Fragmen HARLAH KE-93 NU

Lambang NU Hasil Istikharah Kiai, Para Habib Pun Menghormatinya

Kam, 31 Januari 2019 | 06:15 WIB

Setelah NU didirikan oleh para kiai di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi ini sebagaimana umumnya, membutuhkan lambang. KH Abdul Wahab Hasbullah menunjuk KH Ridwan Abdullah untuk mendesaiannya.  

KH Ridwan Abdullah adalah seorang kiai yang alim, tapi dia memiliki kelebihan dibanding kiai-kiai lain, yaitu terampil melukis. Tak banyak kesempatan untuk mendesain lambang itu. Ia hanya diberi waktu satu setengah bulan untuk menyelesaikan tugasnya itu. Ternyata, dia tak mampu membuatnya. Ia tidak mendapatkan inspirasi yang sesuai dengan keyakinan hati. Jalan yang ditempuh kemudian adalah melakukan shalat istikharah, meminta petunjuk Allah. 

Setelah beristikharah, lambang NU pun ditemukannya, yaitu bola dunia yang diikat sebuah tali yang memiliki untaian tampar 99 orang, lima bintang di atas bumi, empat bintang di bawahnya. Sedangkan tulisan Nahdlatul Ulama yang menggunakan huruf Arab yang membentang melebihi bola dunia, dan Latin adalah tambahan dari Kiai Ridwan sendiri.  

Kiai yang Total Berorganisasi
Kiai Ridwan Abdullah adalah santrinya Syaikhona Cholil Bangkalan, sebagaimana umumnya para kiai pendiri NU yang lain. Ia merupakan kiai yang total dalam berorganisasi. Buku Antologi Sejarah, Istilah, Amaliyah, dan Uswah NU menggambar sosoknya demikian: 

Sejak terjun dalam organisasi Kiai Ridwan terpaksa mengurangi kesibukannya mengurus ekonomi. DUlu ia punya toko kain di Jalan Kramat Gantung sekaligus tailor. Toko itu kemudian diserahkan kepada adiknya. 

Rumah milik mertuanya di Bubutan juga diserahkan untuk kepentingan NU. Lantai bawah untuk percetakan NU, sedangkan lantai atas dipakai untuk sekretariat dan ruang pertemuan.

Setiap ada anak mau berangkat mondok dan sowan kepadanya, selain diberi nasihat dan wejangan, juga tidak ketinggalan diberikan uang saku untuk bekal. Padahal dia sendiri sesungguhnya jarang punya uang banyak. 


Habib Ali Kwitang Pun Hormati Lambang NU
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (1870-1968), akrab disebut Habib Ali Kwitang, adalah ulama’ besar di Jakarta yang sangat akrab dengan para kiai NU. Menurut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa NU masuk Betawi ya melalui Habib Ali Kwitang. Hal itu bisa dilihat jejaknya karena habib tersebut beberapa kali turut menghadiri muktamar NU, misalnya pada tahun 1932 dan 1933.

Alhafiz Kurniawan pada tulisannya yang dimuat di NU Online, menyebutkan, semasa hayatnya, Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari juga sangat akrab dengan Habib Ali Kwitang.Bahkan, Kiai Hasyim berpesan kepada keluarga dan santrinya untuk selalu sowan kepada Habib Ali Kwitang setiap kali datang di Jakarta.

Pada suatu musyawarah, para kiai dan habaib diundang di Kantor PBNU. Selain Habib Ali Kwitang, hadir juga Al-Habib Ali bin Husein Al-Athas atau Habib Ali Bungur, Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Athas. Pada pertemuan itu, ada seorang santri bernama Abdullah yang saat itu sangat senang melayani para habaib dan kiai. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang sudah disediakan, termasuk kepada Habib Ali Kwitang.

Ketika bersimpuh di hadapan Habib Ali, Abdullah menurunkan nampan kaleng bermotif warna-warni bersisi makanan dan minuman. Habib Ali Kwitang meminta Abdullah untuk mengangkat nampan itu. Ternyata ia melihat lambang NU di pantat nampan.

“Jangan kalian berani-berani membuat jatuh perkumpulan ini dengan meletakkannya di bawah.”

Mendengar nasehat yang sangat tegas ini, KH Idham Chalid menyimaknya dengan penuh khidmah, apalagi itu adalah nasehat sosok ayah angkat dan ulama’ besar yang sangat dihormati. Para kiai dan habaib juga menyaksikan penuh dengan penuh takzim atas apa yang disampaikan Habib Ali. KH Idham Kholid segera bergerak cepat berkoordinasi kepada para santri untuk segera memakai nampan yang biasa, tanpa ada lambang NU. Wujud takzim dan sam’an watha’atan dengan dawuh seorang ulama.

Para ulama dan habaib yang menyaksikan itu langsung paham dengan lambang NU. Itu bukan lambang biasa, hasil istikharah KH Ridwan Abdullah yang sudah direstui KH Hasyim Asy’ari. (Abdullah Alawi)