Fragmen

Saat Para Kiai Mendorong Soeharto Mundur

Jum, 29 Januari 2021 | 11:00 WIB

Saat Para Kiai Mendorong Soeharto Mundur

Presiden Soeharto pada saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 21 Mei 1998. (Foto: AP/Charles Dharapak)

Rezim Orde baru pimpinan Soeharto dikenal represif terhadap ulama, terutama ulama pesantren. Masa Orde Baru juga masa di mana ulama “dikebiri” secara sosial maupun secara politik. Ulama harus menerima program-program pemerintah, jika tidak ancaman kekerasan, pengucilan hingga pemenjaraan pun di depan mata.


Marjinalisasi yang dilakukan Soeharto tidak membuat ulama pesantren gentar. Karena prinsip kemandirian dan keteguhan senantiasa menjadi pegangan para ulama sejak zaman penjajahan. Justru para ulama dengan prinsip perjuangan kemanusiaan terus melakukan perlawanan terhadap rezim korup dan tidak demokratis di era Soeharto.


Pada era 1980 hingga 1990-an, tokoh NU yang getol melawan rezim Soeharto adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Bahkan di ruang publik maupun di media massa, Gus Dur dengan pemikiran-pemikirannya yang progresif kerap mengkritik Soeharto yang dinilainya mematikan demokrasi dan sering melakukan pembungkaman.

 


Namun pada akhirnya, kepemimpinan Soeharto berada di ujung tanduk karena terjadi krisis ekonomi pada 1997. Di saat itulah beberapa ulama atau kiai mendorong suksesi Orde Baru untuk mengakhiri rezim korup Orde Baru.


Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat bahwa melihat situasi sosial yang semakin anarkis dan situasi politik yang semakin kacau, kalangan ulama NU mengadakan pertemuan di Pesantren Langitan, Jawa Timur. Mereka sependapat bahwa situasi kacau ini harus segera diakhiri.


Sementara pemerintahan yang berkuasa, Presiden Soeharto dinilai telah tidak lagi mampu menguasai keadaan. Ini berarti pemimpin tidak bisa lagi mengemban amanah kepemimpinan sebagaimana dimandatkan. Dalam keadaan begini, sebagai pemimpin, Soeharto segera disarankan untuk mengundurkan diri.

 


Pemikiran itu disepakati oleh hampir semua ulama yang hadir, antara lain Kiai Idris Marzuki, Kiai Abdullah Fakih, Kiai Sholeh Qosim, Kiai Muchit Muzadi dan sebagainya. Hanya Kiai Maimoen Zubair dari Sarang yang menolak keputusan itu, dengan alasan presiden sebagai waliyul amri tidak bisa dimakzulkan di tengah jalan begitu saja, kecuali dengan tegas menyatakan ketidaksanggupannya.


Para ulama lain menilai, pemikiran Kiai Maimoen itu fiqih sentris yang tidak mempertimbangkan illat (sebab-sebab) sosial dan politik yang melingkupinya. Sementara para ulama yang lain melihat bahwa ke-mudhorot-an (bahaya) yang ditimbulkan seandainya Soeharto masih berkuasa akan lebih besar, selain rakyat tidak lagi menghendaki karena dianggap korup, zalim, represif dan sebagainya. Soeharto juga terbukti tidak lagi mampu menguasai keadaan, bahkan para pendukungnya sendiri sudah mulai menjauh.


Kalau ini dibiarkan maka akan menimbulkan kekacauan bahkan akan muncul konflik yang lebih besar. Pendapat Kiai Maimoen tidak memperoleh dukungan, sehingga keputusan awal yang disepakati. Akhirnya diambil beberapa langkah.

 

Pertama, para ulama NU akan segera mengirim utusan menemui Presiden Soeharto agar segera mengundurkan diri demi kemaslahatan dan keselamatan bangsa.


Kedua, para santri dan kaum muda NU tidak lagi diperkenankan untuk turut berdemonstrasi agar tidak menambah kekeruhan, menimbulkan kerusuhan, dan keruwetan.

 

 

Walaupun diakui bahwa kelompok muda NU menjadi penggerak utama dalam demonstrasi mahasiswa di bawah bendera Forkot dan Famred. Keputusan itu sengaja tidak ditulis, karena akan disampaikan secara lisan agar lebih efektif, dan tidak disabotase di jalan.


Pada 20 Mei 1998 subuh dini hari, para ulama dari Jawa Timur telah datang ke Jakarta dan berkumpul di Kantor PBNU Jalan Kramat Raya 164. Dengan perasaan berdebar, para ulama ini akan menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang otoriter.


Mereka sudah bisa membayangkan akan mendapatkan tantangan dari Soeharto, setidaknya akan dimarahi atas kelancangannya dan keberaniannya menyuruh sang penguasa itu mengundurkan diri. Tetapi kebenaran harus disampaikan dengan risiko apapun. Tugas itu harus dilaksanakan demi umat, negara dan bangsa, sehingga mereka bertekad akan menyampaikan amanah tersebut.


Namun, setelah sampai di PBNU untuk menyampaikan amanat pertemuan di Pesantren Langitan, para kiai mendapati informasi bahwa Soeharto akan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Sehingga para kiai tersebut tidak perlu susah payah untuk meminta Soeharto mundur.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon