Hikmah

Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya, Apa Kau Seorang Mukmin?

Sel, 15 Desember 2020 | 23:00 WIB

Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya, Apa Kau Seorang Mukmin?

Imam Hasan al-Bashri mengajarkan bahwa ada dua pola keimanan: iman pada tataran formalitas dan iman pada tataran substansi.

Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat sebuah kisah tentang Imam Hasan al-Bashri yang dipertanyakan keimanannya oleh seseorang. Berikut kisahnya:


سأل رجل الحسنَ البصري: أمؤمن أنت؟ فقال: إن كنت تريد قول الله عزّ وجلّ: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنزِلَ إِليْنَا (البقرة: ١٣٦)، فنعم، به نتناكح ونتوارث ونحقن الدماء. وإن كنتَ تريد قول الله تعالي: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ (الأنفال: ٢)، فنسأل اللهَ أن نكون منهم


Seseorang bertanya kepada (Imam) Hasan al-Bashri: “Apakah kau orang yang beriman?”
(Imam) Hasan al-Bashri menjawab: “Jika yang kau maksud (dengan beriman adalah) firman Allah ‘azza wa jalla (QS. Al-Baqarah: 136): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami,” maka (jawabannya adalah) iya. (Karena) dengan (apa yang diturunkan-Nya itulah) kita menikah, mewariskan dan melindungi (tumpahnya) darah. (Namun), jika yang kau maksud (dengan beriman adalah) firman Allah ta’ala (QS. Al-Anfal: 2): “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,” maka kita (perlu) memohon kepada Allah agar kita (bisa) termasuk (dalam golongan) itu.” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz 1, h. 62)


****


Sepertinya Imam Hasan al-Bashri sedang mengajari kita perihal keimanan. Ada dua pola keimanan yang dijelaskan olehnya. Pertama, iman kepada Allah dan apa yang diturunkan oleh-Nya, dan kedua, iman yang terasakan dan teralami langsung oleh jiwa dan raga manusia.


Pola yang pertama berhubungan dengan claim of true (pernyataan kebenaran), bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, dan apa yang diturunkan-Nya adalah kebenaran. Konsekuensi dari pengakuan tersebut adalah keyakinan tentang kebenaran Islam, sehingga ibadah yang kita lakukan, aturan pernikahan yang kita jalankan, dan tata cara waris yang kita praktikkan menggunakan hukum yang diturunkan Allah. Dalam tingkatan ini, Imam Hasan al-Bashri mengatakan, “ya, benar,” bahwa ia adalah orang yang beriman.


Namun, ketika masuk pada pola keimanan yang kedua, Imam Hasan al-Bashri tidak mengatakan “iya” atau “tidak”. Ia mengungkapkan jawabannya dengan harapan bahwa, “kita (perlu) memohon kepada Allah agar kita (bisa) termasuk (dalam golongan) itu.”


Kita tahu, semua dari kita, sudah beribu-ribu kali mendengar azan, mendengar nama-Nya yang Maha Agung, memekikkan takbir, mengujarkan tasbih, mengucapkan shalawat, dan lain sebagainya. Tapi, seberapa sering hati kita benar-benar bergetar ketika mendengar azan, atau mendengar nama-Nya yang Suci. Kita lebih sering lalai daripada ingat. Bahkan, ketika ingat pun, hati kita masih tetap tak bergetar mendengar-Nya. Karena getaran, salah satunya, lahir dari sebuah perasaan cinta dan takut yang mendalam, dan kebanyakan dari kita, belum sampai pada tahap itu.


Dalam riwayat di atas, Imam Hasan al-Bashri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang yang beriman dari sudut pandang ini (QS. Al-Anfal: 2). Sebab, hati manusia selalu terombang-ambing ke sana-ke mari. Terlalu banyak anasir yang membauri manusia, baik dari luar semacam gemerlapnya dunia, maupun dari dalam semacam beragamnya watak hati. Semisal, ketika amarah datang, ketulusan tertekan; ketika benci tiba, keadilan terpengaruhi; ketika godaan harta di depan mata, ketamakan tersemaikan; ketika pesona jabatan digenggam tangan, kesombongan terbangunkan, dan seterusnya.


Ketidak-beranian Imam Hasan al-Bashri menunjukkan kesadaran hatinya. Ia jujur mengakui kekurangannya. Ia enggan berpura-pura untuk melindungi harga dirinya sebagai ulama besar. Di waktu yang sama, ia mengatur kesombongan agar tidak menguasainya. Karena ia tahu betul, meski ia telah berusaha sepenuh nafas menjaga kemurnian hatinya, kelalaian pernah menyinggahi hatinya. Lagipula, getaran hati tidak bisa dipalsukan, dipura-purakan atau dipaksakan.

 


Hal menarik lainnya adalah caranya menjawab. Ia menggunakan kata “kami” dalam jawabannya. Artinya, ia tidak marah dengan pertanyaan aneh semacam ini. Ia mengedepankan prasangka baik, dan turut mendoakan orang yang menanyainya, berharap orang tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan keimanan yang bergetar. Di samping itu, orang yang tidak mendalami ilmu agama dan merasainya dengan sepenuh jiwa, hampir tidak mungkin menyampaikan jawaban seperti Imam Hasan al-Bashri.


Oleh karena itu, kita harus selalu berdoa dan berusaha untuk meningkatkan keimanan kita, agar iman kita tidak hanya berhenti pada tahap percaya, melainkan tumbuh berkembang sampai kedalamannya membuat hati kita bergetar ketika nama Allah diperdengarkan. Selama ini, ketika kita mengucap “Allahu Akbar”, kita gagal mengecilkan diri kita, dan gagal mendalamkan maknanya, sehingga tidak jarang kita gampang menyalahkan; ketika kita menuturkan “Subhanallah”, kita gagal memahami seberapa kotornya hasrat buruk manusia, sehingga tidak jarang menganggap diri paling mulia dari lainnya.


Seperti halnya orang yang menanyakan keimanan seseorang, apalagi yang ditanya adalah seorang ulama besar, salah satu tabi’in yang ternama, Imam Hasan al-Bashri. Bisa jadi pertanyaan itu muncul karena orang tersebut melihat Imam Hasan al-Bashri melakukan sesuatu, atau bisa jadi karena ia tak mengenalnya. Siapa yang tahu?


Akan tetapi, sikap dan jawaban Imam Hasan al-Bashri memberikan kita sebuah gambaran, bahwa keimanan harus terus dipupuk dan dikembang-biakan, dengan amal kebaikan, dan penjernihan hati yang mendalam. Untuk menjernihkan hati, kita harus mengakui watak-watak buruk yang berada di diri kita, seperti sombong, rakus, dengki dan lain sebagainya. Kita harus kenali mereka, sehingga ketika mereka beraksi, kita tahu bahwa itu mereka, dan kita berjuang untuk menjinakkannya. 


Tanpa mengakui dan mengenali mereka, kita akan menjadi hamba yang tak sadar ketika kesombongan datang, kerakusan menyerang, dan kedengkian menghadang. Padahal, kita sering melakukan deteksi watak-watak buruk tersebut pada orang lain, dan kita terlihat begitu mudah mengenali dan mengakuinya. Lalu kenapa kemudahan itu tak terjadi untuk diri kita sendiri? Kenapa?


Wallahu a’lam bish-shawwab....


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen