Fragmen

Pidato Gus Dur saat Mahbub Djunaidi Wafat

Ahad, 28 Juli 2019 | 09:00 WIB

Pidato Gus Dur saat Mahbub Djunaidi Wafat

Mahbub Djunaidi (Historia)

KH Abdurrahman Wahid dan Mahbub Djunaidi merupakan dua sahabat. Karena Mahbub lebih tua, terpaut tujuh tahun, Gus Dur memanggilnya Kak Abu. Persahabatan keduanya merupakan lanjutan dari persahabatan ayah mereka berdua, yaitu KH Wahid Hasyim dan KH Moh. Djunaidi ketika mengurus NU dan Departemen Agama.

Gus Dur dan Mahbub, dua-duanya terampil menulis, pemikir, senang guyon, dan sama-sama aktivis NU.Karena sama-sama pemikir, keduanya kerap berbeda pandangan. Karena dua-duanya penulis pandangan masing-masing disampaikan di koran. Kadang ejek mengejek secara halus terjadi. Misalnya ketika Gus Dur memperkenalkan pesantren sebagai subkultur, Mahbub Djunaidi mengomentarinya bahwa istilah itu kurang cocok karena biasanya disematkan kepada kalangan hippies di Barat sana. 

Di kesempatan lain, dalam pengantar buku Gus Dur, Melawan dengan Lelucon, yang diterbitkan Tempo, Gus Dur menulis tentang Filipina. Dua hari kemudian, tulisannya ditebang Mahbub Djunaidi di Harian Kompas. Mahbub memang pernah menulis panjang tentang Filipina melalui buku Pergolakan Islam di Filipina. Di sisi lain, dibandingkan Gus Dur, Mahbub adalah orang koran yang mempunya banyak kliping data. 

Kabar tulisannya dihajar Mahbub Djunaidi disampaikan orang kepada Gus Dur. Bukan marah apalagi akan membalasnya, Gus Dur malah mengatakan, saya ngomong apa, dia (Mahbub) ngomong apa. Saya ke kanan, dia kiri. Begitu kira-kira. 

Di NU sendiri kedua sahabat ini sering berbeda pendapat. Misalnya soal khittah NU 1926. Jika Gus Dur tidak ada embel-embelnya, Mahbub Djunaidi menambahkannya, menjadi khittah plus. 

Ketika Mahbub Djunaidi meninggal, dia tak sempat datang bertakziah. Namun, pada hari keempat puluh, Gus Dur datang bersama Said Budairy, dan KH Yusuf Hasyim. Dalam kesempatan itu, Gus Dur berpidato, yang dimuat Harian Pikiran Rakyat. Berikut kutipan, pidato Gus Dur yang dikutip dari artikel milik Umar Said:

”Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis, dan rekan bergaul yang kerapkali kocak alias lucu. Aset perjuangan Mahbub terhadap bangsa Indonesia cukup banyak dan tergolong besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rakyat kekinian dan di masa mendatang.  Ketika di masa Orde Lama, Mahbub yang waktu itu merupakan guru dan kakak saya di lingkungan anak-anak muda NU, sudah memikirkan tentang suatu masa kelak. Masa yang dipikirkannya dan dimaksudkannya ternyata menjadi kenyataan yakni Orde Baru. Mungkin, dan ini yang kita tidak tahu, ketika beliau masih hidup di masa Orde Baru, tentu sudah memikirkan kelak akan ada masa lain di Indonesia. Bukankah Allah SWT akan mempergilirkan masa. 

Menurut Umar Said, Gus Dur mengatakan, dengan tiadanya Mahbub Djunaidi, bangsa Indonesia sebenarnya kehilangan salah satu putra terbaiknya.  Diharapkannya kelak akan lahir “Mahbub-Mahbub” yang baru yang meneruskan cita-cita dan perjuangannya. Karena itulah, sebenarnya penghargaan yang wajar bagi Mahbub bukanlah sekedar piagam atau bintang jasa. Akan tetapi, peng hargaan dalam bentuk kesediaan segenap bangsa Indonesia melanjutkan pemikiran, cita-cita dan perjuangan almar hum semasa hidupnya. 

”Memang, Mahbub hingga kini tidak pernah menerima bintang jasa apa pun. Mungkin, ini karena kita merupakan suatu bangsa yang tidak bisa dan tidak terbiasa menghargai para pahlawannya. Mahbub sebenarnya layak dapat bintang. Sebagai tokoh jurnalis, dia cukup terkenal. Bahkan selanjutnya menjadi tokoh PWI. Karenanya, kalau waktu itu Mahbub mau ikut “bernyanyi” di masa awal Orde Baru, tentu dia bisa jadi Menpen. Bila dia jadi Menpen, insyaAllah, dia tidak akan terpeleset mengucapkan sesuatu”, ujar Gus Dur. 

“Ketika orang-orang di negeri ini berlomba-lomba mencari dan mempertahankan hidup dengan “cari muka” dan “berbuat tak karuan”, ungkap Gus Dur, “Mahbub justru menunjukkan kepolosan dan usahanya meraih kemajuan dalam hidup dengan ketulusan dan kejujuran. Banyak capaian yang diupayakan Mahbub yang tergolong penting dan besar bagi bangsa Indonesia (kutipan habis).” (Abdullah Alawi)