Hikmah

Hikmah Uzlah Rasulullah saw di Gua Hira

Rab, 11 Agustus 2021 | 04:30 WIB

Hikmah Uzlah Rasulullah saw di Gua Hira

Hikmah uzlah Rasulullah saw

Rasulullah saw sebagai rasul penutup dan penyempurna bagi para rasul lainnya mempunyai tantangan lebih berat dan ujian yang lebih dahsyat. Meski demikian, ujian dari kaumnya yang begitu luar biasa, pembangkangan mereka yang tidak pernah mengikutinya, serta tidak adanya empati dan dukungan dari masyarakat saat itu, merupakan sesuatu yang wajar baginya. Semuanya dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketabahan. 


Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya mengatakan, sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, Allah menjadikannya lebih suka menyendiri. Ketika menjelang usia 40 tahun, Nabi saw Muhammad kerap melakukan uzlah (menyendiri). Allah membuatnya suka uzlah di Gua Hira di bukit yang terletak di arah barat daya Makkah. Nabi Muhammad saw uzlah dan beribadah di sana selama beberapa malam. Terkadang Rasulullah saw uzlah di sana selama 10 malam dan tak sesekali lebih lama lagi hingga sebulan penuh. Uzlah yang kerap dilakukan Rasulullah saw ini terjadi menjelang masa kenabiannya. Ini merupakan pertanda yang sangat agung dan memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum muslim secara umum dan para dai secara khusus.


Menurut al-Buthi, aktivitas Rasulullah saw ini memberi petunjuk bahwa seorang muslim tidak sempurna keislamannya meskipun telah menghiasi diri dengan berbagai ibadah, banyak melakukan ketaatan dan kebaikan, sebelum melakukan uzlah selama beberapa lama dengan tujuan untuk mengintrospeksi diri dan merasakan pengawasan Allah swt. Al-Buthi mengatakan:


فَهِيَ تَوْضِيحٌ أَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَكْمُلُ إِسْلَامُهُ مَهْمَا كَانَ مُتَحَلِّيًا بِالْفَضَائِلِ، قَائِمًا بِأَلْوَانِ الْعِبَادَاتِ، حَتَّى يَجْمَعَ إِلَى ذَلِكَ سَاعَاتٌ مِنَ الْعُزْلَةِ وَالْخَلْوَةِ يُحَاسِبُ فِيْهَا النَّفْسَ، وَيُرَاقِبُ اللهَ، وَيُفَكِّرُ فِي مَظَاهِرِ الْكَوْنِ، وَدَلَائِلِ ذَلِكَ عَلَى عَظْمَةِ اللهِ


Artinya, “Hal itu menjadi pengingat, bahwa seorang muslim tidak dikatakan sempurna keislamannya, meski telah menghiasi diri dengan berbagai ibadah, banyak melakukan ketaatan dan kebaikan, sebelum menyendiri selama beberapa lama, dengan tujuan untuk mengintrospeksi diri, merasakan pengawasan Allah swt, memikirkan fenomena alam dan petunjuk-petujuk hal tersebut atas keagungan Allah.” (Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sîratin Nabawiyyah, [Beirut, Dârul Fikr, cetakan keempat: 2019], halaman 75).


Syekh al-Buthi seolah hendak mengatakan, sekali pun ibadah seseorang sangat banyak, amal kebaikannya banyak, dan ketaatannya banyak, jika belum menyendiri untuk melakukan introspeksi, maka bisa jadi amal kebaikan yang dilakukannya tidak sempurna. Sebab, bisa jadi saat melakukan ketaatan ia masih memiliki motif ingin dipuji, dan merasa dirinya lebih baik dari yang lain. Tentu sifat-sifat tersebut menjadi penghalangan diterimanya ibadah.


Sifat-sifat tercela tersebut tidak akan bisa hilang dari semua manuisa pada umumnya, sebelum ia melakukan introspeksi untuk berpikir tentang kejelekan dan kehinaan sifat tersebut. Semua ini bisa terjadi pada siapa pun. Karenanya, tidak heran jika sebelum risalah kenabian diterima oleh Rasulullah saw, ia lebih suka menyendiri untuk mengintrospeksi dirinya dan berpikir lebih luas tentang kekuasaan Allah.


Hikmah Uzlah Rasulullah saw
Menurut Syekh al-Buthi, peristiwa uzlah Rasulullah saw memiliki hikmah dan pelajaran yang sangat penting untuk diketahui. Hikmah tersebut bisa disimpulkan menjadi dua, yaitu:


Pertama, menjadi media introspeksi diri. Introspeksi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan manusia sebelum melakukan dakwah. Sebab, dalam jiwa setiap manusia pasti memiliki sebuah kerusakan dan sifat-sifat tercela yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara menyendiri, menghindar dari keramaian, kemudian mengevaluasi diri dalam suasana yang hening dari hiruk-pikuk dunia. Al-Buthi mengatakan:

 

وَحِكْمَةُ ذَلِكَ أَنَّ لِلنَّفْسِ أَفَاتٌ لَايُقْطَعُ شَرَّتُهَا اِلَّا دَوَاءَ الْعُزْلَةِ عَنِ النَّاسِ، وَمُحَاسَبَتِهَا فَي نَجْوَةٍ مِنْ ضَجِيْجِ الدُّنْيَا وَمَظَاهِرِهَا

 

Artinya, “Adapun hikmahnya, yaitu sesungguhnya dalam jiwa manusia ada kerusakan yang hanya dapat diobati dengan cara menyendiri, menjauh dari keramaian, lalu mengevaluasi diri dalam suasana yang hening dari hiruk-pikuk dunia.” (Al-Buthi, Fiqhus Sîrah, halaman 75).


Dengan cara itu orang bisa mengurangi bahkan menghilangkan sikap sombong, ujub (mengagumi diri sendiri), dengki, riya’, dan cinta dunia. Semuanya merupakan penyakit hati yang akan merusak jiwa, menodai kesucian hati, dan menghancurkan batinnya, meskipun dia banyak melakukan amal saleh dan ibadah yang baik. Semua hal itu tetap akan merusak, meskipun seseorang sibuk berdakwah, menasehati, mengarahkan, dan membimbing banyak orang.


Hidup bersosial dan berbaur dengan masyarakat bukan kemudian tidak diperbolehkan, namun tidak bisa dipastikan selamat dan terlepas dari sifat-sifat tercela (mazmûmah). Sebab, selama masih berkumpul dengan orang lain, sifat-sifat tersebut masih saja timbul dalam diri manusia. Akibatnya, tanpa disadari, semua amal kebaikan yang dilakukannya dan berbagai nasihat disampaikannya sama sekali tidak bisa memberikan dampak baik bagi dirinya sendiri.


Karenanya, menurut Syekh al-Buthi berbagai kerusakan batin tidak dapat diobati kecuali jika orang pergi menyendiri untuk mengevaluasi dan merenungi hakikat dirinya, penciptanya, serta memahami dan merenungkan lebih dalam bebagai tanda kekuasaan Allah dan kebesaran-Nya. Demikian juga sejauh mana kebutuhannya pada pemeliharaan dan taufik Allah swt. Tidak hanya itu, menyendiri juga dilakukan untuk merenungkan manusia dan ketidakberdayaannya di hadapan Allah swt. Jadi, tidak ada gunanya menyanjung atau mencela manusia. Kesendirian juga diperlukan untuk memikirkan fenomena keagungan Allah, hari akhir, hisab dengan segala fenomena yang mengiringinya, serta merenungkan betapa besar kasih sayang Allah dan betapa berat hukuman-Nya.


Setelah semua itu dilakukan oleh manusia, sedikit demi sedikit akan terkikis berbagai penyakit dan sifat-sifat tercela yang ada dalam diri dan merusak jiwanya. Kemudian hiduplah hatinya dengan cahaya makrifat dan bersih dari segala penyakit-penyakit dunia.


Kedua, menjadi media untuk lebih mencintai Allah. Selain menjadi media introspeksi, menyendiri juga menjadi salah satu jalan untuk mencintai Allah. Sebab, salah satu cara untuk meningkatkan spiritualitas kepada Allah setelah beriman kepada-Nya adalah selalu merenungkan limpahan nikmat-Nya, memikirkan betapa besar keagungan-Nya, serta merenungkan ciptaan-Nya, kemudian memperbanyak dzikir kepada-Nya dalam hati dan dengan lisan. Semuanya hanya terwujud melalui kegiatan menyendiri dan menjauhi segala kesibukan dan hiruk-pikuk dunia.


Merenungkan kebesaran Allah dan ciptaan-Nya bukanlah pekerjaan sia-sia tanpa guna. Sebab, Allah memerintahkan umat manusia agar selalu berpikir tentang ciptaan-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw:


  (رواه أبو الشيخ ابن حبان) تَفَكَّرُوْا فِي خَلْقِ اللهِ، وَلَا تَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ فَتَهْلَكُوْا


Artinya, “Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah, dan janganlah kalian berpikir tentang Allah, maka kalian akan celaka.” (HR Abusy Syaikh Ibnu Hibban). (Al-Munawi, at-Taisîr fî Syarhil Jâmi’is Shagîr, [Maktabah ar-Riyadl: 1988], juz I, halaman 923).


Syekh ‘Abdur Rauf al-Munawi (wafat 1031 H) memberikan penjelasan hadist di atas, bahwa Dzat Allah tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Kecerdasan seperti apa pun tidak akan mampu berpikir tentang Dzat-Nya. Karena itu, Rasulullah saw melarang manusia untuk berpikir tentang Dzat-Nya. Rasulullah saw menganjurkan manusia untuk berpikir tentang ciptaan dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Sebab, dengan cara tersebut ia akan semakin takut kepada Allah, semakin malu jika melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, karena sudah manyadari betul atas eksistensi kekuasaan Allah dengan segala otoritas-Nya. (Al-Munawi, Faidhul Qadîr, [Mesir, Maktabatut Tijâriyyatil Kubrâ: 2001], juz III, halaman 347).


Imam Junaid al-Baghdadi (220-298 H), tokoh sufi sangat masyhur dan ahli fiqih handal keturunan Persia yang lahir dan besar di kota Baghdad, mengatakan: 


أَشْرَفُ الْمَجَالِسِ وَأَعْلَاهَا، الْجُلُوْسُ مَعَ الفِكْرَةِ فِي مِيْدَانِ التَّوْحِيْدِ


Artinya, “Majelis paling mulia dan paling luhur adalah majelis tafakur tentang keesaan Allah.” (Al-Munawi, Faidhul Qadîr, juz III, halaman 347).


Walhasil, kegiatan uzlah yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw menjelang kenabiannya merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan berbagai kebaikan dalam jiwanya. Kegiatan itu tidak boleh diartikan uzlah dalam arti sepenuhnya berpaling dari manusia lalu menjadikan gua-gua dan gunung-gunung sebagai tempat tinggal, atau untuk mengagungkan diri sendiri. Karena pemahaman seperti itu bertentangan dengan petunjuk Nabi Muhammad saw dan contoh yang ditampilkan para sahabatnya. Uzlah yang dianjurkan adalah yang bertujuan untuk memperbaiki diri, dan menjadi obat atas segala penyakit yang ada dalam diri manusia, berupa segala sifat-sifat tercela. Karena kedudukannya sebagai obat, uzlah harus sesuai ukuran dan waktunya. Jika berlebihan, obat akan berubah menjadi penyakit yang patut dihindari.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.