KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah ulama yang langka. Ia tidak hanya bisa membaca dan memahami teks-teks keagamaan –kitab kuning, tapi juga mampu memproduksi dan menulisnya. Ia juga merupakan ulama yang sangat disegani karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya.
Secara keilmuan, Kiai Sahal lebih dikenal sebagai kiai yang memiliki kealiman dan keahlian yang mendalam soal fiqih –utamanya fiqih sosial, sehingga ia dijuluki ‘sang begawan fiqih sosial’. Meski demikian, penguasaannya terhadap ilmu-ilmu keislaman lainnya –seperti ushul fiqih, hadist, balaghah, dan lainnya- juga tidak perlu diragukan lagi.
Kiai Sahal juga seorang organisatoris handal. Terbukti, ia didapuk untuk menjadi pucuk pimpinan dua ormas Islam: Nahdlatul Ulama (Rais ‘Aam 1999-2014) dan Majelis Ulama Indonesia (2000-2014).
Kiprah dan perannya dalam memajukan bangsa ini amatlah besar. Sebagai seorang pemimpin, Kiai Sahal adil. Sebagai seorang kiai, ia istiqamah. Dan sebagai seorang pengusaha, dia jujur. Maka wajar jika Kiai Sahal menjadi sosok panutan bagi para santri khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Namun tahukah kalian kalau saat masih kecil Kiai Sahal juga memiliki figur panutan, sama seperti anak-anak lainnya.
Sewaktu Sahal kecil, orang-orang sangat mengidolakan Presiden pertama Indonesia Soekarno. Saat Soekarno pidato, orang-orang berkumpul dan khusu' mendengarkannya dari radio.
Berbeda dengan Sahal, karena keterbatasan informasi maka ia tidak memiliki pilihan figur panutan seperti yang dilakukan orang-orang itu. Namun demikian, bukan berarti Sahal kecil tidak memiliki tokoh panutan. Sulaiman dan Ma’shum, gurunya saat belajar di bangku shifr awwal Mathali’ul Falah Kajen Pati, adalah dua orang figur panutan Sahal kecil.
Alasan Sahal kecil memilih keduanya menjadi tokoh panutan adalah karena mereka memiliki karakter yang berbeda dari guru-guru lainnya. Bagi Sahal kecil, Sulaiman adalah guru yang menyenangkan karena sering melucu saat mengajar. Sementara, Ma’shum adalah guru yang tegas dan berwatak keras, tapi juga sayang kepada anak didiknya.
"Seringkali setelah marah di kelas, beliau (Ma’shum) membelikan es untuk semua murid di kelas kami. Jadi kami semua suka kedua guru itu,” kata Kiai Sahal, dikutip dari buku Kiai Sahal: Sebuah Biografi. (Muchlishon)