Ilmu Al-Qur'an

Mimpi Imam Hamzah az-Zayyat tentang Kemuliaan Ahlul Qur'an

Ahad, 24 Maret 2019 | 13:00 WIB

Imam al-Syatibi mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sebaik-baiknya teman duduk (khairu jalîsin). Keagungan dan kemuliaannya mampu memberikan syafaat dan manfaat kepada pembacanya dan penghafalnya, apalagi diimplementasikan kandungan artinya dalam kehidupan sehari-hari. Kemuliaan yang didapatkan oleh para pembaca dan penghafal Al-Qur’an jauh melebihi yang didapatkan oleh yang lain. Hal ini dibuktikan langsung oleh Imam Hamzah melalui mimpinya ketika berkomunikasi dengan Tuhannya.
 
Kisah pertama diriwayatkan oleh Imam Khalaf bin Hisyam al-Bazzar. Imam Sulaim bin ‘Isa berkisah bahwa suatu hari ia berkunjung kepada gurunya, Imam Hamzah bin Habib az-Zayyat. Saat menemuinya, tampak sang guru sedang membolak-balikkan kedua pipinya ke tanah dan menangis. Sontak Sulaim pun berdoa, “Semoga Allah melindungimu.”
 
Imam Hamzah kaget, “Hai, kamu meminta pelindungan untuk apa?”
 
Imam Hamzah lantas bercerita bahwa dirinya kemarin bermimpi seakan-akan kiamat telah terjadi dan para qari’ Al-Qur'an dipanggil. Ia termasuk orang yang menghadiri panggilan itu. Lalu Imam Hamzah mendengar suara berkata dengan ucapan yang enak didengar, “Tidak bisa masuk menghadap kepada saya kecuali orang-orang yang mengamalkan Al-Qur'an”. 
 
“Saya pun kembali tanpa menoleh ke belakang (karena saya merasa bukan termasuk orang yang mengamalkan Al-Qur'an),” kisahnya.
 
Saat dirinya kembali, tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya, “Di mana Hamzah bin Habib az-Zayyat?” 
 
Imam Hamzah pun menyambut panggilan itu. Malaikat segera mendatanginya sambil berkata, “Katakanlah, 'saya sambut panggilan-Mu, ya Allah'!” Lalu Imam Hamzah mengatakan apa yang disampaikan malaikat kepadanya. Seketika itu, Imam Hamzah baru sadar bahwa yang memanggilnya adalah Allah, Tuhan semesta alam.
 
Kemudian Imam Hamzah dimasukkan ke suatu tempat yang di dalamnya terdengar suara gemuruh Al-Qur'an. Ia pun berhenti dengan tubuh gemetar, hingga terdengarlah ucapan, “Jangan khawatir, naiklah dan bacalah Al-Qur'an!”
 
Wajah Imam Hamzah seketika bersinar. Saat itu ia sudah berada di depan mimbar yang terbuat dari batu mutiara putih. Kedua sisinya terbuat dari yaqut berwarna kuning. Tangganya terbuat dari batu zabarjad berwarna hijau. Lalu dikatakan kepadanya, “Naiklah dan bacalah Al-Qur'an!”
 
Ia pun naik, lalu dikatakan kepadanya lagi, “Bacalah surat al-An‘am!”
 
Imam Hamzah pun membacanya dan ia tidak tahu kepada siapa ia membaca hingga enam puluh ayat. Ketika sampai pada ayat (وهو القاهر فوق عباده), ia ditanya, “Wahai Hamzah, bukankah Aku penguasa tertinggi di atas seluruh hamba-hamb-Ku?”
 
“Ya.”
 
“Kamu benar, lanjutkan baca!”
 
Imam Hamzah pun membaca sampai akhir surat.
 
“Bacalah terus!”
 
Imam Hamzah lalu membaca Surat al-A‘raf hingga akhir surat. Sampai di akhir surat, saat ia hendak melakukan sujud Tilawah, Dia berkata, “Cukuplah, apa yang telah kamu lakukan (sujud) di dunia, janganlah bersujud, wahai Hamzah.”
 
Kemudian Dia bertanya, “Siapa yang mengajarkan bacaan ini?”
 
“Sulaiman.”
 
Dia menimpali sambil bertanya kembali, “Kamu benar, siapa yang mengajari Sulaiman?”
 
“Yahya.”
 
“Yahya benar. Kepada siapa Yahya belajar?” tanya Allah lagi.
 
“Kepada Abu ‘Abdurrahman al-Sullami.”
 
“Abu `Abdurrahman al-Sullami benar. Siapa yang mengajari Abu `Abdurrahman al-Sullami?”
 
“Anak paman Nabi-Mu, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib,” jawab Imam Hamzah lagi.
 
“Ali benar. Siapa yang mengajari ‘Ali?” 
 
“Dia belajar kepada Nabi-Mu, Muhammad ﷺ.”
 
“Siapa yang mengajari Nabi-Ku?” 
 
“Jibril.”
 
“Siapa yang mengajari Jibril?”
 
Imam Hamzah pun diam.
 
“Wahai Hamzah, katakanlah “Engkau (ya Allah).”
 
“Saya tidak berani untuk mengatakan “Engkau” (karena malu mengucapkan kata itu di hadapan-Nya).”
 
Dia menyuruh lagi, “Wahai Hamzah, katakanlah “Engkau”.
 
Imam Hamzah pun menjawab, “Engkaulah yang mengajari Jibril, wahai Tuhanku.” 
 
Kemudian Dia berkata, “Kamu benar wahai Hamzah. Demi kebenaran Al-Qur'an, sungguh Aku sangat memuliakan ahlul qur’an (secara bahasa: keluarga Al-Qur'an), lebih-lebih jika mereka mengamalkannya. Wahai Hamzah, Al-Qur'an adalah Kalam-ku dan Aku tidak mencintai seorang pun seperti kecintaan-Ku kepada ahlul qur’an. Wahai Hamzah, mendekatlah!”
 
Imam Hamzah pun mendekat, lalu Dia mencelupkan “tangan”-Nya ke dalam minyak wangi kemudian mengoleskan kepadanya seraya berkata, “Aku tidak hanya melakukan ini kepadamu saja. Sebenarnya Aku melakukannya kepada orang-orang yang sama sepertimu dari orang sebelum dan sesudahmu, dan orang yang mengajarkan Al-Qur'an sepertimu tidak akan datang (di hari kiamat) kecuali kepada-Ku. Wahai Hamzah, sesuatu di sisi-Ku yang Aku sembunyikan darimu masih lebih banyak. Maka kabarkan dan sampaikan kepada sahabat-sahabatmu tentang kecintaan-Ku kepada ahlul qur’an dan apa yang Aku lakukan (berikan) kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang dipilih di antara orang-orang yang pilihan.”
 
“Wahai Hamzah, demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku tidak akan menyiksa (mereka) yang lisannya tidak pernah letih untuk membaca Al-Qur'an, dengan api neraka, (tidak menyiksa meraka) yang hatinya selalu dipenuhi oleh Al-Qur'an, (tidak menyiksa meraka) yang telinganya tidak pernah bosan mendengarkan Al-Qur'an dan mata yang tidak pernah lelah melihat Al-Qur'an.” 
 
Imam Hamzah pun berkata, “Maha-Suci Engkau, Maha-Suci Engkau, wahai Tuhanku.”
 
Lalu Dia bertanya, “Wahai Hamzah, di mana orang-orang yang membaca Al-Qur'an dengan mushaf?”
 
“Wahai Tuhanku, apa yang Engkau maksud mereka para penghafal/penjaga mushaf?” 
 
“Bukan, akan tetapi Aku-lah yang akan menjaga mereka hingga hari kiamat, tatkala mereka (penghafal Al-Qur’an) datang kepada-Ku, niscaya Aku angkat derajat mereka setiap satu ayat satu derajat.” 
 
Kemudian Hamzah menoleh kepada muridnya, Sulaim, seraya berkata, “Apakah kamu masih mencela saya, Wahai Sulaim, tatkala kau lihat saya menangis dan berguling-guling di atas debu.” 
 
Kisah pertama ini bisa dijumpai dalam kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal karya Al-Kalabi (juz VII, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1980, hal. 319).
 
Kisah kedua diriwayatkan oleh Imam Maja’ah bin al-Zubair. Satu kali ia mendatangi Imam Hamzah dan mendapatinya sedang menangis.
 
“Apa yang membuatmu menangis?” tanya Imam Maja’ah.
 
“Bagaimana saya tidak menangis, saya telah bermimpi bertemu Tuhan-ku dan seakan-akan saya menyetor bacaan Al-Qur'an kepada-Nya. Kemudian Dia berkata. ‘Wahai Hamzah, bacalah sebagaimana Aku ajarkan kepadamu’. Saya pun melompat sambil berdiri. Kemudian Dia berkata lagi, ‘Duduklah, sesungguhnya Aku mencintai ahlul qur'an’.
 
Dalam kisah itu, Allah pun berkata lagi kepada Imam Hamzah, “Bacalah!”
 
Imam Hamzah lalu membaca hingga sampai pada surat Thaha. Kemudian saya membaca:
 
ـ...... طُوىً [١٢] وَأَنَا اخْتَرْناَك ....  [١٣]ـ
 
Kemudian Allah berkata, “Jelaskan bacaannya!”
 
Imam Hamzah pun mengikuti perintahnya dengan menjelaskan bacaan itu.
 
“Bacalah!”
 
Imam Hamzah lantas membacanya hingga sampai pada Surat Yasin. Saat hendak membaca (تنزيلُ العزيز الرحيم) (dhammah lam-nya), Allah berkata lagi, “Bacalah (تنزيلَ العزيز الرحيم) (fathah lam-nya), wahai Hamzah. Demikian Aku membaca dan ajarkan kepada para malaikat pemikul Arsy, begitu pula para qari’ Al-Qur’an membaca.” 
 
Kemudian Dia memberinya gelang dan memakaikannya, seraya berkata, “Ini adalah balasan atas bacaan Al-Qur’anmu.”
 
Lalu Dia memeberinya sabuk dan memakaikannya. Dia berkata, “Ini adalah balasan atas puasamu di siang hari.”
 
Kemudian Dia menganugerahkan mahkota dan memakaikannya. Dia berkata, “Ini adalah balasan atas pengajaranmu kepada murid-muridmu. Wahai Hamzah, jangan pernah kau tinggalkan Al-Qur'an, karena sesungguhnya Aku benar-benar menurunkannya.” 
 
Kemudian Imam Hamzah berkata kepada Imam Maja’ah, “Apakah kamu masih mencela saya karena menangis?”
 
Kisah ketiga diriwayatkan oleh Ismail bin Ziyad yang menceritakan ulang kisah dari Imam Hamzah.
 
Suatu hari Imam Hamzah bermimpi bertemu Nabi, lalu ia katakan, “Wahai Rasul, saya telah meriwayatkan seribu hadits dengan sanad bersambung kepadamu, saya hendak membacakannya kepadamu.” Nabi menjawab, “Silakan.” Imam Hamzah pun melakukannya. 
 
Yang membuat heran, Nabi menganggap semua hadits yang dibacakan itu palsu kecuali empat hadits. “Saya tidak meriwayatkan hadits-hadits itu,” kata Nabi.
 
Imam Hamzah lantas meminta izin untuk membacakan Al-Qur’an yang ia hafal. Nabi mempersilakan. Di hadapan beliau, Imam Hamzah membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir, kemudian Nabi membenarkan semua bacaannya seraya berkata mengulang dua kali, “Begitulah Al-Qur’an itu diturunkan kepada saya, begitulah Al-Qur’an itu diturunkan kepada saya.” 
 
Menurut Ibnu Ghalbun, kisah tersebut menunjukkan kesahihan qira’at Imam Hamzah. Sesungguhnya Imam Hamzah mengikuti bacaan dari guru yang sanadnya bersambung kepada Nabi ﷺ. Dengan demikian, barangsiapa yang menolak bacaannya, sama artinya ia menolak bacaan orang yang mengajarkan kepadanya dan bacaan Nabi Muhammad ﷺ.
 
Kisah kedua dan ketiga ini bisa dibaca dalam karya Aminuddin Abdul Wahab al-Sallar, Kitab Thabaqat al-Qurra’ al-Sab’ah wa Dzikri Manaqibihim wa Qira’atihim (Beirut, Al-Maktabah Al-Ashriyah, 2003, hal. 168-170).
 
 
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo