Fragmen

Rahasia Kiai Wahab Menjadi Aktivis

Sel, 8 Desember 2015 | 08:08 WIB

Tahun 2015 ini menjadi tahun suksesi kepemimpinan dalam tubuh NU, mulai PBNU, Fatayat, GP Ansor, IPNU, dan IPPNU. Tentu saja ini membahagiakan, karena stok kader NU masih melimpah. Pucuk pimpinan di semua lini bisa terisi dengan baik, walaupun dalam prosesnya tidak sedikit timbul perbedaan pendapat. Sudah wajar, apalagi dalam NU.<>

Mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan NU sejatinya adalah kader-kader terbaik yang sudah mendapatkan “takdir” untuk berjuang di NU. Semuanya adalah para aktivis yang akan menentukan arah masa depan NU dan bangsa. Untuk itu, jiwa aktivisme mereka tak boleh luntur, harus selalu menyala untuk membangun dan meneguhkan peradaban Indonesia dan dunia.

Dari sini, para aktivis NU harus kembali mengingat dan mengembalikan “khittah” aktivisnya kepada KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab inilah aktivis tulen yang meletakkan dasar-dasar berorganisasi di NU. Sejak usia 13 tahun, ketika Wahab mulai “merantau” dari satu pesantren ke pesantren lain, jiwa aktivis sebenarnya sudah merasuk kuat dalam dirinya. Ketika memantapkan diri keluar dari kampung halaman, Wahab memulai petualang aktivis santri yang selalu bergerak tanpa henti. Di setiap pesantren, Wahab menemukan teman baru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Jiwa aktivis selalu merasa “gelisah” dengan berbagai fenomena baru, termasuk teman baru apalagi yang berasal dari daerah lain. 

Petualangan menjadi aktivis sebenarnya mulai terasa ketika Wahab nyantri di Pesantrennya KH Kholil Kademangan Bangkalan. Pesantren Kademangan saat itu menjadi pusat pergerakan santri tingkat nasional. Hampir semua santri, bahkan kiai, merasa ingin belajar di Bangkalan. Keilmuan dan karomah KH Kholil yang terdengar luas sampai internasional menjadi magnet tersendiri, sehingga semua orang berlomba mendapatkan berkah ilmunya KH Kholil. Disinilah, Wahab hadir menjadi santri yang berinteraksi dengan banyak kalangan. Terbukti, ia bertemu dengan KH Bisyri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Abdul Karim, yang kelak menjadi pejuang bersama dengannya.     

Jalan hidup menjadi aktivis pergerakan semakin kuat dalam dirinya ketika bertemu dengan KH Kholil Bangkalan. Saat itu, KH Kholil tiba-tiba memanggil para santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah KH Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya: 

“Hai para santri, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru KH Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan KH Kholil tersebut, kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke KH Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.

Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam KH Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah KH Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri KH Kholil. Pemuda bernama Abdul Wahab sangat bahagia, karena sang guru sudah menerimanya. 

KH Kholil memang dikenal kiai dengan segudang karomah, sehingga diburu para santri. Memberi julukan “macan” terhadap santri bernama Abdul Wahab mengindikasikan bahwa sang santri kelak akan menjadi “macan”. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang membekas dalam diri Wahab. Menjadi “macan” dalam dunia aktivisme seorang Wahab seolah restu dari sang guru yang sangat dihormatinya. Wahab semakin teguh pendiriannya untuk menjadi santri aktivis yang berjuang membela bangsa dan negara. 

Jiwa aktivisme semakin kuat tatkala Wahab belajar di Tebuireng dibawah asuhan KH Hasyim Asy’ari, seorang murid KH Kholil Bangkalan yang memperoleh reputasi tinggi karena pemikirannya yang teliti, kesalehan, dan kedalaman pengetahuannya mengenai hukum Islam dan hadits. Jiwa aktivis Wahab terasah ketika menjadi lurah pondok, sebuah kepercayaan sangat bergengsi dari KH Hasyim Asy’ari. Posisi lurah menjadikan Wahab harus menjalankan roda kepengurusan pesantren dengan segala kegiatan yang melingkupinya. Ia kemudian terlibat banyak dalam diskusi/musyawarah dengan para santri senior. Ketika diskusi inilah, ketika para santri menyiapkan argumen berdasarkan teks dalam kitab-kitab kuning, Wahab lebih mendukung solusi yang praktis dan kontekstual dalam menerapkan hukum Islam. 

Wahab muda, dengan jiwa aktivismenya, menunjukkan kepribadiannya yang teguh memegang prinsip, tetapi pada saat yang sama juga realistis dalam memandang dan menganalisis persoalan. Ia seringkali mendapatkan kritik dari teman-temannya, khususnya KH Bisri Syansuri, termasuk juga gurunya, KH Hasyim Asy’ari. Meski sering dibantah teman dan gurunya, Wahab tetap teguh dengan pandangan-pandangannya.

Kiai Wahab, dalam jejak hidupnya, akhirnya menjadi lurah di NU (Rais Aam). Pondasi sebagai lurah ia dapatkan dari Pesantren Demangan dan Pesantren Tebuireng. Inilah pondasi yang kuat. Menjadi aktivis berkat doa dan restu para kiai, bukan berdasarkan ambisi dan kursi, apalagi kepentingan sesaat. 

Sekarang para lurah sudah berdiri di lingkungan NU, mulai PBNU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU. Kalau meneladani semangat menjadi lurah yang sejati, Kiai Wahab adalah inspirasi yang sangat tepat. Mau dibawa kemana ke depan, tentu saja kisah Kiai Wahab menjadi salah satu rujukan yang sangat menarik. 

Muhammadun, aktif di LTN PWNU DIY.

Foto: KH Abdul Wahab Chasbullah (kanan) bersama KH Bisri Syansuri dalam sebuah kesempatan bersama warga.