Fragmen

Nobuharo Ono, Perwira Muslim Jepang yang Pandai Berbahasa Jawa

NU Online  ·  Selasa, 20 Februari 2018 | 04:29 WIB

Nobuharo Ono, Perwira Muslim Jepang yang Pandai Berbahasa Jawa

Ilustrasi: KH Hasyim Asy'ari saat ditemui perwira Jepang.

Dalam beberapa catatan sejarah selama Indonesia terjajah, umat Islam khususnya kalangan pesantren kerap bersinggungan dengan penjajah karena sikapnya yang tidak mau takluk begitu saja. Bahkan, pesantren menjadi wadah pergerakan nasional untuk membebaskan diri dari kungkungan penjajahan.

Interaksi kalangan pesantren dengan intensitas cukup masif terjadi saat Indonesia dijajah oleh Nippon atau Jepang. Hal ini disebabkan, Jepang mempunyai perhatian khusus terhadap peran penting tokoh-tokoh Islam di Indonesia.

Untuk menindaklanjuti sorotannya terhadap para kiai dan tokoh umat Islam, Jepang menempatkan sejumlah perwira Muslim untuk menempel para tokoh Islam sebagai agen inteligen Jepang (Beppan). Para intel ini tidak hanya mengawasi gerak-gerik para tokoh Islam, tetapi juga kerap mengikuti forum-forum pengajian.

Salah seorang perwira Muslim Jepang ialah Naobuharo Ono yang mempunyai nama Muslim Abdul Hamid Ono. Ia bertugas mengawasi KH Hasyim Asy’ari yang dianggap oleh Jepang sebagai tokoh Muslim yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia.

Namun seiring berjalannya waktu, Abdul Hamid Ono terkesan dengan kepribadian Kiai Hasyim Asy’ari dan sejumlah kiai lain seperti Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid Hasyim. Meskipun aktivitas intelijen tetap berjalan sebagai tanggung jawabnya melaporkan ke Beppan, Abdul Hamid Ono kerap membantu beberapa diplomasi para kiai dengan para perwira pendudukan Jepang.

Catatan sejarah yang cukup populer, Abdul Hamid Ono membantu Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Chasbullah untuk melakukan diplomasi pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari yang ditangkap Jepang pada tahun 1942 karena dianggap mendalangi pemberontakan di Cukir, Jombang. Padahal tuduhan tersebut tidak benar, Kiai Hasyim Asy’ari tidak tahu-menahu atas kabar pemberontakan itu. Praktis, tuduhan tersebut dibuat-buat oleh Jepang agar bisa menangkap Kiai Hasyim.

Peran penting Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur komunikasi dan diplomasi antara pihak Pesantren Tebuireng dengan para perwira Jepang karena ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Asy’ari. Kala itu, Ono bertugas di Gresik, Jawa Timur, semasa pendudukan Belanda dan sering berkunjung ke Pesantren Tebuireng. (Buku Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 2011)

Hal senada juga dinyatakan oleh H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasjim (2011), yang memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH Wahid Hasyim, putra sulung Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, bersama KH Wahab Chasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. 

Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah Hadratussyekh digelandang dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Di luar aktivitas intelijen dan membantu berbagai diplomasi para kiai dengan pihak Jepang, Abdul Hamid Ono merupakan salah satu intel yang mempunyai sikap santun dan tutur kata yang halus. Karakter inilah yang membedakan dengan para intel lain yang hanya bertugas sesuai tanggung jawabnya.

Sebut saja Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun'im Inada. Nama terakhir punya tugas memepet Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Kala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali disertai Kolonel Horie, perwira Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam di Indonesia. 

Sikap Ono itu pula yang menjadi pertimbangan Kiai Wahid Hasyim untuk selalu percaya kepadanya dalam hal komunikasi dan diplomasi. Abdul Hamid Ono cukup lama menempati Gresik dan menikahi seorang perempuan asal Gresik. Karena asal-usul inilah yang memungkinkan Ono cukup pandai dalam berbahasa Jawa.

Hal ini ditunjukkan ketika ia menemui Kiai Wahid Hasyim sekitar tahun 1943. Saat itu Kiai Wahid sedang berbincang ringan namun serius dengan Kiai Saifuddin Zuhri. Kiai muda asal Sokaraja, Banyumas ini memimpin Ansor Nahdlatul Oelama (NO) dan terbiasa berkoordinasi dengan para kiai dan tokoh nasional dalam memimpin pergerakan nasional.

Kediaman Kiai Wahid Hasyim memang tak pernah sepi tamu. Saat itu menjelang Ashar, para tamu sudah pada pulang. Kiai Wahid sejenak mengajak Kiai Saifuddin Zuhri makan siang. Kebetulan lewat depan rumah abang-abang penjual gado-gado. Mereka berdua makan gado-gado hingga kenyang. (Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)

Usai sembahyang Ashar yang juga diceritakan dalam buku tersebut, datang seorang tamu. Bertubuh padat dan pendek dengan wajah seperti seorang Tionghoa. Dia mengenakan baju jas kuning gading dengan kain sarung dan berpeci hitam. Dia menyeru dengan fasih:

Asslamu’aalikum warahmatullahi wabarakatuh, wilujeng sampeyan, Gus?” sapa tamu ini kepada Kiai Wahid Hasyim dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur.

Kulo Abdul Hamid Ono,” ucap dia memperkenalkan diri kepada Kiai Saifuddin Zuhri.

Kiai Saifuddin Zuhri sendiri segera teringat nama seorang Jepang yang bertugas mendampingi atau lebih tepatnya mbayang-mbayangi Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahid Hasyim. “Oh...ini dia orangnya!” batin Kiai Zuhri.

Kulo wau langkung mriki, tasih kathah tamu (saya tadi lewat sini, masih banyak tamu),” ucap Abdul Hamid Ono.

Konco-konco sami kepengin pinanggih kulo,” jawab Kiai Wahid Hasyim bahwa mereka itu teman-teman yang juga ingin menjumpainya menunjuk kepada para tamu yang sudah pada pulang.

(Fathoni Ahmad)