Kota Surakarta atau yang akrab dikenal masyarakat pada umumnya dengan sebutan Kota Solo, memiliki kaitan penting dalam sejarah awal terbentuknya organisasi pelajar NU, baik Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) maupun Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).Ā
Bagi IPPNU misalnya, Kota Solo bisa dikatakan sebagai daerah embrio berdirinya organisasi pelajar putri NU itu. Beberapa tokoh pendiri, yang kemudian juga menjadi ketua umum seperti Umroh Mahfudzoh, Basyiroh Shoimuri dan lain sebagainya mendirikan organisasi yang kala itu bernama IPNU puteri, saat mereka masih menjadi santriwati di Pondok Pesantren Al-Masyhudiah Keprabon Solo. Kota Solo pula yang kemudian dijadikan sebagai pusat kedudukan organisasi.Ā
Sedangkan bagi IPNU, Kota Bengawan menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Panca Daerah (Konferensi Segi Lima) pada 30 April-1 Mei 1954. Pertemuan yang diikuti perwakilan dari lima daerah, yakni Yogyakarta, Solo, Semarang, Jombang, dan Kediri ini sebagai tindak lanjut setelah disahkannya pendirian IPNU tanggal 24 Februari 1954 pada Konferensi Nahdlatul Ulama Maāarif di Semarang.
Beberapa tokoh perwakilan yang hadir dan kemudian dikenal sebagai Tokoh Angkatan ā54 yaitu Moh. Tolchah Mansoer, M. Djamhari AS, Ach. Alfatih AR (Yogyakarta), M. Shufyan Cholil, Sochib Bisri (Jombang), Mustahal Ahmad (Solo) dan Abdul Ghony Farida (Semarang), Asmuni Iskandar (Kediri), Abd Chaq, dan nama-nama lainnya.
Ā
Menurut KH Abdullah Asy'ari, yang pernah menjadi pengurus IPNU Kota Surakarta di tahun 1960-an, konferensi tersebut dilangsungkan di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta.
"Lokasinya dulu di Madrasah Mambaul Ulum," kenang sesepuh NU Surakarta itu saat diwawancarai NU Online di kediamannya.
Di salah satu ruang kelas di sekolah yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung Surakarta itulah dilakukan konsolidasi organisasi yang menghasilkan rumusan asas organisasi, yakni ahlussunah wal jama'ah, tujuan organisasi, yaitu mengemban risalah Islamiyah, mendorong kualitas pendidikan, dan mengkonsolidir pelajar.
Keputusan yang tak kalah penting dari pertemuan perwakilan dari lima daerah tersebut, yaitu menetapkan Moh. Tolchah Mansoer sebagai ketua umum pertama, serta menjadikan Yogyakarta sebagai pusat kedudukan organisasi. (Ajie Najmuddin)
Sumber:
1. Wawancara KH Abdullah Asyari, Februari 2017.
2. Caswiyono, dkk, "KH Moh Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan", Pustaka Pesantren (2009).