Fragmen

Mengenang Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas Pekalongan (3)

NU Online  ·  Sabtu, 28 April 2018 | 10:00 WIB

Mengenang Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas Pekalongan (3)

Makam Habib Ahmad tidak pernah sepi dari peziarah

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas dikenal dengan keketatannya pada kaidah pakaian wanita muslim. Orang-orang di kota Pekalongan tahu betul akan hal itu, dan para wanitanya tidak pernah berani berjalan di antara rumahnya dan masjid tanpa menutupi tubuhnya secara ketat.

Pada suatu hari, seorang wanita asing berpakaian impor, yang tampaknya tak memahami keadaan, berjalan di lokasi itu tanpa menutup kepala. Ia berpapasan dengan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, dan tiba-tiba sang sufi memukul wanita itu dengan tongkatnya.

Bagi Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, itu merupakan kewajiban yang harus beliau lakukan.

Orang-orang mengerumuni wanita itu dan menjelaskan situasinya, meminta ia melupakan kejadian itu. Namun, wanita tersebut mengadukan hal itu ke kantor polisi yang di kepalai seorang Belanda. 

Kepala polisi memerintahkan para pembantu polisi Jawa yang muslim untuk menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Mereka tahu betul siapa Sufi tersebut, dan memilih menolak perintah kepala polisi Belanda itu.

Si kepala polisi menjadi tertarik dan pergi ke rumah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas sendiri. Namun ia kembali dan tidak melakukan apapun.

“Pada mulanya saya mau menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Tapi saya melihat dua ekor Harimau berada di sebelah kanan dan kirinya.” Kata kepala polisi kepada anak buahnya.

Beliau dikenal sebagai orang yang sangat wara dan zuhud. Beliau terpelihara dengan peliharaan yang agung, terjaga dengan penjagaan yang sempurna, sehingga tidak masuk pada dirinya sesuatu yang dapat mengotorinya. 

Jika akan datang sesuatu itu kepadanya, beliau mendapatkan penjelasan-penjelasan ilahiyah, mengetahuinya atau diberi tahu baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Demi kehati-hatian pula beliau tak mau menerima sesuatu dari seseorang kecuali dari orang yang baik pergaulannya dan benar niatnya. 

Selama bertahun-tahun beliau tinggal dalam kehidupan yang susah, memakan makanan yang sangat sederhana dan tidak ingin bersenang-senang menikmati kehidupan kecuali sekedar untuk menopang kebutuhan hidup. 

Suatu ketika beliau menitipkan uang dalam jumlah yang besar kepada seseorang, kemudian uang itu hilang semuanya, ketika diberi tahu beliau hanya tertawa sedikitpun tidak menunjukkan perubahan dan sama sekali tidak terpengaruh dengan kejadian itu. 

Beliau juga tidak suka bergurau baik dalam perbuatan maupun ucapan dan selalu menghindari gurauan dalam semua majelisnya, sehingga yang ada di dalam majelisnya hanyalah kesungguh-sungguhan. Aib orang tidak pernah disebut dalam majelisnya, dan tidak ada pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang, majelisnya sepenuhnya merupakan majelis ilmu, petunjuk, dzikir, peringatan, dan da’wah. 

Hatinya yang jernih membuatnya diberikan anugerah dapat memberitakan hal-hal yang ghaib. Beliau memiliki karamah-karamah yang besar yang menguatkan usahanya yang mulia untuk meraih keridhoan Allah SWT, namun beliau tidak mau membicarakannya sedikit pun. 

Pada suatu hari karena suatu urusan seorang pencintanya dimasukan ke penjara, kemudian beliau diberi tahu, ‘fulan pencinta Habib ditahan, semoga Allah membebaskannya.” Mendengar itu beliau berkata,’hari ini ia akan makan siang bersama kita!”. Ketika jamuan makan siang dihidangkan hari itu, ternyata pencintanya itu benar-benar datang, makan siang bersama mereka karena telah bebas dari penjara. 

Orang mengenal beliau sebagai sosok yang bagus ahklaknya, mulia perangainya, penyayang, dan belas kasih kepada sesama. Beliau orang yang baik dalam bersahabat, menyenangkan dalam bergaul dan tidak mengerjakan atau mengucapkan sesuatu kecuali yang diizinkan oleh syara’. 

Namun apabila larangan-larangan Allah dilanggar beliau sangat marah dan marahnya belum reda sampai beliau dapat mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. 

Beliau adalah seorang yang adil, tidak melampaui batas, mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, beliau tidak lalai dari hak orang terhadap dirinya, tetapi toleran dalam hak-hak dirinya dan menggugurkannya dari orang lain dan tidak memandang bahwa dirinya memiliki hak terhadap orang lain. 

Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf, Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan pengajian.

Ketika telah sempurna waktu yang dibatasi baginya dalam kehidupan dunia dan telah sampai puncak keinginan, beliau pun rindu pada alam malakut yang tertinggi, beliau menderita demam. Ketika berada dalam sakitnya beliau tenggelam dalam arus lautan ma'rifattullah, 

terkadang beliau mengatakan “Ash-shalah ash-shalah (shalat,shalat), dekatkanlah air wudhuku.”Itu berlangsung selama 20 hari 20 malam, hingga ruhnya berpisah dengan jasadnya yang suci pada malam ahad tanggal 24 Rajab tahun 1347 Hijriyah (6 januari 1929) Inna lillahi wa ilaihi raji’un, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di pekuburan Sapuro, Kota Pekalongan. 

Namun peringatan khaulnya diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu Syaban, yang tiap tahun dihadiri puluhan ribu orang, tidak jarang dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masyarakat berbondong-bondong mengiringi kepergian beliau menghadap Allah. Derai keharuan sangat terasa, membawa suasana syahdu. 

Selang setahun kepergian beliau, untuk menghidupkan kembali kesuri-tauladan dan mengenang jasa-jasa baik beliau, setiap tahun di kota tersebut diadakan Haul beliau. Haul tersebut banyak dihadiri oleh berbagai kalangan umat Islam. Mereka berduyun-duyun dari berbagai kota hadir disana, demi mengenang kehidupan beliau, demi menjemput datangnya nafaahat dan imdaadat. Radhiyallahu anhu wa ardhah. (Muiz)