Fragmen

Ger-geran KH Wahid Hasyim soal Jawatan Agama

Kam, 11 Juni 2020 | 09:01 WIB

Ger-geran KH Wahid Hasyim soal Jawatan Agama

KH Wahid Hasyim. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Sesaat setelah menduduki Indonesia pada tahun 1942, penjajah Jepang memfitnah KH Hasyim Asy’ari melakukan pemberontakan di Cukir, Jombang. Untuk menyelamatkan Pondok Pesantren Tebuireng dan para santri, Kiai Hasyim Asy’ari rela ditangkap serdadu Nippon.


Setelah melalui berbagai siksaan pedih oleh Jepang selama sekitar empat bulan dipenjara Jepang, KH Hasyim Asy’ari dibantu oleh diplomasi putranya KH Wahid Hasyim berhasil bebas.


Ketika Jepang dalam kondisi terdesak dalam perang melawan Sekutu dan berusaha mengoordinasi umat Islam Indonesia, Jepang menawarkan jabatan Kepala Jawatan Agama (sekarang Kementerian Agama) kepada Kiai Hasyim Asy’ari.


Meski pernah mendapat perlakuan buruk tentara Jepang, Kiai Hasyim Asy’ari tidak serta merta menolak tawaran Jepang. Bukan karena menginginkan jabatan, tapi posisi tersebut justru bisa dimanfaatkan untuk memperkuat jaringan umat Islam di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.


Kiai Hasyim Asy’ari menyerahkan tugas sehari-hari sebagai Kepala Jawatan Agama kepada KH Wahid Hasyim. Seketika, Gus Wahid langsung membentuk perwakilan-perwakilan Kantor Jawatan Agama di berbagai daerah untuk keperluan konsolidasi perjuangan. Ikhtiar ini cukup berhasil menguatkan perjuangan rakyat melalui konsolidasi jawatan-jawatan agama.


Ketika KH Wahid Hasyim berkonsolidasi ke daerah Purwokerto didampingi KH Saifuddin Zuhri, di Gedung Waqfiyah NU yang dihadiri banyak jamaah pengajian Hikam yang saat itu diisi oleh KH Ahmad Syatibi, Kiai Wahid menegaskan perjuangan kiai-kiai terutama, KH Hasyim Asy’ari. (Baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 265)


Gus Wahid menyatakan bahwa banyak yang merencanakan Hadhratsussyekh Hasyim Asy’ari dan para ulama dihancurkan oleh Nippon. Tapi sekarang ini Hadhratussyekh diangkat oleh Nippon menjabat Kepala Jawatan Agama Pusat (Shumubu). Insyaallah dalam waktu dekat beberapa kiai menduduki Kepala Jawatan Agama di daerah-daerah (Shumuka). Tepat sekali tadi yang diuraikan oleh al-Mukarrom Kiai Ahmad Syatibi sawabiqul himami laa takhriqu siwaarol aqdaari (keinginan dan cita-cita seseorang tidak dapat menembus takdir Ilahi).


Sejenak Kiai Wahid Hasyim berhenti dari pernyataanya itu. Kemudian ia kembali berkata: “Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak menjurus menjadi Jowo tan Agomo, Jawa yang tak beragama.” Seketika gelak tawa hadirin pecah, “Geeeeerrr...”


Catatan Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan bahwa visi Kiai Wahid Hasyim membentuk Shumuka-cho tidak lain untuk memperkuat konsolidasi urusan-urusan agama di daerah bagi keperluan perjuangan bangsa Indonesia secara umum. Sebelumnya, Kiai Wahid memang melakukan diplomasi dengan Jepang untuk mendirikan Shumuka meskipun pada awalnya berdiri hanya di Jawa dan Madura.


Setelah potensi umat Islam terbina dengan baik melalui jalur Masyumi, Hizbullah, Shumubu, dan Shumuka, Kiai Wahid Hasyim kembali memusatkan perhatiannya pada janji kemerdekaan yang dipidatokan oleh Perdana Menteri Jepang Kunaiki Koiso pada 7 September 1944. Di sini terlihat kepiawaian Kiai Wahid Hasyim dalam menyikapi pembentukan Shumubu oleh Jepang.


Tujuan Jepang untuk menampung umat Islam ke dalam sebuah wadah dan menarik ulama ke struktur birokrasi agar mudah dikontrol justru dimanfaatkan oleh Kiai Wahid Hasyim untuk membentuk Kantor Jawatan Agama di berbagai daerah, tujuannya memperkuat konsolidasi dan transfer informasi. Transfer informasi ke sejumlah Shumuka terkait pergerakan Jepang ini penting untuk kemudian disampaikan ke masyarakat secara luas.


Sejarawan mencatat, pembentukan Shumubu menguntungkan bangsa Indonesia, baik di bidang sosial-keagamaan, pendidikan maupun politik. Administrasi Shumubu ternyata memberikan banyak manfaat bagi umat Islam pasca-kemerdekaan.

 

Sebab itu, Shumubu lalu ditetapkan sebagai departemen independen pada 3 Januari 1946. Kemudian lembaga ini ditetapkan sebagai Departemen Agama yang lalu beralih nama menjadi Kementerian Agama dengan KH Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pertama.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi