Fragmen

Mengungkap Kurikulum Madrasah Nahdlatul Wathan Kiai Wahab

Kam, 6 April 2017 | 03:29 WIB

Mengungkap Kurikulum Madrasah Nahdlatul Wathan Kiai Wahab

Gedung Nahdlatul Wathan di Surabaya.

Sepuluh tahun sebelum dideklarasikan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), Nahdlatul Wathan (Pergerakan Cinta Tanah Air) resmi mendapatkan Rechtspersoon (badan hukum) pada 1916 sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk menggembleng nasionalisme para pemuda. Nahdlatul Wathan digawangi oleh KH Abdul Kahar sebagai Direktur, KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan), dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.

Nahdlatul Wathan merupakan upaya Kiai Wahab dan kawan-kawan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan yang kuat di dada para pemuda melalui pendidikan. Berangkat dari misi besar tersebut, Kiai Wahab menciptakan syair Ya Ahlal Wathan yang kini kita kenal dengan Ya Lal Wathan. Syair ini menjadi lagu wajib yang harus didengungkan sebelum memulai pelajaran di kelas, karena saat itu memang sudah diterapkan sistem klasikal dengan kurikulum 100 persen agama.

Sebagai madrasah perintis dalam memperkuat rasa nasionalisme, kurikulum Nahdlatul Wathan tentu menarik untuk dipelajari. Seperti apakah teknis kurikulum yang diterapkan Kiai Wahab? Dalam teori pendidikan modern, masyarakat pendidikan mengenal keilmuan Teknologi Pendidikan. Deskripsi kurikulum Nahdlatul Wathan ini sesungguhnya tidak lain untuk mempelajari Teknologi Pendidikan dalam bingkai tradisi pesantren yang digagas Kiai Wahab sebagai salah seorang arsitek pergerakan nasional.

Selang beberapa tahun setelah mendapatkan badan hukum, tepatnya pada tahun 1929, Kiai Wahab secara spesifik menyusun kurikulum pendidikan Nahdlatul Wathan agar lebih teknis. Bersama Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar yang juga didirikannya sebagai madrasah membuka enam jenjang kelas. Kelas pertama dan kedua dinamakan sifir awal (Nol A) dan sifir tsani (Nol B).

Para murid di sifir awal dididik untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab, dan membaca Al-Qur’an. Untuk tahun berikutnya mereka bisa menjadi murid sifir tsani dengan mata pelajaran sama dengan sifir awal namun lebih mendalam. Sedangkan murid sifir tsani dipersiapkan untuk memasuki madrasah empat tahun berikutnya, mulai dari kelas satu hingga kelas empat (tamat).

Adapun mata pelajaran kelas I yaitu menulis halus (Arab), menyusun kalimat dan membaca Al-Qur’an, Tajwid (ilmu membaca Al-Qur’an) dan menghafal tuntunan agama dalam bahasa Jawa. Mata pelajaran kelas II sama dengan kelas I hanya lebih mendalam dan ditambah mata pelajaran Nahwu-Sharaf (gramatika Arab), Tauhid (teologi), Hisab (ilmu hitung), dan membaca kitab. Kelas III sama seperti kelas II, namun lebih mendalam lagi. Adapun kelas IV sama dengan kelas III ditambah mata pelajaran ilmu bumi (geografi).

Selain madrasah dengan enam jenjang kelas tersebut, madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar juga membuka kelas yang sama, tetapi aktivitasnya berjalan sore hari. Madrasah sore ini dikhususkan bagi anak-anak yatim dan anak-anak dari kalangan tidak mampu secara materi.

Menyajikan kurikulum dan metode yang sama sekali baru saat itu, Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar mendapatkan animo yang luar biasa dari masyarakat di sejumlah daerah. Nahdlatul Wathan di daerah merupakan Nahdlatul Wathan cabang Surabaya. Di cabang Surabaya sendiri memiliki 18 buah sekolah yang berafiliasi dengan Nahdlatul Wathan. Pada tahun 1939, tercatat dari 18 sekolah tersebut mempunyai murid sebanyak 924 anak. Di antara 18 sekolah itu ada yang bernama Hidayatul Wathan dan Far’ul Wathan.

Di cabang Malang juga sama. Nahdlatul Wathan di cabang ini berkembang pesat dengan murid melimpah. Tercatat pada tahun 1929, murid di Nahldatul Wathan cabang Malang sebanyak 250 anak. Bahkan cabang Malang berhasil mengembangkan Nahdlatul Wathan di enam kecamatan di antaranya Kecamatan Pujon (sebanyak 190 murid), Pakis (150 murid), Batu (170 murid), Karanglo (110 murid), Bululawang (160 murid), dan Singosari (200 murid).

Madrasah Nahdlatul Wathan juga berkembang pesat di setiap cabang NU. Di jawa Barat berpusat di Madrasah Mathla’ul Anwar Menes, Banten. Di Jawa Tengah berpusat di Nahdlatul Wathan di Jomblangan Kidul, Semarang. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Surabaya dengan cabang-cabangnya yang tersebar luas di Jombang, Gresik, banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, dan kota-kota lainnya.

Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang kita pimpin sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut.

(Fathoni Ahmad)

Kurikulum Madrasah Nahdlatul Wathan diungkap oleh Choirul Anam dalam buku karyanya “Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama”.