Fragmen

Para Kiai Sepuh "Turun Gunung" Jelang Muktamar 1984

Sen, 27 Juli 2015 | 02:30 WIB

Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, para pemimpin NU terbelah dua: kubu Cipete yang bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As'ad Syamsul Arifin. Kubu Situbondo mengadakan Munas, kubu Cipete juga membuat Munas. <>

Situasi seperti itu sudah terasa sepeninggal Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (wafat Jum'at 25 April 1980). Kubu Situbondo atau disebut juga kubu khittah didukung oleh kelompok muda yang sangat aktif di NU seperti Gus Dur.

Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27. Kubu Cipete juga tak kalah menggelar Munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.

Dalam suasana politik represif Orde Baru, waktu itu Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas. Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas, dan bahkan sudah lebih dulu diserahkan kepada pemerintah. Tetapi, pemerintah rupanya lebih menghargai hasil Munas Situbondo karena lebih konseptual, ketimbang Cipete yang cenderung sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah.

Namun setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, akhirnya kedua kubu dikumpulkan dalam sebuah acara ‘tahlilan’ di rumah KH Hasyim Latief, ketua PWNU Jawa Timur di Sepanjang, Sidoarjo (10 September 1984).

Di di rumah KH Hasyim Latief itulah lahir sebuah maklumat bersejarah bernama "Maklumat Keakraban" yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka: KH As'ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma'shum, KH Idham Cholid, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Saifuddun Zuhri, dan KH Achmad Siddiq.

Isi maklumat pada intinya adalah mengakhiri konflik,  saling memaafkan, dan bersepakat untuk menyukseskan muktamar ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Maka, berakhir sudah pertikaian antardua kubu yang berlangsung 3 tahun lebih itu.

Para kiai sepuh merasa terpanggil terjun langsung mengatasi siatuasi kepemimpinan NU. Kemudian muncul pikiran tentang penggantian sistem pemilihan. Pemilihan langsung dalam menentukan Rais Aam diganti dengan sistem musyawarah para kiai seperti awal berdirinya NU yang dinamakan ahlul halli wal aqdi.

Namun dalam sistem ini mutlak diperlukan sosok kiai kharismatik yang bisa menjadi “ahlul aqdi” yang disegani dan dipercaya oleh semua pihak. Beruntung waktu itu ada KH As’ad Syamsul Arifin. Bersama para kiai sepuh lainnya, seperti Kiai Ali Ma’shoem dan Kiai Mahrus Aly, Kiai As’ad memainkan peran dengan sangat baik.

Tidak ada kiai “ahlul aqdi” yang bersedia menjadi Rais Aam. Meraka menyerahkan kepemimpinan organisasi kepada KH Achmad Siddiq.

Muktamar 1984 berlangsung sukses. Kiai As’ad kembali ke pesantrennya di Asembagus. Kiai Mahrus Aly memilih menjadi Syuriyah di Jawa Timur saja. Bahkan Kiai Ali’ Ma’shoem sejak awal tidak pernah mau menjadi Rais Aam. Para kiai sepuh ‘ahlul aqdi” kembali ke masyarakat. (A. Khoirul Anam)

 

*Foto: KH As’ad Syamsul Arifin. Catatan mengena forum keakraban dikutip dari Drs. Choirul Anam (perintis Museum NU di Surabaya).