Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) merupakan salah satu badan otonom NU yang menghimpun dan menaungi para guru, dosen dan ustad. Hal ini sebagaimana diputuskan oleh NU dalam Muktamar ke-32 NU di Makasar tahun 2010.
Meski baru diresmikan sewindu yang silam, tapi sejatinya Pergunu merupakan organ NU yang sudah lama. Pada Konferensi LP Ma'arif NU pada 1952 terdapat rekomendasi untuk membentuk lembaga yang menangani guru-guru dari kalangan nahdliyin. Akan tetapi, untuk merealisasikan rekomendasi itu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pada 1 Mei 1958, Pergunu Cabang Surabaya berhasil dirintis.Â
Selang setahun kemudian, tepatnya 14 Februari 1959, Pucuk Pimpinan Pergunu berhasil didirikan. KH. Bashori Alwi terpilih sebagai ketua umum. Kepengurusan ini, berhasil menyelenggarakan muktamar pertamanya di Surabaya pada 17 - 20 Oktober 1959. Pada muktamar ini kembali menetapkan Bashori Alwi sebagai ketua.Â
Perjalanan Pergunu terus bergeliat seiring dinamika politik kala itu. Pergunu menjadi salah satu tulang punggung NU yang kala itu menjadi partai politik untuk mendulang suara. Sebagai elemen politik, Pergunu juga dapat memberikan kemanfaatan kepada anggotanya. Misalnya Pergunu Jawa Timur yang pada 1968 berhasil mengantarkan anggotanya menjadi guru negeri di Departemen Agama (lihat Ensiklopedi Nahdlatul Ulama Jilid III, 200).Â
Akan tetapi, setelah tumbangnya Orde Lama, Pergunu ikut "tumbang". Keputusan pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto untuk melakukan penyatuan berbagai organisasi profesi benar-benar menghapus Pergunu. Semua guru boleh berorganisasi hanya di Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Setelah Orde Baru berakhir, muncul kembali gagasan untuk mendirikan Pergunu. Gagasan tersebut muncul pertama kali pada 3 November 2001. Saat itu, diadakan panitia silaturahmi Pergunu Jawa Timur. Kepanitian itu diketuai oleh Abdul Latif Mansyur dan KH. Kholil Khozin sebagai wakilnya.
Silaturahmi itu sendiri terlaksana pada 5 Januari 2002. Tak banyak yang datang. Hanya 17 orang. Selain panitia, hadir pula KH. Aziz Masyhuri dan KH. Masduqi Mahfudz dari jajaran Syuriyah PWNU Jawa Timur. Meski sepi peminat, namun ada satu kesepakatan penting yang berhasil ditorehkan dalam pertemuan itu. Mereka bersepakat untuk membentuk Panitia Kebangkitan Pergunu Jawa Timur.Â
Hasil pertemuan tersebut lantas dilaporkan kepada KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saat itu Gus Dur sedang mengadakan dialog interaktif lintas iman di Pesantren Al-Halim Miftahul Ula, Nglawak, Kertosono, Nganjuk, pada 13 Januari 2002. Ada 21 orang yang ikut dalam pertemuan tersebut.Â
Mendapat laporan demikian, Gus Dur memberikan persetujuan. Ia membubuhkan persetujuannya dalam secarik kertas. Demikian isinya singkat:
"Pertemuan dialog di Pondok Nglawak, Nganjuk kami setuju bahwa: PERGUNU Jawa Timur diaktifkan kembali."
Wasiat dari Gus Dur tersebut, menjadi pendorong kuat untuk mengaktifkan kembali Pergunu. Beberapa langkah segera diambil. Kepanitiaan diganti nama menjadi Tim Kebangkitan Pergunu Jawa Timur untuk semakin memperkuat kinerjanya. Surat permohonan kepada semua PCNU se-Jawa Timur untuk pembentukan Pergunu dilayangkan.
Selain itu, juga diadakan pertemuan lanjutan pada 29 Januari 2002 di PP. al-Aziziyah, Denanyar, Jombang asuhan Kiai Aziz Masyhuri. Dalam musyawarah itu, hadir 12 orang. Satu diantaranya adalah KGS Abdul Aziz sebagai perwakilan dari Banyuwangi yang kelak terus mengikuti perkembangan perintisan Pergunu ini. (Ayung Notonegoro)