Hikmah

‘Abdah dan Aminah, Dua Sufi Perempuan Saudara Abu Sulaiman ad-Darani

Sab, 30 Januari 2021 | 00:00 WIB

‘Abdah dan Aminah, Dua Sufi Perempuan Saudara Abu Sulaiman ad-Darani

Aminah binti Ahmad mengajarkan qana’ah kepada manusia, bahwa sikap ini memperkaya hati manusia.

‘Abdah dan Aminah adalah orang yang cerdas lagi dalam pengetahuan agamanya. Termasuk dari kalangan, “an-niswatul muta’abbidât” (perempuan-perempuan ahli ibadah), serta tinggi kedudukan spiritualnya. Imam Abu Abdurrahman al-Sulami (w. 412 H) menulis dalam kitabnya:


كانتا من العقل والدين بمحل عظيم


“Keduanya adalah orang yang cerdas dan (luas pengetahuan) agama(nya), dengan kedudukan (spiritual) yang dahsyat” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 412).


Bahkan, menurut perkataan Sulaiman, anak Abu Sulaiman ad-Darani (w. 215 H), bibinya yang bernama ‘Abdah lebih zuhud dari ayahnya. Ia mengatakan:


إن عمتي أزهد من أبي، يعني عبدة


Sesungguhnya bibiku (jauh) lebih zuhud dari ayahku, yaitu (bibi) ‘Abdah” (Imam al-Hafidh Ibnu ‘Asakir, Tarîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, juz 69, h. 262).


Sebagai saudara perempuan Abu Sulaiman ad-Darani, seorang wali dan ulama besar di zamannya, ‘Abdah dan Aminah memiliki penguasaan ilmu agama yang luas. Kata-katanya cukup sering dikutip oleh Imam Abu Sulaiman ad-Darani. Salah satunya adalah:


حكي أحمد بن أبي الحواري، عن أبي سليمان، قال: سمعت أختي آمنة تقول: الفقراء كلهم أموات إلا من أحياه الله بعز القناعة والرضا بفقره


Dikisahkan oleh Ahmad bin Abi al-Hawari, dari Abu Sulaiman (ad-Darani), ia berkata: “Aku mendengar saudara perempuanku, Aminah, berkata: “Orang-orang fakir semuanya mati kecuali orang yang Allah hidupkan dengan kemuliaan qana’ah dan kerdihaan dalam kefakirannya” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, h. 412).


Perkataan di atas harus dipahami sebagai perilaku aktif yang penuh kepasrahan, gabungan dari qanaah (sikap merasa cukup/bersyukur atas segala pemberian Tuhan) dan ridha (sikap rela, senang dan tidak keberatan), bukan pasif tanpa berbuat apa-apa. Penjelasan sederhananya begini. Setiap usaha yang kita lakukan harus dipayungi dan dialasi oleh kepasrahan. Dengan demikian, kata “gagal” dan “sukses” bukan lagi sebagai tanda pemisah. Karena pada hakikatnya, kita telah berpasrah diri sebelum berusaha, sehingga ketika usaha yang kita lakukan, dalam pandangan umum dianggap “tidak berhasil” atau “gagal”, hati kita tetap ringan.


Ini bukan berarti Aminah binti Ahmad menghendaki manusia untuk gagal, tidak. Malah sebaliknya, ia menghendaki manusia untuk tidak terpasung oleh kata “gagal”. Bagi orang yang kepasrahannya telah memuncak, ia tak akan pernah takut dengan kegagalan dan keberhasilan. Dengan kata lain, ia sudah siap untuk gagal, sebagaimana ia sudah siap untuk berhasil. 


Orang-orang yang kepasrahannya sudah menjadi alas dan payung hidupnya, mereka akan terus maju dan berjuang. Karena mereka tahu, bahwa mereka benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Apakah mereka akan gagal lagi, atau kali ini mereka berhasil. Mereka tidak tahu, sehingga mereka memaknai “ketidaktahuan” ini sebagai gelanggang usaha tanpa henti. Selalu mencoba dan berupaya (optimis). Bayangkan jika manusia mengetahui apa yang akan terjadi kepada mereka, bahwa ia akan begini atau begitu. Hal itu akan membuat mereka malas dan merasa sia-sia untuk melakukan sesuatu, dengan berkata, “toh akhirnya saya seperti ini, ngapain juga susah-susah.”


Aminah binti Ahmad sebenarnya sedang mengajarkan qana’ah kepada manusia, terutama orang-orang yang selalu merasa kurang, bahwa qana’ah memperkaya hati manusia, dan meluaskan ruangannya. Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas mengatakan:


القناعة مال لا نفاد له


Qana’ah adalah harta yang tak pernah habis” (Imam Ibnu Abdi Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983, juz 3, h. 59).


Abu ‘Amr Kultsum bin ‘Amr al-‘Itabi (w. 220 H), seorang sastrawan di era Daulah Abbasiyyah, dalam salah satu bait syairnya mengatakan:


ولو قَنِعْتُ أتاني الرزق في دعةٍ ۞ إن القنوع الغِنَي, لا كثرة المال


Andai aku puas menerima (qana’ah), rezeki mendatangiku dengan nyaman. Seungguh, qana’ah adalah kekayaan, bukan banyaknya harta benda” (Imam Ibnu Abdi Rabbih, al-‘Iqd al-Farîd, 1983, juz 3, h. 59).


Singkatnya, dengan qana’ah dan ridha, hati manusia, meskipun ia fakir, akan tetap hidup (optimis). Persangkaannya akan selalu baik (husnudhan). Daya kreatifnya tidak akan mati. Depresi dan frustasi akan jauh darinya. Tidak mudah dimatikan oleh keputus-asaan, apalagi sampai menyalahkan Tuhan. Lagi pula, Allah memberikan garis start yang sama untuk semua manusia. Artinya, semua manusia memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan “izzul qana’âh (kemuliaan/kekuatan qanaah) dan ar-ridlâ bi faqrihi (ridha atas kefakirannya). Pertanyaannya adalah, apakah mereka mau menerimanya atau tidak?


Di lain waktu, saudara perempuannya yang lain, ‘Abdah binti Ahmad, mengurai efek zuhud terhadap pengamalnya. Ia berkata:


الزهد يورث الراحة في القلب، وسخاء النفس بالمال


Zuhud itu mendatangkan kenyamanan dalam hati, dan kedermawanan jiwa dengan harta” (Imam Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa Yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, h. 412).


Zuhud adalah ilmu rasa. Dibutuhkan pelatihan dan pendidikan panjang untuk mengamalkannya. Bagi para pengamalnya yang telah akrab, zuhud menyamankan hati mereka, dan mendermawankan jiwa mereka. Kenyamanan hati, secara sederhana, bukan berarti hilangnya cemas sama sekali, melainkan pengetahuannya tentang bahaya cemas yang berlebihan, membuat kesadaran dan kepasrahan hatinya kepada Tuhan meningkat, sehingga kecemasan tidak lagi mudah menguasai hati seperti sebelumnya.


Zuhud juga mendatangkan kedermawanan diri. Seorang zahid telah mendidik hatinya untuk lebih jernih dan kuat. Mengambil alih kekuasaan dari ketamakan, dan meluaskan otoritasnya. Menjadikan kedermawanan dan kemurahan hati sebagai pengambil efektif kebijakan, sehingga seluruh anggota tubuh mendengar dan melaksanakannya. Dengan kata lain, pihak yang beroposisi (ketamakan), suaranya jauh lebih kecil dari kedermawanan dan kemurahan hati. Akibatnya, orang yang zuhud begitu mudah mendermakan hartanya, sebagaimana kisah-kisah para sufi yang hanya menjadi penyalur harta, bukan penyimpannya, karena mereka selalu memberi tanpa takut menjadi miskin.


Dengan mengatakan ini, tampaknya ‘Abdah binti Ahmad menginginkan manusia agar dapat menikmati hidupnya dengan cara yang baik, salah satunya dengan mengamalkan zuhud. Sebab, kenyamanan hati dan kedermawanan jiwa adalah dua hal yang dapat membebaskan manusia dari kekhawatiran hidup yang berlapis-lapis. Paling tidak, kekhawatiran itu menjadi ringan dengan mempraktikkan zuhud dalam kehidupan sehari-hari. 


Mengenai kapan ‘Abdah dan Aminah wafat, tidak diketahui secara pasti. Imam Abu ‘Abdurrahman al-Sulami dan Imam Ibnu ‘Asakir tidak mencatatnya di kitab mereka. Yang pasti keduanya hidup di era yang sama dengan Abu Sulaiman ad-Darani dan Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230-an H).


Wallahu a’lam bish-shawwab...

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen