Fragmen

Jepang, Penjajah Termuda dengan Mengaku Saudara Tua

Rab, 21 Agustus 2019 | 01:15 WIB

Jepang, Penjajah Termuda dengan Mengaku Saudara Tua

Serdadu Nippon. (via Historia)

Jepang (Nippon) menjadi penjajah termuda bangsa Indonesia sebelum NICA (Belanda) kembali melakukan agresi militer kedua dengan membonceng tentara sekutu (Inggris) yang pada akhirnya berhasil dipukul mundur oleh pasukan santri dan rakyat Indonesia. Pada tahun 1942, rakyat Indonesia seakan mendapat angin kebebasan dari kolonialisme Belanda ketika Jepang dan sekutunya memenangi perang dunia.

Mereka datang ke Indonesia dengan mangaku sebagai saudara tua yang ingin melindungi dan membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, angin segar dan harapan kebebasan dari penjajahan itu hanya isapan jempol belaka. Mereka justru semena-mena layaknya penjajah sebelumnya.

Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat, sebelum Jepang mendarat di Indonesia, tiap hari siaran radio Tokyo mendengungkan lagu Indonesia Raya dan menganjurkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih untuk menyambut kedatangan Balatentara Nippon. Banyak orang yang percaya propaganda Nippon bahwa mereka akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.

Secara eksplisit, mereka memang tidak mengatakan bahwa kedatangannya untuk menjadi penjajah baru. Rakyat merasa terkecoh oleh propaganda Nippon. Padahal propaganda itu masih baru beberapa hari didengungkan dan maklumat pemerintah balatentara Nippon 7 Maret 1942 masih segar dalam ingatan.

Namun begitu pasukan penjajah itu datang, bendera merah putih tidak boleh dikibarkan. Sebagai gantinya, Hinomaru, bendera Nippon harus dikibarkan setiap hari pada kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah. Rakyat dilarang menyanyikan dan memperdengarkan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya, Nippon mewajibkan lagu kebangsaan mereka, Kimigayo.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) menjelaskan, barisan propaganda Nippon, serdadu, membagi-bagikan buku pelajaran bahasa Nippon. Kiai Zuhri memberikan kesaksian bahwa seumur-umur dia baru mengalami bahwa hitungan waktu bisa diubah. Sejak 22 April 1942 bilangan tahun yang biasa digunakan rakyat Indonesia diganti oleh Nippon untuk disamakan dengan bilangan tahun yang digunakan oleh bangsa Jepang.

Sejak itu bilangan tahun 1942 diganti dengan tarikh Kokki atau juga disebut dengan tahun Samura menjadi tahun 2602. Menurut dongeng, Kaisar Jepang yang pertama bernama JIMMU TENNO bertakhta 660 tahun sebelum Masehi. Sebab itu hitungan tahun Nippon menjadi: tahun Masehi ditambah 660 (1942 + 660 = 2606).

Sistem perhitungan waktu juga diganti menjadi waktu Tokyo. Itu artinya pukul 07.00 (waktu Jakarta, kini WIB) menjadi jam 08.30 (dimajukan 1,5 jam). Semua ini termasuk sebagian dari tujuan Nippon datang ke Indonesia yang mengaku ingin memperbaiki nasib rakyat Indonesia.

Bilangan tahunnya disamakan, sistem waktu (jamnya) disamakan, dan benderanya juga disamakan serta lagu kebangsaannya pun disamakan. Siapa yang percaya bahwa Nippon tidak mengganti kedudukan Belanda sebagai penjajah?

Berhari-hari Kiai Saifuddin Zuhri melihat orang-orang Belanda dan orang-orang kulit putih lainnya ditangkapi Nippon, mereka dinaikkkan ke truk-truk, ada yang tak mengenakan baju, atau pakaiannya lusuh dan brewoknya tak dicukur. Mereka diangkut entah mau kemana, tentu saja ke tempat pemusatan pengasingan (concentratie kamp).

Dibelakang hari Kiai Zuhri menemukan catatan bahwa jumlah mereka (sebagai tawanan perang) sebanyak 66.219 orang Belanda, 10.636 orang Inggris, dan 883 orang Amerika. Kiai Zuhri teringat akan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Raja-raja itu jika memasuki suatu negeri (untuk mengalahkan), mereka menghancurkan negeri itu dan menjadikan orang-orang mulianya (yang terpandang) menjadi hina dina. Demikianlah mereka berbuat.” (QS An-Naml 34)

Sementara itu kaum wanitanya dikumpulkan di tempat lain yang diklaim ingin dilindungi Nippon. Sistem pendidikan ala Nippon mulai diterapkan untuk mengganti sistem pengajaran yang berlaku pada zaman Hindia Belanda. Sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Belanda dilarang.

Dengan sendirinya sekolah dimana Kiai Zuhri mengajar agama, Islamitisch Westerse School NU (IWSNU) ditutup. Para muridnya disalurkan ke madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah rakyat. Guru-guru IWSNU harus bisa mencari lapangan kerja lain.

Barisan Propaganda Balatentara Dai Nippon membagi-bagikan buku pelajaran bahasa Nippon. Menyusul orang-orang yang menggunakan kesempatan memperdagangkan buku-buku pelajaran Nipponggo, bahasa Nippon, dan bermunculan penerbit-penerbit buku itu seperti cendawan di musim hujan. Tapi Kiai Saifuddin Zuhri menegaskan tak bernafsu mempelajari bahasa Nippon. Apalagi mempelajari huruf-hurufnya yang berjumlah ribuan dan amat ruwet itu. Semua partai politik dan ormas dilarang.
 
 
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi