, aku mendengarkan hadits darimu maka aku merasa takjub dan aku tidak dapat menghafalkannya”. Kemudian Rasulullah bersabda “Mintalah pertolongan dengan tangan kananmu seraya memberikan isyarat dengan tangannya untuk menulis” (HR Turmudzi).

 

Kelima, sebagian ulama mengatakan bahwa larangan menulis hadits bersifat umum. Sedangkan izin kebolehan menulis hadits diperuntukkan kepada orang-orang yang memiliki ketelitian dan keahlian dalam menulis.

 

Dalam masalah ini, Dr. Taufiq Ahmad Salman mengatakan “Saya berpendapat bahwa kedua pendapat ini (pendapat yag membolehkan menulis hadits dan yang melarangnya) adalah benar dan memiliki dasar yang kokoh. Maka, golongan sahabat yang menulis hadits memiliki dalil bahwa Rasulullah memerintahkan mereka menulis hadits. Sedangkan golongan sahabat yang melarang menulis hadits memiliki dalil bahwa Rasulullah melarang mereka menulis hadits”. (Dr. Taufiq Ahmad Salman, Nadzarat fi Tarikh at-Tasyri’, Kairo: Maktabah Aiman, 2015, hal. 70).

 

 

Walhasil, pada dasarnya penulisan hadits Nabi telah dimulai sejak zaman para sahabat. Hal ini ditunjukkan dengan catatan hadits yang ditulis oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Ash. Meskipun di sisi lain terdapat perbedaan pendapat mengenai kebolehan menulis hadits di zaman para sahabat. Oleh karena itu, tuduhan yang digaungkan oleh para orientalis Barat tidaklah benar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Justru tuduhan itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempelajari sejarah hadits Nabi dengan benar serta mereka tidak menghargai sumbangsih para ulama dalam mengumpulkan hadits Nabi dari riwayat para sahabat Nabi.

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo