Momen Hari Pahlawan Nasional 10 November 2018 merupakan saat membanggakan bagi masyarakat Indonesia, khususnya pesantren dan warga Provinsi Banten. Pasalnya pada momen tersebut, Brigadir Jenderal Kiai Haji Syam’un dithabiskan sebagai Pahlawan Nasional dari Banten di antara enam tokoh lainnya.
Awalnya, sebagian masyarakat bertanya-tanya terkait dengan latar belakang organisasi yang menjadi gerbong kiai berbintang satu (Brigjen) ini. Berdasarkan penulusuran NU Online, setelah NU tertanam di Menes dengan baik, sepertinya disebarkan ke daerah-daerah sekitar, atau ke utara.
Buktinya pada muktamar Semarang telah ada perwakilan dari NU Cilegon. Pada tahun 1930 ada perwakilan NU dari Serang. Pada tahun itulah, NU Online menemukan data kehadiran KH Syam’un. Juga pada Muktamar NU kesebelas di Banjarmasin pada tahun 1936.
Brigjen Syam'un merupakan cucu dari Kiai Wasid yang merupakan pemimpin perjuangan Geger Cilegon pada 1888 melawan Belanda. Lahir pada tahun 1883 KH Syam'un menjadi pelopor pengajaran Islam tradisional melalui Pesantren Al-Khairiyah di Banten yang kemudian tersebar di Jawa sampai Sumatera.
Dalam perjuangannya, kiai lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air atau Peta pada 1943-1945 dan terlibat untuk pembentukan pemerintah daerah dan diangkat menjadi Bupati Serang.
Makam Brigjen KH Syam'un (via boombastis)
Berdasar catatan sejarah dari biografi KH Syam'un seperti dikutip
NU Online dari
detikcom, yang disusun oleh Mufti Ali dan kawan-kawan yang merupakan adaptasi dari naskah akademik usulan Pemprov Banten untuk gelar pahlawan nasional, ia juga pernah menjadi komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan berada di garis depan pengusiran tentara Jepang pada 1945.
Pada Oktober 1945 sampai Janauari 1946, ia turut berupaya menumpas Gerakan Dewan Rakyat. Kemudian, diangkat menjadi panglima TKR Divisi 1000/I dan kemudian diangkat menjadi komandan Brigade I/Tirtayasa periode 1946-1947. Brigade I/Tirtayasa merupakan cikal bakal Korem Maulana Yusuf Serang.
Dari gerakan pesantren dan madrasah, KH Syam'un bertransformasi menjadi tokoh militer dan ikut andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia khususnya di Banten. Status sosialnya sebagai ulama di Banten menjadikan Syam'un diangkat menjadi komandan batalyon (daidancho) Peta bersama KH Achmad Chatib oleh Jepang.
Setelah Jepang kalah oleh pasukan sekutu, KH Syam'un kemudian diangkat menjadi ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk Keresidenan Banten dan Serang pada 1945. Badan ini kemudian yang mengusir tentara Jepang di markas Kenpetai melalui baku tempak di kampung Benggala.
Pada Oktober 1945 begitu dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komandemen 1/Jawa Barat membentuk Divisi 1 TKR dengan nama Divisi 1000/1 dengan panglima divisi KH Syam'un dengan pangkat kolonel. Di bawah pimpinanya, Divisi 1 TKR menumpas Gerakan Dewan Rakyat yang menangkap tokoh-tokoh penting pemerintahan di Banten.
Bahkan karena gerakan ini, ada desas-desus Banten akan melepaskan diri dari Indonesia, hal ini kemudian mendorong Sukarno dan Hatta harus turun ke Banten dan meyakinkan rakyatnya.
Pada 1946, terjadi penggantian jabatan di Banten dan pilihnya jatuh ke KH Syam'un menjadi Bupati Serang. Naiknya ulama di lingkungan pemerintahan diharapkan menjaga kedaulatan RI dari ancaman termasuk tentara Belanda yang datang setelah Jepang kalah dari sekutu.
Saat Tentara Keamanan Rakyat mengalamai perubahan dan restrukturisasi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 1946, Komandemen 1/Jawa Barat berubah menjadi Divisi I/Siliwangi dan dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor AH Nasution.
Divisi ini kemudian membawahi lima brigade salah satunya Brigade I/Tirtayasa di Banten dengan komandan Kolonel KH Syam'un. Dalam perkembangannya, karena merangkap menjadi Bupati, ia kemudian diganti oleh Letnan Kolonnel Soekanda Bratamenggala.
Saat terjadi agresi militer Belanda pada 1948-1949, terjadi perang gerilya di berbagai daerah termasuk di Banten. KH Syam'un yang waktu itu bupati Serang ikut bergerilya ke Gunung Cacaban di Anyer. Saat itu, terjadi peperangan sengit antara tentara dan pasukan agresi militer Belanda di sana.
Karier militernya terus menanjak hingga akhirnya mendapat pangkat Jenderal Bintang Satu atau Brigjen. Semasa sekutu masuk ke NKRI, KH Syam’un ikut bertempur langsung ke medan perang hingga akhirnya KH Syam'un meninggal saat bergerilnya di usia 66 tahun karena penyakit yang dideritanya pada tahun 1949. (Fathoni)