Fragmen

Gus Dur dan Kepiawaian Menulisnya

Sel, 17 Mei 2016 | 00:00 WIB

Beberapa lama setelah berada di kampung halamannya, Tebuireng, Jombang di tahun-tahun 1972-1974, selain mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai menekuni kembali bakat menulisnya dan menjadi kolomnis di berbagi media massa nasional. Pada kurun ini tulisannya kerap bermunculan di berbagai media massa mulai dari majalah nasional umum seperti Tempo hingga majalah islami seperti Panji Masyarakat yang didirikan oleh Buya Hamka.

Selain memiliki kelebihan-kelebihan lainnya yang sudah jamak diketahui publik,  salah satu dari kemampuan lainnya Gus Dur yang menonjol bahkan sedari kanak-kanak adalah menulis. Di majalah Tempo sejak tahun 1970-an sampai 1980-an, ia kerap datang sendiri untuk menulis kolomnya. Begitu produktifnya hingga tulisan yang satu belum dimuat, sudah ada lagi tulisan yang lain. Produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Muhammad, pemimpin redaksi Tempo waktu itu mengambil inisiatif untuk menyediakan satu meja khusus plus mesin ketik untuknya. Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Menurut pengakuannya dalam suatu wawancara di televisi, itu dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga.

Dalam menulis Gus Dur mempunyai banyak ide. Hal-hal yang bagi orang lain dipandang sepele dan remeh temeh, dibuatnya menjadi penting.  Keluasan wilayah pemikirannya mengagumkan banyak orang dan sulit untuk diimbangi. Dibanding dengan cendekiawan atau penulis lain, spektrum  perhatian Gus Dur masih jauh lebih luas. Tulisannya tidak hanya masalah-masalah agama dan sosial politik, melainkan juga budaya, sejarah, pertanian, musik, sampai sepakbola nasional dan internasional.

Ketika menulis, Gus Dur kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya. Karena Gus Dur secara umum dikenal mempunyai analisa yang banyak tepatnya, maka tak heran ia pernah diminta oleh harian terkemuka di ibu kota untuk menganalisis pertandingan-pertandingan sepakbola dalam suatu ajang piala dunia.

Menurut kesaksian salah satu saudara kandungnya, Salahuddin Wahid, Gus Dur memang mempunyai kemampuan menulis yang dimiliki sejak kecil. Kemampuan menulis Gus Dur tergolong luar biasa. Sewaktu SD, dia telah memenangkan lomba menulis se-Jakarta.  Bahkan ketika tidak dapat menulis sendiri, Gus Dur mendiktekan apa yang ingin ditulisnya. Meskipun hanya didektekan, tetapi hasilnya tetap merupakan sebuah tulisan yang bermutu dengan tata bahasa dan sistematika yang bagus. Di tangan Gus Dur, segala sesuatu dapat dijadikan sebagai obyek tulisannya.

Pada saat Gus Dur dioperasi sekitar tahun 1993, ia diminta untuk membuat kata pengantar sebuah buku berbahasa Inggris. Buku itu dibacakan oleh salah seorang putrinya. Ternyata dengan mudah saja Gus Dur dapat membuat kata pengantar dengan mendiktekannya. Hal itu lantaran Gus Dur pandai menarik benang merah atau hal-hal pokok dari sebuah buku meski cuma dibacakan oleh orang lain.

Kemahiran menulis yang dimiliki Gus Dur sebagaimana di atas tentu saja banyak faktor pendukungnya. Di samping peran luasnya pergaulan, banyaknya pengalaman dan aspek bakat, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah karena faktor budaya bacanya yang tinggi yang telah tertanam sejak dari kecil.

Sejak kecil saat masih tinggal di rumahnya di Matraman, oleh ayahnya memang Gus Dur dan saudara-saudaranya telah dididik dan diarahkan agar mereka gemar membaca buku. Untuk putra-putrinya, KH Wahid Hasyim menyediakan buku-buku di rumah tersebut dengan sangat beragam topik dan temanya, tidak hanya tentang keislaman. Selain buku, disediakan pula olehnya di samping media-media Islam, juga terdapat media massa Katolik dan terbitan non-Muslim lainnya. Gus Dur dan adik-adiknya melalui bejibun bahan bacaan tersebut dirangsang untuk membaca apa saja yang mereka sukai.

M. Haromain, Warga NU bergiat di Forum Santri Temanggung

Disarikan dari:
Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim, Penerbit: Yayasan KH. A. Wahid Hasyim, Jakarta, 2007.   
Majalah Tebuireng, edisi 09, Januari-Maret, 2010