Hikmah

‘Aisyah al-Hiri an-Naisaburi, Putri Wali Besar yang Menjadi Wali

Jum, 7 Februari 2020 | 13:15 WIB

‘Aisyah al-Hiri an-Naisaburi, Putri Wali Besar yang Menjadi Wali

‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H. Ia telah mewariskan pengetahuan spiritual yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini.

‘Aisyah merupakan anak perempuan dari Imam Abu ‘Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hiri an-Naisaburi (w. 298 H), seorang ulama dan wali besar dari Naisabur. Imam al-Dzahabi menggambarkan kedudukannya dengan kalimat:

 

الشيخ الإمام المحدّث الواعظ القدوة، شيخ الإسلام الأستاذ أبو عثمان، سعيد بن إسماعيل بن سعيد بن منصور النيسابوري الحيري الصوفي

 

“(Abu Utsman al-Hiri) adalah seorang syekh (ulama), imam, ahli hadits, pemberi nasihat, dan keteladanan. (Ia) adalah syaikhul Islam al-Ustadz Abu ‘Utsman, Sa’id bin Isma’il bin Sa’id bin Manshur an-Naisaburi al-Shufi” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, juz 14, h. 73-74).

 

Imam al-Hakim mengatakan, para ulama tidak ada yang meragukan kemustajaban doa Abu ‘Utsman al-Hiri (lam yahtalif masyâyikhunâ anna abâ ‘utsmân kâna mujâbad da’wah). Kezuhudan, kepakaran dan penghambaannya kepada Allah diakui oleh hampir semua ulama di zamannya (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 14, h. 74).

 

Dari sekian banyak anak-anaknya, menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah adalah yang paling zuhud, wara’, dan paling tinggi keadaan spiritualnya. Seperti ayahnya, doanya terkenal mustajab. Imam Abdurrahman al-Sulami menulis:

 

كانت من أزهد أولاد أبي عثمان وأورعهم

 

“Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman yang paling zuhud dan paling wara’” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 410).

 

 

Ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya, mempelajari berbagai ilmu agama dari mulai Al-Qur’an, hadits dan lain sebagainya. Didikan ayahnya berpengaruh besar pada kehidupannya, sehingga ia melalui jalan yang sama dengan ayahnya. Ketekunannya dalam belajar; keistiqamahannya dalam membersihkan hati, menjadikannya seorang ulama dan wali perempuan yang mumpuni. Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan bahwa ‘Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman al-Hiri yang paling menonjol. Tingkat spiritualnya jauh melebihi saudara-saudaranya, baik yang laki-laki maupun perempuan (wa ahsanihim hâlan). (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 410)

 

Sebagai seorang ibu, ia pun tidak lupa mendidik anak-anaknya. Salah satu anaknya yang paling terkenal adalah Ummu Ahmad. Saking kuatnya pengaruh dan kharismanya, para ulama lebih sering menisbatkan nasab Ummu Ahmad kepada ibunya. Imam Abdurrahman al-Sulami menyebutnya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah. Kelak, Ummu Ahmad menjadi wali perempuan yang masyhur juga.

 

Dalam catatan Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri selalu menasihati anaknya, Ummu Ahmad. Beberapanya adalah:

 

سمعت ابنتها أم أحمد بنت عائشة تقول: قالت لي أمي: يا بنتي لا تفرحي بفانٍ، ولا تجزعي من ذاهب، وافرحي بالله واجزعي من سقوطك عن عفو الله

 

Terjemah bebas: “Aku mendengar anak perempuannya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah, berkata: Ibuku berkata kepadaku: “Wahai puteriku, jangan kau (gantungkan) kesenanganmu terhadap (sesuatu) yang fana, dan jangan pula kau mencemaskan (sesuatu yang bisa) hilang. (Gantungkanlah) kesenanganmu kepada Allah, dan cemaslah dari (kemungkinan) kau gagal mendapatkan ampunan Allah.” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 410)

 

وسمعتها تقول: قالت لي أمي: الزمي الأدب ظاهرا وباطنا، فما أساء أحد الأدب ظاهرا إلا عوقب ظاهرا، وما أساء أحد الأدب باطنا إلا عوقب باطنا

 

Terjemah bebas: “Aku mendengarnya berkata: Ibuku berkata kepadaku: “Tetapilah adab, baik secara dhahir maupun batin. Sebab, apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara dhahir, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara dhahir. Dan apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara batin, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara batin” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 410).

 

 

Artinya, menjaga adab secara dhahir dan batin tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai perilaku jelek dhahir manusia (berlaku kasar, menghardik, dsb.,) membuat batinnya turut terperangkap. Begitu pun sebaliknya, jangan sampai perilaku jelek batin manusia (ujub, takabbur, hasud, dsb.,) membuat dhahirnya ikut terperangkap juga.

 

Maka, dalam ayat Al-Qur’an dikatakan (QS. Al-Falaq: 4), “wa min syarri hâsidin idzâ hasad” ([aku berlindung kepada Tuhan] dari kejahatan pendengki ketika ia dengki). Dengki adalah penyakit hati, dan siapapun orangnya memiliki potensi dengki, yang membedakan adalah, ‘apakah dengki itu diaktivasi dalam gerak fisik (dhahir) atau sekedar perasaan hati yang mana kita berusaha keras untuk memulihkannya.’ Jika kita membiarkannya mewujud dalam perilaku fisik, itu artinya dhahir kita telah terperangkap oleh kejelekan batin kita.

 

Menjaga adab, baik secara dhahir maupun batin, sangat penting untuk dilakukan. Apalagi Allah telah menginstalasi perangkat positif dan negatif di jiwa kita. Semua manusia berpotensi menjadi baik karena Allah menempatkan kasih sayang, ketulusan, rasa malu, kesadaran dan watak positif lainnya. Begitupun sebaliknya, semua manusa berpotensi menjadi jahat karena beragamnya watak negatif di hati manusia. Karena itu, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri menasihati anaknya untuk selalu menjaga adabnya, baik adab dhahir maupun batin.

 

‘Aisyah juga menasihatkan agar manusia bisa memahami kemaha-adaan Allah dan merasakan kehadiran-Nya. Misalnya ia mengkritik orang yang merasa sepi dengan kesendirian (kesepian). Baginya, Allah Maha Selalu Ada, maka tidak ada kesepian dalam hidupnya, karena Allah selalu bersamanya. Ia mengatakan:

 

من استوحش بوحدته فذلك لقلة أنسه بربه

 

Terjemah bebas: “Barangsiapa yang merasa kesepian dalam kesendiriannya, itu (disebabkan oleh) kurangnya kemesraannya dengan Tuhannya.” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 410)

 

Di waktu lain, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri mengeluarkan ungkapan yang indah tentang menghargai sesama. Karena penghargaan terhadap sesama merupakan bentuk aktualisasi dari pengagungan terhadap sang Pencipta. Ia mengatakan:

 

من تهاون بالعبيد فهو لقله معرفته بالسيد. فمن أحب الصانع عظم صنعه

 

Terjemah bebas: “Barangsiapa yang memandang rendah seorang hamba, (itu pasti) karena kurangnya pengetahuan tentang Sang Tuan (Allah). Sebab, barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan ciptaan-Nya.” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 410)

 

Nasihat ini perlu kita renungkan secara mendalam. Selama ini, tanpa disadari, kita sering memandang rendah orang lain, bahkan sering menyamakan mereka dengan binatang, dan melekatkan predikat tersebut kepada mereka. Padahal, kita tidak punya hak sama sekali untuk melakukan itu kepada sesama makhluk Allah. Sebab, seperti yang dikatakan ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri, “barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan/memuliakan ciptaan-Nya.” Itu artinya, jika kita memandang rendah seseorang, itu sama saja kita sedang memandang rendah Penciptanya, na’udzu billahi min dzalik.

 

‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H. Ia telah mewariskan pengetahuan spiritual yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini. Pertanyaannya, inginkah kita mencoba mengamalkannya?

 

Wallahu a’lam bish shawwab

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen