Fragmen

NU dan Ordonansi Guru

Sen, 25 November 2019 | 14:45 WIB

NU dan Ordonansi Guru

Logo Nahdlatul Ulama. (NU Online)

Nahdlatul Ulama berdiri tidak lepas dari kondisi rakyat Indonesia, khususnya umat Islam yang kala itu dalam belenggu penjajahan Belanda. Menurut Khoirul Anam pada buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan NU, motivasi berdirinya Nahdlatul Ulama juga berkaitan erat dengan bangsa dan agama.  

Berkaitan dengan bangsa, NU berdiri dengan motif menjadi bagian yang berupaya memerdekakan bangsanya. Sementara motif agama, sebagaimana diketahui, penjajah Belanda juga melakukan penyebaran agama Kristen sehingga NU ingin menjaga Islam tetap berada di Indonesia. Di dalam motif beragama ini, NU lebih spesifik ingin mempertahankan ajaran Ahlussunah wal Jamaah yang sudah berlangsung dan hidup subur di masayarkat.

Sebab pada saat itu, umat Islam yang dimotori kalangan modernis sedang gencar mengkampanyekan anti takhayul, bid’ah, khurafat, bahkan anti mazhab. Puncaknya, di tanah Haramain terjadi pembongkaran makam-makam sahabat dan hampir makam Nabi Muhammad. Pada saat bersamaan, kebebasan bermazhab pun akan dihapuskan.

Belanda dan Kebijakan Pendidikan

Pada masa pemerintah kolonial Belanda, mereka mengeluarkan suatu kebijakan untuk memperkuat kekuasaannya. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk mengantisipasi perlawanan dari penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam, contohnya dalam hal ibadah haji. Belanda melakukan pembatasan terhadap orang Islam yang akan menunaikan ibadah haji, bahkan mempersulit dengan berbagai persyaratan untuk kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda sendiri. 

Kebijakan pemerintah lainnya dalam rangka mengurangi keleluasaan Islam di Indonesia adalah ordonansi guru. Ordonansi yang pertama dikeluarkan pada tahun 1905. Melalui ordonansi ini, pemerintah kolonial Belanda mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama Islam. 

Ordonansi kedua dikeluarkan pada tahun 1925, yaitu hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Pada tahun 1925 ini pula pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji. 

Pada saat kedua ordanansi ini dikeluarkan, NU belum lahir. Namun, bibit-bibit kelahirannya sudah muncul sejak 1914 dengan berdirinya Nahdlatul Wathan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Bahkan, penggunaan kata nahdlah pada Nahdlatul Ulama, adalah bentuk tersurat bahwa NU merupakan perjuangan lanjutan dari ulama-ulama yang berlangsung secara berabad-abad sebelumnya. 

Menurut Anisatul Khoir Aprilia pada skripsinya berjudul Peran Nahdlatul Ulama dalam Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1926-1945 di Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember 2017, NU merespons ordonansi guru dengan dengan mendirikan pesantren dan madrasah ataupun sekolah swasta.

Di pesantren dan madrsah itu, selain mengajarkan ilmu agama, NU mengajarkan nasionalisme, sehingga penguatan keislaman dan paham nasionalisme terus dilaksanakan demi menjaga stabilitas perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam pendidikan inilah Nahdlatul Ulama terus berkomitmen dan menunjukkan sikap perjuangan lewat pendidikan dengan terus menambah jumlah pesantren-pesantren dan madrasah di nusantara.

Hal ini dilakukan demi mengimbangi jumlah sekolah buatan Belanda yang hanya diisi oleh kaum bangsawan dan priyayi, serta pendidikan yang isinya tidak memasukkan mata pelajaran agama di dalamnya.

Setelah beberapa tahun berdiri, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, yakni pada tahun 1932. Melalui ordonansi ini izin untuk menyelenggarakan pengajaran bisa ditolak jika terdapat dugaan bahwa pengajaran yang diberikan akan membahayakan pemerintah kolonial Belanda.

Dengan demikian, ordonansi ini sangat jelas bertujuan untuk mematikan semangat nasional yang dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan pada waktu itu. Hanya sebagian kecil saja lembaga-lembaga pendidikan swasta yang memenuhi peraturan ordonansi sekolah liar tersebut, termasuk di dalamnya Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara.

Lathiful Khuluk pada buku Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH Hasyim Asy’ari menjelaskan, NU termasuk organisasi yang menolak Ordonansi Guru. Pada tanggal 21 Mei 1940, PBNU melalui Ketua Umum KH Mahfudz Shiddiq dan Sekretaris Jenderalnya A. A. Diyar mengirim surat keppada pemerintah kolonial Belanda agar jangan memungut pajak kepada madrasah-madrsah NU.

Setelah surat itu, pada 10 Juli 1940 PBNU mengirimkan surat kepada kolonial Belanda untuk mencabut ordonansi guru itu. Di sisi lain, madrasah atau pesantren milik kiai NU, juga tidak mau sumbangan dari kolonial Belanda. Tebuireng misalnya, menolak sumbangan pendidikan Belanda. Bahkan, KH Hasyim Asy’ari menolak hadiah medali dari pemerintah kolonial.

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad