Hikmah

Putri Fanu, Kesatria Wanita yang Menyamar Laki-laki dari Dinasti Murabithun

Kam, 23 Januari 2020 | 03:00 WIB

Putri Fanu, Kesatria Wanita yang Menyamar Laki-laki dari Dinasti Murabithun

Kecakapan dan keberaniannya membuat tentara al-Muwahhidin kagum dan tidak mengenali bahwa ia seorang wanita. (Ilustrasi: 1-72.scale.com)

Dinasti Murabhithun atau Almoravid (1040-1147 M) di masa jayanya menguasai sebagian besar Afrika Utara (Maroko, Mauritania, dan lain sebagianya) dan Iberia Selatan (sekarang Spanyol). Putri Fanu hidup di akhir era Dinasti Murabithun. Nama lengkapnya adalah Fanu binti Umar bin Yintan. Sangat sedikit catatan yang menjelaskan awal-awal kehidupannya. Yang pasti, ia adalah seorang bangsawan atau putri dari Dinasti Murabithun.

 

Fanu tinggal di istana Murabhitun di awal abad ke-12 (era kemunduran Dinasti Murabithun). Dalam budaya Murabhitun, wanita memainkan peran penting dalam masyarakat. Selain pengaruh budaya suku Sanhaja (pendiri Dinasti Murabithun) yang sangat kuat, salah satu pendiri Dinasti Murabithun adalah seorang wanita, Zainab al-Nafzawiyyah (w. 1075-an), istri Yusuf bin Tashfin (w. 1106). Dalam budaya Berber Sanhaja, secara informal (perbincangan sehari-hari) seringkali seorang anak dinisbatkan pada ibunya, seperti sejarahwan Andalusia, Muhammad Ibnu al-Qutiyya (anak wanita Gotik), atau Yahya Ibnu al-Sahrawiyya (Yahya anak wanita Sahara). Meski secara formal masih dinisbatkan pada ayahnya (Amira K. Bennison, Almoravid and Almohad Empires, Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd., 2016, h. 158)

 

Di masa Ali bin Yusuf (1083-1142 M), anak dan penerus Yusuf bin Tashfin, banyak perempuan yang menduduki posisi penting, contohnya menjadi penasihat politik para amir, dan para bangsawan wanita (putri) diambil sumpahnya untuk memerintah. Perempuan di Dinasti Murabithun berpartisipasi secara aktif dalam mengatur urusan publik, dan pertempuran militer, khususnya untuk menghadapi serangan kekuatan baru Dinasti al-Muwahhidun (Emmanuel K. Akyeampong & Henry Louis Gater, JR., Dictionary of African Biography, Oxford: Oxford University Press, Inc., 2012, h. 340).

 

 

Al-Muwahhidun didirikan oleh Syekh Muhammad bin Tumart (w. 1128/1130) sebagai gerakan reformasi permurnian agama bermazhab Dzahiri dan berakidah Asy’ari. Kemudian Ibnu Tumart menyatakan perlawanan terbuka terhadap al-Murabithun sekitar tahun 1120-an. Ketika Syekh Muhamman bin Tumart sedang menjalankan kegiatan dakwahnya, ia pernah memukul binatang tunggangan adik perempuan Ali bin Yusuf (penguasa al-Murabithun) di jalanan karena berpakaian tidak laiknya perempuan. Dalam kitab Daulah al-Muwahhidîn ditulis:

 

رأي أخت أمير المسلمين علي بن يوسف وكان اسمها (الصورة) في مركبها ومعها جواريها وهنّ سافرات علي عادة المرابطين إذ كان من عادتهم ان يتلثم الرجل وتسفر النساء عن وجوههنّ, فأمرهن أن يسترن وجوههنّ فضرب ابن تومرت وأصحابه دوابهن حتي سقطت الصورة عن دابتها

 

(Terjemah bebas): “Ibnu Tumart melihat saudara perempuan pemimpin umat Islam, Ali bin Yusuf, yang bernama (al-Shurah) di atas tunggangannya. Ia ditemani para pelindung wanitanya. Mereka berpergian dengan (cara berpakaian ala) budaya (atau kebiasaan orang-orang) al-Murabithun. Karena sudah menjadi kebiasaan mereka bahwa laki-laki menutup wajahnya dan wanita memperlihatkan wajahnya. Maka Ibnu Tumart menyuruh mereka menutup wajah mereka, lalu ia dan pengikutnya memukul binatang tunggangan wanita-wanita tersebut hingga al-Shurah terjatuh dari tunggangannya” (Dr. Usamah Abdul Hamid Husain al-Samarra’i, Daulah al-Muwahhidîn: Ta’sîsuhâ, Tsauratuhâ, Tandhîmâtuhâ, ‘Aqîdatuhâ, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2014, h. 94).

 

Singkat cerita, setelah al-Muwahhidun memiliki pengaruh kuat, Abdul Mu’min (w. 1163), murid dan penerus Syekh Muhammad bin Tumart menyatakan jihad melawan al-Murabithun. Pada tahun 1145, ia berhasil menaklukan Tlemcen, Oran dan Fez. Pada maret 1147, ia menyerang Marrakech, ibukota sekaligus basis terakhir perlawanan al-Murabithun. Setelah lima hari berperang di benteng Marrakech, Abdul Mu’min dan tentaranya berhasil masuk ke kota. Peperangan terus terjadi di sekitar istana al-Murabithun hingga esok siang (Emmanuel K. Akyeampong & Henry Louis Gater, JR., 2012, h. 340)

 

Dalam catatan sejarah, tentara al-Muwahhidun tidak dapat menguasai seluruh istana sebelum Putri Fanu meninggal. Putri Fanu bertarung secara gagah berani dengan mengenakan pakaian pria. Kecakapan dan keberaniannya membuat tentara al-Muwahhidin kagum dan tidak mengenali bahwa ia seorang wanita. Mohammad al-Baydzaq, sejarahwan dan murid Muhammad bin Tumart, menulis dalam catatan sejarahnya:

 

وكان القتال علي القصر حتي إلي الظهر, ولم يدخل حتي ماتت فانو بنت عمر بن يينتان، وكانت ذالك اليوم تقاتل الموحدين وهي في هيأة رجل، وكان الموحدون يتعجبون من قتالها ومن شدة ما أعطاها الله من الشجاعة وهي بكر، فلما ماتت حينئذ دحل القصر ولم يعرف الموحدون هل هي امرأة أم لا حتي ماتت

 

(Terjemah bebas): “Peperangan di sekitar istana berlangsung hingga dhuhur. Tidak ada yang berhasil memasuki istana sampai terbunuhnya Fanu binti Umar bin Yintan. Di hari itu, ia bertempur melawan tentara al-Muwahhidun, dan ia dalam tampilan pria (menyamar). Tentara al-Muwahhidun mengagumi cara bertarungnya dan mengagumi keberanian luar biasa yang diberikan Allah kepadanya, padahal ia seorang gadis (perawan). Ketika ia berhasil dibunuh, seketika itu istana berhasil dikuasai. Tentara al-Muwahhidun tidak ada yang tahu, apakah ia seorang perempuan atau bukan, hingga ia mati.” (Abu Bakr Muhammad bin Ali al-Shanhaji al-Baydzaq, Akhbâr al-Mahdî bin Tûmart wa Bidâyatu Daulah al-Muahhidîn, Ribath: Dar al-Manshur, 1971, h. 64)

 

Putri Fanu binti Umar bin Yintan meninggal di tahun 1147, bersamaan dengan runtuhnya Dinasti al-Murabithun. Setelah itu, Dinasti al-Muwahhidun berkuasa (1147-1269 M) dengan Abdul Mu’min sebagai khalifah pertamanya.

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen