Fragmen

Usep Romli HM dan Kesaktian Banser

Jum, 10 Juli 2020 | 16:55 WIB

Dua hari lalu, Usep Romli HM (1949-2020) meninggal dunia. Ia adalah seorang penulis yang produktif. Tulisannya  ribuan judul dalam bahasa Indonesia dan Sunda dalam kategori sastra, laporan jurnalistik, artikel keislaman. PBNU pernah menganugerahinya dengan Hadiah Asrul Sani (2014) pada kategori Kesetiaan Berkarya. 

 

Berkat konsistensinya berkarya, Usep meraih beberapa penghargaan, di antaranya Hadiah Mangle (1977), Hadiah Penulisan Buku Depdikbud (1977), Piagam Wisata Budaya Diparda Jabar (1982) serta Hadiah Sastra LBSS (1995). Juga anugerah Rancage (2010) untuk kategori karya, yaitu buku Sanggeus Umur Tunggang Gunung; dan Rancage kategori jasa (2011). 

 

Di samping aktivitas dan capaiannya dalam berkarya, mungkin tak pernah banyak yang tahu Usep Romli HM pernah menjadi seorang anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Soal ini ia menceritakannya dalam tulisan yang pernah dimuat NU Online. Tulisan itu mengisahkan pengalaman pribadinya semasa NU menjadi partai politik, pada awal pemerintahan Presiden Suharto.

 

Pada pemilu 1971, Usep Romli HM ikut di acara kampanye Partai NU di kawasan Cibugel, Kabupaten Sumedang yang berbatasan dengan Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut.


“Saya bertugas mengawal KH Subki (Syuriah NU Kabupaten Sumedang), KH Hafidz Utsman (Caleg NU untuk DPRD Provinsi Jabar),” ungkapnya. 


Usep menggambarkan suasana di lapangan saat itu begitu menegangkan. Bintara pembina desa (Babinsa) dibantu belasan Hansip mencoba untuk membubarkan warga NU yang sudah berkumpul. Tapi warga NU menolaknya. Terjadi keributan. 


“Saya diperintahkan oleh Pak Hafidz untuk menenangkan massa. Saya datangi Babinsa dan Komandan Hansip. Tanpa bicara sepatah pun, saya tatap mata mereka tajam-tajam. Mula-mula mereka berani melotot. Tapi lama-lama tak tahan juga melawan tatapan mata saya yang sudah disepuh “kanuragan”,” ungkapnya. 


Akhirnya, orang-orang yang akan membubarkan warga NU itu keluar dari kerumunan massa. Namun, mereka tidak pergi, melainkan berkumpul di bawah pohon di pinggir lapangan. Sementara itu, kampanye Partai NU pun dimulai oleh KH Subki. Setelah itu KH Hafidz Utsman. Namun, baru beberapa menit Kiai Hafidz berpidato, sebuah batu sebesar kepalan tangan, melayang ke panggung. Jatuh tak jauh dari kaki Kiai Hafidz. 


“Saya segera naik. Membuka jaket Banser yang berwarna loreng hitam hijau. Bersiap menadah lemparan batu. Betul saja. Sebuah batu melayang lurus ke arah Pak Hafidz. Saya kibaskan jaket. Batu itu kembali terpental ke arah semula. Duk, tepat mengenai kening pelemparnya. Ia terjengkang. Dahinya mengeluarkan darah. Cepat diangkat oleh beberapa orang Hansip,” ceritanya. 


Lemparan batu ternyata tak berhenti. Datang lagi lemparan batu lain. Kembali Usep mengibaskan jaket Banser-nya. Kembali batu itu menimpa kepala pelemparnya. Begitu terus. Selama Pak Hafidz berpidato tak kurang dari lima kali lemparan batu. Dan lima orang pelempar terjungkal. Kepalanya benjol sebesar kepalan tangan. 


Namun, menurut Usep, mereka seperti tak kehabisan akal untuk menghentikan acara kampanye itu. Mereka tetap mengganggunya. 


“Selesai Pak Hafidz berpidato, tiba-tiba melayang sebuah bungkusan daun diikat tali bambu. Saya hadang dengan kebutan jaket. Bungkusan itu balik kembali ke arah pelemparnya. Brak, bungkusan hancur lebur. Isinya ternyata kotoran kerbau. Muncrat ke mana-mana setelah pecah di atas kepala pelemparnya,” ceritanya. 


Beberapa warga NU peserta kampanye kebagian cipratan cairan hijau berbau busuk itu. Mereka menjerit sambil berlarian. Untung kampanye sudah selesai. 


Meski mendapat gangguan, Partai NU berhasil mendudukkan calon-calonnya. Meski tentu saja tidak maksimal. Pak Hafidz, berhasil duduk menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (1971-1977) bersama tujuh caleg NU lainnya. 


Kemudian pada pemilu berikutnya, NU berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). KH Hafidz Utsman menjadi anggota DPR-RI Fraksi PPP. Dari dapil Jabar, PPP mendapat 14 kursi. Delapan kursi diisi wakil NU. 


Usep Romli HM juga pernah menceritakan dirinya sebagai seorang Banser kepada Iip Dzulkifli Yahya, penulis buku Rais Aam PBNU KH Ilyas Ruhiat dengan judul Ajengan Cipasung, saat menyambangi kediamannya di Cibiuk, Kabupaten Garut. 


"Bejakeun ka Edi, seragam Banserna diantos (katakan kepada Edi, seragam Banser-nya ditunggu, red.)," ujarnya menyebut nama seorang pengurus Ansor. 


Menurut Iip, Banser dan Ansor bagi Usep seolah menjadi puncaknya sebagai aktivis NU. Usep mengalami pergolakan di lapangan yang memperhadapkan Ansor-Banser dan Pemuda Rakyat pada masa Orde Lama serta pemilu pada masa Orde Baru. 


Menurut Iip, dalam NU, Usep selalu mengenang gemblengan lahir-batin dari Abuya Prof. KH Anwar Musaddad dan para kiai yang lain. Kiprahnya di NU terus berlanjut di LTN PWNU Jabar (1996-2001) juga di DPW PKB Jabar (1998-1999).


Masih menurut Iip, terkait dengan dirinya sebagai Banser, Usep menceritakan satu cerita. Suatu ketika di tahun 1996, Usep diundang sebagai narasumber kdi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN 'SGD' Bandung. Seusai acara, ia mengalami kecelakaan mobil jip yang dinaikinya di perempatan Samsat Jl. Soekarno-Hatta, Bandung. Mobilnya berguling-guling karena masuk ke pembatas jalan yang memang sering "menjebak' jika tidak hati-hati. 


"Sesa-sesa gemblengan waktu jadi Banser, sihoreng aya keneh. Alhamdulillah, Akang ditangtayungan keneh ku Allah." Sisa-sisa gemblengan saat menjadi Banser ternyata masih ada. Alhamdulillah saya masih dilindungi Allah”, katanya sambil terkekeh. 


Penulis: Abdullah Alawi 
Editor: Alhafiz Kurniawan