Hikmah

Nasihat Ibu Sufyan ats-Tsauri kepada Anaknya tentang Menuntut Ilmu

Rab, 27 Januari 2021 | 12:30 WIB

Nasihat Ibu Sufyan ats-Tsauri kepada Anaknya tentang Menuntut Ilmu

Menurut Sufyan ats-Tsauri, ilmu itu beriringan dengan dua hal: mencari dan mengamalkan.

Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat dari Imam Waki’ tentang nasihat ibu Sufyan ats-Tsauri kepada anaknya. Berikut riwayatnya:


قال وكيع: قالت أم سفيان الثوري لسفيان: يا بني اطلب العلم وأنا أكفيك بمغزلي، وقالت له: يا بني إذا كتبت عشرة أحرف فانظر هل ترى نفسك زيادة في مشيك وحلمك ووقارك فإن لم يزدك فاعلم أنه لا يضرك ولا ينفعك.


(Imam) Waki’ berkata: “Ibu Sufyan ats-Tsauri berkata pada Sufyan: “Wahai anakku, carilah ilmu, dan aku akan mencukupi (bekal)mu dengan (upah) memintal benang.”


Ia berkata (lagi) kepada Sufyan ats-Tsauri: “Wahai anakku, jika kau telah menulis sepuluh huruf, maka lihatlah (ke dalam dirimu), apakah (setelah menulis sepuluh huruf itu) kau melihat (ada) peningkatan dalam langkahmu (menuntut ilmu), dalam kemurahan hatimu, dan dalam martabatmu. Jika (setelah kau lihat) tidak ada peningkatan, maka ketahuilah, sesungguhnya ilmu (yang telah kau pelajari) tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat.” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 110)


****

Seorang ibu memang luar biasa. Berbahagia dengan kebahagiaan anaknya. Bersedih dengan kesedihan anaknya. Salah satu ibu luar biasa dalam sejarah peradaban Islam adalah ibu dari Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Dukungan dan semangatnya berhasil mendidik Sufyan ats-Tsauri menjadi ulama yang multidisipliner. Tidak hanya terkenal karena kealimannya, tapi juga karena kehalusan pekertinya, kezuhudan perilakunya dan kemuliaan akhlaknya. Dalam kitab Shifat al-Shafwah tidak disebutkan nama lengkapnya, hanya disebut Ummu Sufyân ats-Tsauri rahimahâllah. Berikut sedikit uraian tentang nasihatnya. 


Ada sebuah pernyataan Imam Sufyan ats-Tsauri yang cukup menarik tentang ilmu. Bisa jadi dipengaruhi nasihat ibunya dulu. Katanya:


حياة العلم بالسؤال عنه والعمل به، وموته بتركهما


“Eksistensi ilmu itu disebabkan oleh (proses) bertanya tentangnya (mengkaji/menuntutnya) dan beramal dengannya. (Sedangkan) kematiannya disebabkan oleh meninggalkan keduanya” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2018, h. 28).


Menurut Imam Sufyan ats-Tsauri, eksistensi ilmu itu berdasarkan pada dua hal, “as-suâl ‘anhu” (pertanyaan, penelitian, dan pencarian), dan “al-‘amal bihi” (pengaplikasian). Dengan pertanyaan, penelitian dan pencarian, ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan tumbuh menjadi beragam disiplin ilmu. Namun, hal itu saja tidak cukup, harus juga dibarengi dengan pengaplikasiannya (al-‘amal bihi, beramal dengannya).


Pada hakikatnya, seorang penuntut ilmu, khususnya ilmu agama, tujuannya bukan hanya untuk memintarkan diri, tapi juga mengamalkannya. Misalnya ada hadits yang berbicara tentang memuliakan tamu, menyayangi sesama manusia, atau berkata yang baik. Mengetahuinya saja tidak cukup, harus juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkannya, kita sebenarnya sedang melestarikan pengetahuan agama.


Karena itu, dalam nasihatnya, ibu Imam Sufyan ats-Tsauri meminta anaknya untuk selalu melihat ke dalam diri, di setiap sepuluh huruf yang ia tulis. Ini menarik, karena standar yang dipakai bukan khatam satu kitab, tapi menulis sepuluh huruf. Dari standar ini, kita bisa dapati dua hal penting. Pertama, kecepatan dalam bermuhasabah, dan kedua, istiqamah dalam bermuhasabah. 


Muhasabah atau inspeksi diri yang dilakukan secara cepat sangat dibutuhkan untuk mengeliminasi peluang kesombongan. Setelah menjadi kebiasaan (istiqamah), manusia akan selalu diingatkan tentang tujuan utama belajar. Tidak melulu soal kepintaran dan kehormatan, tapi juga soal kerendahan hati, kemurahan jiwa dan martabat diri.


Artinya, sang ibu ingin Imam Sufyan ats-Tsauri untuk terus mengukur dirinya, apakah ada kemajuan dalam proses belajarnya. Ada tiga hal yang menjadi penekanannya, yaitu kemajuan dalam hal pengetahuan, kemajuan dalam hal kemurahan hati, dan kemajuan dalam hal martabat diri. Jika tidak ada kemajuan, ibunya mengatakan, “sesungguhnya ilmu (yang telah kau pelajari) tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat.”


Bagi sang ibu, belajar tidak cukup dengan hanya menjadi pintar, tapi juga harus dapat mengembangkan kemurahan hati dan martabat diri. Jangan sampai ilmu pengetahuan menjadikannya sombong dan merasa paling pintar sendiri. Jika itu terjadi, ilmu pengetahuan tidak lagi berposisi netral seperti ucapan sang ibu, tapi bisa memberikan bahaya.


Tentu, perkataan ibu Sufyan ats-Tsauri, “tidak akan membahayakanmu, juga tidak akan memberimu manfaat,” harus dipahami sebagai pendekatan spiritual dalam belajar.  Tujuannya untuk menghindarkan para pelajar dari jebakan kesombongan, dan mengingatkannya kembali pada niat awal mereka. Karena, tidak sedikit manusia yang terjebak dalam jurang kesombongan. Murid Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Abdullah bin Mubarak (w. 181 H) pernah mengatakan:


لا يزال المرء عالما ما دام يظن أن في بلده من هو أعلم منه، فإذا ظنّ أنه أعملمهم فقد جهل


“Seseorang masih menjadi orang ‘alim (orang berilmu) selama dia berpandangan bahwa di negerinya (ada) orang yang lebih berilmu darinya. Karena itu, ketika seseorang berpandangan bahwa dialah yang paling berilmu, maka sesungguhnya dia adalah (orang) bodoh” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarîn, h. 29).

Ucapan Abdullah bin Mubarak di atas merupakan salah satu bentuk kemurahan hati sekaligus martabat diri. Maksudnya adalah, kemurahan hati yang ditunjukkan oleh terkendalinya kesombongan, sehingga tidak segan mengakui dirinya tidak lebih pintar dari siapa pun.


Mengenai martabat diri, tentu kita tahu, bahwa martabat bukan hanya soal harga diri yang marah ketika dihina atau diinjak-injak, tapi juga soal seni mengukur kemampuan diri. Tidak ada orang yang lebih tahu tentang hal itu selain diri kita sendiri. Kita lah yang tahu bahwa kita tidak hafal hadits ini, atau tidak tahu hukum tentang itu. Mungkin kita bisa berpura-pura ‘alim, tapi hati kecil kita tidak bisa dibohongi. Orang yang tak segan membohongi dirinya sendiri, bukanlah orang yang menjaga martabat dirinya. Karena itu, orang yang mengakui kekurangannya, dan tidak memandang dirinya lebih berilmu dari orang lain, adalah orang yang menjaga martabat dirinya. Belum lagi jika kepura-puraannya ketahuan, martabatnya di hadapan orang lain akan hancur seketika.


Sebagai penutup, nasihat Imam Ibrahim bin Adham (w. 165 H) di bawah ini perlu kita renungkan bersama:


أطلبوا العلم للعمل فإن أكثر النّاس قد غلطوا حتي صار علمهم كالجبال وعملهم كالذر


“Carilah ilmu untuk diamalkan. Karena kebanyakan manusia telah keliru, hingga menjadikan ilmunya (setinggi) gunung tapi amalnya (sekecil) debu.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Thabaqât al-Kubrâ, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah, al-Diniyyah, 2005, h. 129).


Pertanyaannya, sudahkah kita mendoakan ibu kita hari ini? 


Wallahu a’lam bish-shawwab...


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen