Sosok Nyai Halimah, Ibunda KH Hasyim Asy’ari
NU Online · Selasa, 18 Februari 2020 | 05:33 WIB
Dari garis keturunan ibunya itu, Agus Sunyoto (2017) mencatat bahwa KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan yang kedelapan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya atau yang lebih kita kenal sebagai Jaka Tingkir. Dari kakek, ayah, dan ibunya, Kiai Hasyim Asy’ari memperoleh pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Halimah merupakan puteri dari Kiai Usman dan Nyai Lajjinah (baca Layyinah). Kiai Usman merupakan Pengasuh Pondok Nggedang Jombang, tempat belajar Kiai Asy’ari.
Solichin Salam dalam KH Hasjim Asj’ari: Ulama Besar Indonesia (1963) menjelaskan, Nyai Halimah terlahir bernama Puteri Winih yang berarti benih pada tahun 1268 H bertepatan dengan 1851 M. Nyai Halimah mempunyai 4 saudara yaitu Muhammad, Leler, Fadil, dan Ny Arif.
Diungkap oleh Solichin Salam (1963) bahwa Kiai Usman adalah salah seorang kiai terkenal dan besar pengaruhnya. Dalam perkawinannya dengan Lajjinah, putera-puteranya seringkali meninggal pada masa kanak-kanak. Sampai pada akhirnya Kiai Usman dianugerahi Allah SWT Puteri Winih. Tapi kemudian puteri Winih diubah namanya menjadi Halimah.
Nyai Lajjinah, ibunda Halimah adalah puteri dari Nyai Sichah binti Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pengeran Sambo (Samhud Bagda) bin Pangeran Benowo (Syekh Abdul Halim) bin Jaka Tingkir (Syekh Abdurrahman) bin Raden Brawijaya VI atau Lembupeteng. (Solichin Salam, 1963: 21)
Suatu waktu Kiai Usman mempunyai seorang santri bernama Asy’ari, berasal dari Kota Demak. Saat itu sudah agak lama pemuda Asy’ari menjadi santri di Pondok Nggedang. Kecerdasan dan kecakapan Asy’ari membuat Kiai Usman tertarik kepadanya untuk dijadikan menantu.
Akhirnya, pemuda Asy’ari dinikahkan oleh Kiai Usman dengan puterinya, Halimah. Dari pernikahannya itu, pasangan Asy’ari dan Halimah dianugerahi 11 orang anak yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Muhammad Hasyim, Radiah Hasan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Ahmad Baso (2016) mencatat bahwa Nyai Halimah dikenal suka melakoni tirakat dan praktik sufi lainnya–mengikuti jejak ayahnya, Kiai Usman. Beliau pernah berpuasa selama tiga tahun berturut-turut dengan niat tertentu.
Puasa tahun pertama ditujukan untuk kebaikan keluarga, tahun kedua diniatkan untuk kebaikan santrinya. Dan puasa tahun ketiga dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Penulis: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua