Fragmen

Seputar Muktamar NU di Solo

Sel, 26 Februari 2013 | 13:40 WIB

Solo, NU Online
Kota Surakarta atau biasa lebih dikenal dengan nama Kota Solo, tercatat sudah dua kali menjadi arena Muktamar Nahdlatul Ulama (NU). 
<>
Bisa juga dikatakan tiga kali, akan tetapi yang terakhir pada tahun 2004, Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan masuk dalam wilayah Kab. Boyolali.

Penyelenggaraan yang pertama, terjadi pada 13-19 April 1935/10-15 Muharram 1354. Jumlah anggota NU yang terdaftar sampai muktamar ini adalah 68.000 orang dari 68 cabang se-Indonesia. 

Pada Muktamar NU yang kesepuluh tersebut, selain masalah-masalah organisasi dan hukum-hukum agama, juga dibahas masalah penggunaan pesawat radio dan aneka ragam kesenian. Juga membuat resolusi menentang kebijaksanaan Belanda tentang pengangkatan pejabat Belanda yang mengurus soal agama Islam.

Sidang tanfidziyah dipimpin oleh KH Mahfud Shiddiq, sedang Syuriah dipimpin tiga ulama terkemuka, yaitu KH Wahab Hasbullah, KH R. Mohammad Adnan, dan KH Bisri. Ulama yang masyhur pada saat itu juga hadir dari pelbagai daerah, antara lain H Masyhud, KH Dimyati, K Abu Amar, KHR Asnawi, Mohammad Sutisnasenjaya, dan KH Fakih.

Di antara hasil keputusan muktamar ini adalah pernyataan menyokong berdirinya “Madrasah Mamba’ul Ulum” yang didirikan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, sebagai salah satu usaha untuk mencetak kader ulama. 

Penutupan Muktamar kesepuluh dilangsungkan di Masjid Agung Surakarta dengan Pengajian Akbar yang diisi oleh KH Fakih dari Gresik Jawa Timur.

Pada penyelenggaraan yang kedua di Solo, 25-29 Desember 1962 bertepatan dengan 29 Rajab-3 Sya’ban 1382 H, mulai muncul suara-suara yang menghendaki NU tak lagi menjadi partai politik dan kembali menjadi jam’iyyah diniyyah. Pertentangan di kalangan tokoh-tokoh NU mulai memprihatinkan kalangan ulama. Akan tetapi setelah mengalami pelbagai macam hal, khittah NU ini baru terwujud pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo. (Ajie Najmuddin)